Gadis Indolapan

Kadang-kadang iri juga saya dengan orang-orang yang apa ya, bukan pelupa, tapi memang lupa aja, bisa effortlessly melupakan hal-hal nggak penting dari masa lalu, bahkan hal-hal apapun, nggak harus spesifik dari masa lalu. “Lali, opo pancen nglali?” kata Didi Kempot. Saya pernah baca, beberapa orang memang dikaruniai kondisi, untuk tidak menganggapnya kutukan, bisa mengingat hal-hal kecil sampai detail terkecil yang paling kecil, hingga taraf yang kadang agak menyiksa. OK, iri nggak banyak bantu juga sih. Mungkin lebih asyik kalau diterima aja? Kakak kedua saya pernah nyeletuk sekitar tahun 1994, waktu pulang kampung ke rumah kami di Jateng, mengomentari sebuah band baru bernama Java Jive yang ketika itu pertama muncul di televisi lewat lagu “Kau yang Terindah”. Itu hari Sabtu yang gerah. “Vokalisnya dulu pernah nyanyi lagu judulnya “Gadis Malam” tapi dia solo waktu itu.” Karena belum ada internet, sumber informasi mengenai musik pop yang tersedia hanyalah majalah, tabloid, atau kalau kita beruntung, muncul sesekali potongan wawancara band/musisi di radio atau televisi. Hal-hal nggak bisa langsung dikroscek begitu saja dengan mudah. Sebetulnya saya sudah langsung bertanya-tanya dalam hati, sambil menuang sirop ke gelas dan saya campur dengan air dingin dari kendi: mosok iya sih, tahu dari mana ya dia? Kok nggak pernah saya lihat ada di televisi, atau diputar di radio FM waktu itu? Mungkin kakak saya pernah dengar lagu itu di mana gitu, di radio lain atau di manalah, sayangnya saya malah nggak langsung nanya ke dia lebih lanjut soal itu. Kami memang tidak membicarakan hal-hal seperti itu. Tapi saya teringat-ingat terus celetukan itu, nggak bisa lupa, bahkan ketika saya berusaha melupakannya. Setahun kemudian, 1995, album kedua Java Jive dirilis. Single pertamanya, “Gerangan Cinta”, sampai sekarang masih bercokol di top 10 most played songs on my iPod (yang saya kasih nama Didi kemPod). Saya ingat ketika single kedua dari album itu keluar, “Permataku”, saya lagi main ke rumah pakdenya Andi, teman sekelas di SMA, bareng Akbar, teman sekelas juga, di daerah Tipes (dibaca “Tipès”, bukan seperti sakit tipes). Sore itu televisi memutar videoklipnya, Tracy Trinita main petak umpet di reruntuhan mirip candi atau setidaknya benteng tua. Lagunya bagus banget. Pakdenya Andi sedang keluar kota hari itu. Malamnya, kami bertiga (saya, Akbar, Andi) tiba-tiba kepengen nonton film midnight di bioskop, dan supaya seru, kami sengaja memilih lokasi terjauh, Atrium 21 di daerah Solo Baru. Filmnya apa, kami nggak peduli, karena sebetulnya itu cuma alasan Andi supaya bisa jalan-jalan keliling kota menjajal mobil tua milik pakdenya, jeep terbuka dengan stir kiri. Jadwal bioskop midnight di Solo waktu itu betul-betul tengah malam, bahkan lewat dari tengah malam, dimulai pukul 00:30 WIB. Andi nyetir, Akbar duduk di sebelahnya. Mereka bercelana pendek. Salah satu dari mereka, atau malah dua-duanya, saya ingat memakai sarung. Saya duduk di belakang, mencoba menikmati semilir angin malam yang kering dan sia-sia. Sarung mereka lipat sebelum menuju ke arah loket dan baru dipakai lagi begitu masuk bioskop. Penonton malam itu cuma sedikit, dan saya nyesel nggak ikutan bawa sarung. Kapan lagi bisa nonton film layar lebar seperti di bioskop sendiri, sikil munggah kursi krukupan sarung? Saya tidak akan pernah bisa lupa film jelek itu, Copycat. Film-film berbau horror semacam ini sebetulnya bukan selera saya, dan mata ini langsung byar-pet, terkantuk-kantuk atau malah sempat ketiduran cukup lama. Pas pulang, mripat saya langsung byarrr lagi terembus angin malam yang mulai terasa basah menjelang dini hari, dan mobil jeep itu malah mogok di tengah jalan! Jam tiga subuh! Kami terpaksa meninggalkan mobil tua itu di pinggir sawah yang sepi nyênyêt dan seingat saya juga pêtêng ndhêdhêt, lalu kami harus berjalan kaki jauh banget dari situ ke arah Gemblegan untuk mencari taksi, sampai azan subuh berkumandang. Beberapa tahun kemudian, 2003, Java Jive merilis album The Best Of, ada lagu baru yang judulnya sampai diinfokan di sticker depan cover kasetnya, “Gadis Malam”. Hah, apa ini yang dimaksud kakak saya waktu itu? Internet sudah turah-turah di masa itu dan hobi saya mencoba semua warnet di Bandung, sampai punya list warnet favorit pribadi dari sisi kecepatan koneksi, kenyamanan venue (duduk lesehan atau di kursi?), posisi kipas angin menentukan prestasi, kemudahan parkir motor, bisa sekalian ngeprint adalah nilai tambah, dan yang tak kalah penting, poin keanekaragaman gurilem. Saya pindah-pindah mengabsen warnet-warnet itu per berapa hari sekali, dan tetap nggak ada info secuil pun soal lagu itu! Di tahun itu saya sudah jarang menyalakan TV selain untuk kartun SpongeBob SquarePants di Lativi, dan saya juga sudah nggak inget kenapa waktu itu nggak langsung ke Aquarius Dago memeriksa sleeve-nya. Album The Best of Java Jive memuat lagu “Permataku” favorit saya tadi itu, yang kelak sepenggal intronya malah mengingatkan saya ke lagu “Nyanyian Bencana”-nya band Inpres (1980), tapi single yang dijagokan tentulah lagu ‘baru’ mereka, “Gadis Malam”, bahkan ditaruh jadi lagu pembuka side A, sebelum lagu “Kau yang Terindah”. Lagu itu sempat dibikin kaset single (atau istilah Barat, cassingle) untuk promotional copy yang biasa dipasok oleh label-label rekaman ke stasiun-stasiun radio untuk diputar di siaran mereka, karena ini masih di masa transisi setelah piringan hitam dan sebelum masuk ke era digital. Belakangan, di sebuah asrama mahasiswa yang gedung tuanya selalu diisukan mau roboh tapi nggak roboh-roboh juga tuh, saya menemukan beberapa majalah HAI bekas dari penghuni sebelumnya, di pojokan dekat tangga, kertasnya keriting-keriting kena air hujan dari talang lapuk yang kelihatannya selalu bocor. Teman baik saya tinggal di situ selama kuliah, saya sering nebeng bikin indomie rebus sementara dia sibuk berlatih gitar bass, tanpa pernah sekalipun manggung dengan instrumen itu. Di band kampus, teman saya ini memilih gitar karena sungkan ada personel lain yang waktu SMA konon adalah “bassist terbaik se-Jatim”. Saya masih ingat kamar teman saya itu di lantai berapa sekian nomor sekian, atas nama nostalgia saya iseng naik motor ke situ beberapa tahun lalu, ternyata gedungnya sudah betulan roboh. Setumpuk majalah HAI bekas tadi sebenarnya sudah saya bawa pulang setahun atau dua tahun sebelum teman saya itu keluar untuk selamanya dari asrama itu karena mengundurkan diri dari kuliah, tapi baru betul-betul saya buka dan baca-baca dengan lebih seksama pada akhir 2003, ketika saya makin luntang-lantung setelah akhirnya saya juga dikeluarkan dari kampus. Di edisi November 1992, ada chart “10 Tembang Teratas HAI” dan di peringkat tiga ada lagu berjudul “Gadis Malam”, oleh Danny Jive! Wah, berarti kakak saya benar! OK, rupanya lagu itu ada di album kompilasi Indolapan, saya langsung cari kasetnya di pasar pasar kaget Jumat depan kampus, yak dapet! Waduh, ternyata mendhem banget pitanya! Alhasil cuma terdengar lamat-lamat di mini-compo Simba punya kakak pertama saya. Saya menunda-nunda mencari copy lain yang lebih bagus, karena musti ngubek-ubek lagi ke loakan, belum ada marketplace seperti sekarang ini. Lagu “Gadis Malam” itu ciptaan Coky Batubara, music director di kaset Indolapan ini, yang menciptakan empat dari total tujuh lagu di kaset itu. Selama bertahun-tahun saya masih menyangka versi orisinal ’92 itu nggak sekinclong versi aransemen Java Jive ’03. Sampai tadi pagi, saya baru ngeh seseorang sudah mengunggah versi jernihnya ke YouTube beberapa bulan lalu. Liriknya sih ya gitu deh, tapi sensasi menyimak versi ini rasanya seperti mendengar “Sleep All Summer” oleh The National and St. Vincent, kemudian bandingkan dengan versi aslinya Crooked Fingers.

>> Danny Jive – “Gadis Malam” (versi 1992)
>> Java Jive – “Gadis Malam” (versi 2003)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *