Kebetulan sehabis santap siang tadi saya makan jeruk. Warnanya oranye cerah menggoda, tekstur kulitnya mrengkel-mrengkel gimanaaa gitu, minta dibahas banget. Setelah dikupas, daging buahnya saya kunyah, rasa asem-manis-segar langsung lumer di belantara gigi dan gusi, digerus dan dilumat, airnya muncrat-muncrat di dalam mulut. Serat-seratnya terjun bebas melewati kerongkongan, menyebarkan misi-misi mulia vitamin C, lalu bersemayam khidmat di dalam perut. Rangkaian prosedural khas omnivora ini sukses bikin saya nyengir bahagia, meraih tissue, lalu bersendawa. Benar kata pepatah: kendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati. Kulit-kulit oranye sisa jeruk itu tergeletak di atas meja, meninggalkan bau khas, dan saya malah jadi teringat satu pertanyaan klasik jaman dulu, mungkin dari segelintir manusia iseng yang sekaligus haus ilmu pengetahuan, “What came first: orange the colour or orange the fruit?” Ini kira-kira sama asyiknya dengan pertanyaan kurang kerjaan lainnya, “Sebelum buah jeruk ditemukan, warna oranye itu disebutnya apa?” (Saya pernah bercanda ke kawan baik yang serius bertanya, “Apa sebutan untuk warna coklat di Jawa ketika tanaman coklat yang berasal dari Amerika belum dikenal di Nusantara?” Saya jawab, “Soklat.”) Beberapa referensi menyebutkan buah jeruk berasal dari perbukitan di kaki gunung Himalaya, yang meliputi wilayah India, Myanmar, dan China. Bahasa Belanda untuk “jeruk” adalah sinaasappels, alias Chinese apple atau apel China. (Di perayaan Imlek dan tempat-tempat sembahyang orang Tionghoa di Indonesia sering saya lihat memang ada banyak jeruk.) Dari tanah asalnya di Asia, jeruk tipe manis yang bisa langsung dimakan lalu dibawa ke Eropa oleh para saudagar Portugis. Itulah kenapa kata “jeruk” dalam beberapa bahasa di Eropa sering terkait dengan nama Portugal, seperti portocala (Rumania) dan portokali (Yunani). Kata dalam bahasa Inggris untuk menyebut buah jeruk, “orange”, berasal dari bahasa Old French orenge dan bahasa Italia arancio, yang kalau dirunut lebih jauh lagi akar tertuanya adalah dari bahasa Dravida di India, nāram, nāriṃja, nāraŋŋa, atau dalam bahasa Sanskrit nāraṅgaḥ, yang masuk ke Eropa melalui bahasa Persia nārang dan bahasa Arab nāranj. Ketika diserap bahasa Inggris sebagai narange, lama kelamaan konsonan /n/-nya luluh dan vokal depannya terpelintir sedemikian rupa hingga tersisa menjadi orange. Nama buah itu, “orange”, kemudian jamak dipakai untuk menyebut warna “orange”. Sebelum warna itu disebut “orange”, sebetulnya para penutur Old English sudah mengenal kata ġeolurēad (artinya “yellow-red”) untuk menyebut warna di antara kuning dan merah tersebut. Mungkin kapan-kapan saya perlu tanyakan ke Remy Sylado, eh, maksud saya Alif Danya Munsyi, dari mana asal-muasal kata “jeruk” (atau “djeroek”) di bahasa Indonesia? Sementara “limau”, salah satu varian dari jeruk, dengan mudah bisa kita tebak asal-katanya dari lime; sebagaimana minuman lemonade dilokalkan sebagai “limun” dan turut dipopulerkan oleh Paman Gembul dan keluarga kelinci di majalah Bobo. Lucunya, bahasa Myanmar untuk jeruk adalah lim maw see. Beberapa orang tua dari generasi lawas masih sering menyebut jeruk sebagai limau, sebagaimana mereka kadang masih menyebut mangga sebagai mempelam. Kamus Besar Bahasa Indonesia memang masih menyamakan jeruk dengan limau. Bapak saya, pensiunan guru Bahasa Indonesia dan sedikit lebih tua dari Bob Dylan, masih sering memakai kata itu. Pernah kepada teman-teman saya yang main ke rumah, beliau menawarkan buah di meja dengan tata bahasa resmi yang baik dan benar, “Ayo, jangan malu-malu, Nak. Ini ada (((limau))) silakan cicipi…” Mumpung sekarang masih suasana hari raya Cassette Store Day, event tahunan yang tahun lalu saya datangi ke Jakarta dan tahun ini di Bandung, saya mencoba mencari-cari semesta jeruk di dunia kaset. Dulu di akhir ’90an ada kaset kompilasi Barat yang sampulnya bergambar jeruk, sayang saya tidak menyimpannya. Mundur lagi ke belakang, di awal dekade ‘80an pernah ada album anak-anak berjudul Putri Jeruk dari Santi Sardi. Saya suka album ini. Di sampul kasetnya, putri dari violis kenamaan Idris Sardi itu berpose mengenakan kebaya warna oranye, sementara di depannya ada jeruk berwarna senada dan sesosok liliput berlutut di atas jeruk itu. Saya jadi pengen mencomot satu per satu dari rak saya, kaset-kaset yang warna sampulnya cenderung oranye. Saya jejer-jejer, hasilnya ada beberapa dan kebetulan warna musiknya juga beraneka ragam. Ada Mexican folk, pop kreatif Indonesia, folk-rock, gambang kromong asli, indie rock, dangdut, post-punk, dsb. Mirip dunia jeruk yang juga banyak macamnya: ada jeruk keprok, jeruk nipis, jeruk purut, jeruk pecel, jeruk mandarin, jeruk bali, dsb. Waktu saya kecil, ibu saya menanam pohon jeruk pecel di belakang rumah. Buahnya kecil-kecil warna hijau mirip daunnya, banyak berguna untuk urusan dapur. Ibu sangat menyayangi pohon itu dan beberapa meja makan tetangga sekitar pun ikut kecipratan faedahnya. Tiap menjelang acara tujuhbelasan, bapak-bapak satu RT biasanya sibuk menghias pagar rumah dan gapura di ujung jalan, tembok-tembok dicat putih memakai labur (batu kapur yang diencerkan). Pernah saya terlalu bersemangat pengen bantu-bantu, saking semangatnya sampai pohon-pohon yang ada di pekarangan rumah pun ikut saya labur. Keesokan harinya, pohon jambu dan kedondong di sebelah sumur masih tegak berdiri meski batang-batangnya jadi berwarna putih, tapi pohon jeruk pecel kesayangan ibu jadi layu lalu mati gara-gara ulah saya itu. Ibu tidak marah, tapi saya sempat tidak bisa tidur berhari-hari memikirkan itu, terutama dihantui pertanyaan sendiri: apakah perbuatan konyol saya itu juga mengakhiri hidup si putri jeruk, yang kalau menurut lagu utama di kaset Santi Sardi tadi, “menjelma dari buah jeruk/ kecil mungil seibu jari”? Saya mencoba mengalihkan ketakutan saya itu dengan mengulang-ulang lagu lainnya dari kaset yang sama, berjudul “Apa Daya”. Yak betul, apa dayaku, toh semua sudah terjadi. Lagipula lagu ciptaan Ireng Maulana yang satu ini bagus sekali, liriknya justru tidak terlalu jelas saat dinyanyikan bersamaan oleh anak-anak dari Idris Sardi, Kibod Maulana, dan Ireng Maulana. Saya menyimpan versi piringan hitamnya, yang kadang saya putar lagi hanya demi musik latar di lagu “Apa Daya”, yang tipis-tipis membuai dan sedikit jazzy. Selesai menyusun kaset-kaset berwarna oranye dari rak, saya baru sadar itu bisa dibariskan sesuai gradasi warna; dari oranye cerah ke oranye tua. Boleh juga kalau mau dibaca sebagai urutan waktu, dari jeruk segar yang awalnya merona, berangsur-angsur jadi jeruk busuk karena menua. Bukankah itu seperti hidup kita yang fana ini? Apa daya, kita semua tanpa terkecuali, sedang menuju kekisutan alami. Saya berdiri menghampiri cermin, mengamati keriput-keriput di wajah saya. Lebih mirip yang mana itu sekarang, apakah jeruk di lukisan van Gogh, Cézanne, Monet, atau Renoir?
* * *
___
Foto jeruk dicomot dari internet. Foto kaset dijepret dari koleksi pribadi.