Beberapa hari lalu ada kiriman dari rumah sebelah, sepiring singkong rebus. “Roti sumbu,” kata si pengirim. Wah, sudah lama juga nggak dengar istilah itu. Duluuu saya pertama kali tahu istilah “roti sumbu” itu dari majalah Bobo dan kalau nggak salah sempat muncul juga di beberapa dialog di serial Si Unyil di TVRI. Disebut itu, ya karena ada ‘sumbu’ di tengahnya. Kadang singkong yang sudah direbus ini kemudian lanjut digoreng, dan si sumbu tadi menjadi agak lebih renyah saat dikunyah-kunyah terakhir. Saya tidak tahu sejak kapan istilah “roti sumbu” itu mulai muncul. Di buku Soerat Pembatjaan Karna Anak-anak Malajoe (1870) sudah ada kata “roti” dan “soemboe” tapi mereka masih dipakai terpisah, dengan arti masing-masing, belum digabungkan, apalagi untuk dipakai sebagai istilah guyon bagi singkong yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke-16 di kepulauan Maluku (dibawa ke situ oleh bangsa Portugis) dan masuk pulau Jawa baru sekitar 1852 di Jawa Timur. Waktu saya kecil, saya masih SD sekitar akhir dekade 1980an, tetangga sebelah punya kebun kosong di belakang rumahnya, yang ditanami singkong dan pohon jati (lho, bukan kebun kosong dong namanya?!), saya ingat pucuk-pucuk daun dan/atau kembang jati muda kalau digosok-gosokkan ke kuku jari bakal muncul warna merah, buat ngeprank temen biasanya, pura-pura berdarah biar dia kaget. Hihi. Ada-ada aja keisengan masa kecil. Saya dan seorang teman baik saya, dia setahun di bawah saya tapi beda sekolah, sering nggak tahan melihat ketenangan kebun kosong-nggak-kosong itu, jadi kami pernah diam-diam mencabuti beberapa pohon singkong yang kami rasa sudah gendut umbinya. Huhu. Ini lebih gampang daripada nyolong tebu yang jauh lebih ribet! Kami tarik singkong dari tanah gembur itu sambil nyanyi-nyanyi kecil, “aku suka singkong/kau suka keju, o, o!” yang waktu itu videoklipnya masih suka nongol di TV. Singkong cabutan itu kemudian diselipkan ke nyala tungku di sela-sela kayu bakar yang merah baranya. Sebetulnya hasilnya mirip singkong rebus nggak sih? Tiap kali Ibu menyuruh saya memotong-motong singkong mentah yang dibeli dari pasar, buat direbus atau digoreng (atau direbus lalu digoreng), antusiasme saya langsung membuncah-buncah nggak tahu kenapa, terutama menunggu-nunggu bagian mengupas kulit umbinya. Kok bisa ya, si umbi buruk rupa yang kulitnya keras kaku, grênjêl-grênjêl dan penuh tanah itu begitu dikelupas langsung oh wow ternyata mulus banget bagian dalamnya? Inikah yang dinamakan inner beauty? Sisa singkong rebus yang nggak habis di meja makan kadang-kadang masih bisa diolah lagi keesokan harinya, diiris tipis-tipis (bagian ini lumayan membosankan), dijemur di atas tampah alias nampan bambu di pelataran depan, di pagar, tiang jemuran dekat sumur, atau kalau rumahnya beratap rendah ya di genteng. Dijemur sampai kering dan mengeras, lalu digoreng srèng, jadilah mangglèng. Beberapa menyebutnya blanggrèng. Ada juga yang menyebut cemilan yang nggak gigi-friendly ini balung kethèk, alias tulang monyet. Waduh, nggak PETA-friendly! Ngomong-omong soal monyet, pernah di kampus lama saya ada seorang kawan bercanda soal film klasik King Kong, si monyet raksasa yang menguasai kota. Dia usul bagaimana kalau kita bikin parodinya, monyet diganti umbi raksasa. Karena itu judulnya otomatis juga musti diganti, jadi, yak betool… Sing Kong!
Dea baru tau ada istilah “roti sumbu” untuk singkong. Menarik dan bisa kami pake juga hahaha. Apa lagi kami sebenernya rada sering makan singkong karena di kebun orangtua kebetulan ada singkong.
Btw, inner beauty-nya singkong juga enak. Kulit kedua sebelum daging singkong yang putih sama Dea suka direbus pake aer garem, didiemin semalem, terus ditumis pake sereh, cabe merah, laja, bawang merah, bawang putih, ebi, dan santen dikit. Katanya namanya kadedemes.
wah saya malah baru tau soal kadedemes itu, barusan googling2 tampak menarique! 🙂 selamat ber-rotisumbu-ria, dea!