Dari buku tua terbitan masa pendudukan Jepang berjudul Oentjen-oentjen tertanggal “Djakarta, Woelan XI 2603” (November 1943) ini saya jadi tahu dalam praktik kepenulisan di era pra-kemerdekaan itu ide meleburkan tokoh-tokoh punakawan ke dalam setting cerita modern ternyata sudah dilakukan. Di satu kisah di kumpulan cerita berbahasa Jawa dalam ejaan Van Ophuijsen ini, yang judulnya kalau dalam bahasa Indonesia ejaan sekarang berbunyi “Petruk Naik Mesin Terbang dari Jakarta ke Semarang”, si tokoh bernama Pétruk menceritakan pada Garèng, saya bayangkan dengan nada sedikit pongah, betapa moda transportasi udara yang ia tumpangi itu betul-betul paling enak. Dalam istilah Pétruk, kenyamanannya melebihi “toenggangan apa bae: motor, kapal, sepoer, kréta, dokar, apa manèh grobag, mesti kalahé.” (hlm. 17) Berada di dalam pesawat yang sedang melaju di awan, Pétruk merasa dirinya bagaikan Gatotkaca yang terbang gagah menembus langit gelap dan petir kilat. Tentu bukan Pétruk namanya jika tidak mengeluh. Menurutnya, ada tiga hal yang membuatnya kecewa selama naik pesawat terbang: 1) “ora isa oedoed” alias tidak boleh merokok, karena dikhawatirkan bisa menyebabkan mesin terbakar, 2) “ora isa omong-omong” alias percuma saja ngobrol saking berisiknya bunyi mesin, dan 3) “mesiné maboer sok tjetjongklangan saka dajaning angin ing ndjalari djeroné wetengé sing noenggang pada dansah, tjangkemé bandjoer moenek-moenek oetawa moetah-moetah” (hlm. 18), atau dengan kata lain: turbulensi dan mabuk udara, perut mual dan muntah-muntah. Ah, dasar Pétruk. Saya keasyikan membaca buku tipis dari pengarang anonim ini—hanya ada penjelasan “sing ngêtokake” [/ê/ pêpêt atau e sirkumfleks dari saya], yang mengeluarkan, yaitu Kantor Pengadjaran Djakarta—yang cuek betul di tahun 1943 sudah kepikiran memakai karakter Pétruk (fantasi, tradisional) sebagai seorang jurnalis untuk menggambarkan seperti apa rasanya naik pesawat terbang (kisah nyata, modernitas). Setidaknya pembaca jadi tahu, perjalanan udara dari Jakarta ke Semarang pada masa itu memakan waktu tiga jam lebih: take-off dari “setasioen mesin maboer” Tjililitan pada pukul 10:30 pagi dan mendarat di Simongan pada pukul 1:45 siang. Sekarang mungkin hanya butuh waktu satu jam, tapi di masa-masa sebelum kemerdekaan tentu tidak sembarang orang bisa naik pesawat terbang, bukan? Pak Semar dan Dik Bagong pasti bangga.
Postscriptum: Menarik bagaimana Pétruk di tahun 1943 menyebutkan moda-moda transportasi yang ada pada saat itu: motor, kapal, sepoer, kréta, dokar, grobag. Istilah ‘kréta’ di situ bisa jadi mengacu pada kereta kuda yang biasa dipakai kaum bangsawan atau para ningrat dari keraton, sementara untuk menyebut kereta api tentu sudah ada istilah ‘sepoer‘, yang kabarnya berasal dari bahasa Belanda, ‘spoor‘, yang artinya jalur. (Sepur pertama di Hindia Belanda muncul di Semarang, 1867.) Tapi saya masih penasaran: kenapa kata ‘mobil’ tidak muncul dari mulut Pétruk, padahal pada masa itu sudah ada banyak mobil? Konon mobil pertama di Indonesia dimiliki oleh Sri Susuhunan Pakubuwana X, raja Surakarta, yang membeli Benz Phaeton pada tahun 1894, alias hanya berselang sewindu dari mobil pertama di dunia itu selesai dibuat! Sementara ‘motor’ yang disebut Pétruk paling awal di situ sepertinya lebih mengacu pada sepeda motor. Atau jangan-jangan ‘kréta’ tadi itu juga sekaligus untuk menyebut ‘mobil’ (seperti sebagian orang Melayu di Sumatra dan Malaysia) yang sekaligus mengamini ramalan Jayabaya soal itu—bahwa kelak akan datang suatu masa di mana ada “kréta tanpa jaran” alias kereta tanpa kuda?
Wow!
Cara bertutur dalam bahasa apapun selalu berkembang.
yang juga menarique adalah upaya terus menerus untuk mencatatnya 🙂