Satu hal yang kerap saya sesali tiap kali bangun tidur adalah kenapa saya dulu ragu-ragu minta foto bareng pelawak Komeng, padahal kami sudah berpapasan di dekat lift di Jakarta. Bahkan kami kemudian satu lift! Dia tersenyum mengangguk ramah ketika saya refleks menahan pintu supaya bisa ikut masuk. Memang belum era smartphone ketika itu, sekitar 2006-2007, tapi di tas rasanya selalu ada kamera digital andalan Canon IXUS. Saya sudah lupa detilnya, semua terasa slo-mo dan perjalanan ke lantai 7 bagaikan perjalanan menuju langit ketujuh. Kepala saya menimbang-nimbang cepat, basa-basi macam apa yang sekiranya bisa membuka obrolan singkat sebelum minta izin untuk foto bersama. Namun lidah terasa kelu. Lagi pula hanya ada kami berdua di dalam lift, siapa yang bisa memotret kami? Saya berharap ada orang lain tiba-tiba masuk, menekan tombol cekrek di kamera sementara kami memasang pose “Uhuyy!” terbaik kami. Nihil. Semua berlalu begitu saja dan sejak saat itu saya berjanji ke diri sendiri tidak akan pernah lagi menyia-nyiakan kesempatan berfoto bareng idola. Beberapa nama di daftar saya mulai tercontreng satu per satu, HIM Damsyik, Remy Sylado, Didik Nini Thowok, Nasida Ria, Amy Search, dll. Sebetulnya ada satu nama di daftar teratas yang sayangnya tidak pernah kesampaian: Gesang Martohartono. Wajahnya mirip pakdhe-pakdhe yang sering saya jumpai di hari-hari sungkem Lebaran, meski Pak Gesang yang kelahiran 1917 jelas jauh lebih tua daripada mereka semua. Beberapa waktu lalu di basement Blok M Square kaget juga saya mendapati foto Pak Gesang, di majalah Gadis edisi awal 1995 yang teronggok di satu kios buku bekas, berpose bareng duo Humania di artikel berjudul “Ngebis Bareng Orbek”. Orbek! Ada suatu era memang, di mana istilah ‘orbek’, singkatan dari “orang beken”, banyak dipakai media massa terutama yang pangsa pasarnya anak muda, untuk menyebut ‘seleb’ alias celebrity. Menurut artikel, foto diambil saat Humania bersama Kahitna dan Mayang Sari sedang menjalani tur ke kota-kota di Pulau Jawa via jalan darat, termasuk Solo. Rombongan bertemu Pak Gesang di markas PTPN Rasitania, stasiun radio anak muda Solo di Jalan Kebalen yang sepanjang 1995–1998 saya rajin simak, terutama karena tiap Senin malam ada program HaiRock berisi lagu-lagu Barat keren seperti RATM, Eels, Sleeper, Kula Shaker, dsb. Salah satunya, lagu “Novocaine for the Soul” dari album debut Eels, Beautiful Freak (1996), yang kaset rilisan lokalnya juga beredar resmi di sini. Videoklipnya sempat berseliweran di MTV, dan boleh jadi beberapa visual di situlah yang mengilhami dua videoklip Dewa 19 di tahun berikutnya: adegan Tamara Bleszynski dan Wong Aksan melayang tipis di videoklip “Aku Di Sini Untukmu”, dan Andra Ramadhan berdiri terjungkir 90° menempel tembok setelah menyayat gitar à la Trevor Rabin di lagu Yes “Changes” dalam videoklip “Kirana”—keduanya dari album Pandawa Lima (1997). Di foto majalah Gadis tadi, Humania yang terdiri dari duo produser/multiinstrumentalis Eq Puradireja dan Heru Singgih tampak tersenyum malu-malu, berdiri mengapit Pak Gesang yang mengenakan baju safari biru keabuan, yang membuatnya terlihat seperti guru. Saya jadi teringat ibu guru Kimia saya di SMA, yang kebetulan punya satu slot siaran di radio PTPN itu. Siaran diisi wawancara beliau dengan murid-murid berprestasi, misalnya teman sekelas saya yang terpilih menjadi anggota paskibra nasional. Saya kurang memenuhi kriteria, apalagi angka-angka di rapor merosot terus, tapi saya diundang juga ke ruang siaran setelah ketahuan menang lomba mengarang di luar sekolah. Sepanjang wawancara itu saya lebih banyak gugup. Ibu guru yang saya hormati ini, dengan intonasinya yang khas, tegas dan berwibawa, bertanya kepada saya soal motivasi saya menulis. Waduh, apa ya? Jawaban saya sepertinya klise saja. Saking groginya di depan mikrofon, remaja usia 16 ini cenderung mengiyakan dugaan gurunya soal upbringing, tradisi di keluarga, kerabat yang menginspirasi, atau semacamnya. Sepulangnya dari ruang siaran, saya terus terhantui pertanyaan itu. Memangnya harus ada ya, yang namanya motivasi? Kalaupun ada, perlukah diucapkan? Atau cukup dirumuskan dalam hati, diresapi? Minimal disadari dulu? Ceileh. Satu dekade kemudian, di majalah Paste saya membaca resensi kumcer Charles Yu, Third Class Superhero (2006). Ulasannya menarik, ada gaung David Foster Wallace disebut-sebut, juga Kurt Vonnegut, dalam “this style of metafictional, literary pilgrimage”, bagaimana teknologi dan pop culture diolah menjadi kisah sci-fi mengharukan, sampai bikin saya pengen baca bukunya. Butuh beberapa lama hingga akhirnya kesampaian punya buku itu, oleh-oleh dari kakak saya. Di cerpen pembukanya, berjudul “Third Class Superhero”, tokoh si aku adalah seseorang dengan kekuatan super, yang sayangnya tidak cukup super untuk bisa benar-benar dianggap superhero di semestanya. “My power, if you can call it that, and I don’t think you can, is that I am able to take about two gallons of water from the moisture in the air and shoot it in a stream or a gentle mist. Or a ball. Which is useful for water balloon fights, but not all that helpful when trying to stop Carnage and Mayhem from robbing a bank.” (hlm. 3). Tiap tahun si Moisture Man ini mendaftar ke otoritas superhero setempat, melengkapi formulir administrasi, mengerjakan tes, dan tiap tahun pula dia harus menerima surat pengumuman bahwa dirinya, untuk kesekian kalinya, gagal diterima jadi superhero. Padahal dia merasa sudah mempelajari dengan seksama buku Heroics for Dummies seharga $24.99 yang ditulis oleh seseorang bertitel MBA. Rasa kecewa di lubuk tergelap jiwanya mendorong Moisture Man mengambil satu keputusan besar yang mungkin keliru. Cerpen ini bagus sekali, kocak, dan ya, sedih. Saya mencari-cari di internet siapa tahu ada info mengenai motivasi di balik kepenulisan Yu itu, tapi lantas merasa konyol sendiri, karena jangan-jangan motivasi dan kreativitas tak terhubung linier? Di hari-hari tur Pulau Jawa itu Humania baru saja merilis album debut mereka, single pertamanya berjudul “Terserah”. Di studio, mereka mengajak Jamie Aditya yang masih berambut panjang (nantinya ngetop sebagai VJ MTV dengan rambut cepak) untuk ngerap di beberapa bagian. Sementara di tur, mereka berfoto bareng Pak Gesang! Kira-kira apa yang mereka obrolkan di situ? Sayangnya di artikel malah tidak dibahas. Ketika itu Pak Gesang sudah berusia 77, dan lagu “Bengawan Solo” yang ditulisnya di 1940 sudah puluhan tahun menjadi lagu populer di negeri ini. Pelawak kenamaan S. Bagio di dekade 1980an pernah melempar jokes soal lagu itu, dulu sering dilontarkan juga oleh bapak saya di meja makan, yaitu memodifikasi pelafalan bait pertama di liriknya: suku kata kedua oleh Bagio dipanjangkan sedemikian rupa sehingga suku kata terakhir di baris itu terpotong, lalu terdesak ke baris berikutnya, “Be-ngaaa-wan So—…/…—lo riwayatmu in-…” Buku biografi Gesang Tetap Gesang, ditulis oleh T. Wedy Utomo dan dirilis tahun 1986 oleh penerbit Aneka Ilmu dari Semarang, di sampulnya memajang foto Pak Gesang sewaktu lebih muda, berkaos putih polos dan bersarung. Tapi rasanya foto termuda Pak Gesang yang pernah saya lihat ada di sampul piringan hitam Sebelum Aku Mati. Saya tidak tahu persis tahun rilisnya, mungkin sekitar akhir dekade 1960an/awal 1970an. Di situ Pak Gesang berpose mengenakan jas rapi dan berdasi, dengan sebatang rokok terselip di jari tangannya. Menurut buku Gesang Tetap Gesang, lirik lagu “Sebelum Aku Mati” itu bertema legacy, atau “tinggalan” kalau istilah di buku, dan tercipta di tahun 1963 sebagai “sebuah filsafat ‘ketuaan’ […] pantulan halus jiwa Gesang sendiri” (hlm. 59). Di piringan hitamnya, lagu itu muncul membuka side A, dinyanyikan Hadi S. yang juga membawakan “Djembatan Merah” di awal side B. “Bengawan Solo” ditaruh paling akhir, side B track 6, didendangkan oleh Ipuk Sunarmi. Pak Gesang malah cuma menyanyikan satu lagu, “Bilamana Dunia Berdamai”. Istilah ‘orbek’ di artikel majalah Gadis tadi tentunya lebih diperuntukkan bagi musisi-musisi yang sedang diliput wartawannya yakni Humania, Kahitna, Mayang Sari; tapi karena ini Pak Gesang, seorang legenda musik Indonesia, apakah bisa dibilang yang sebetulnya terjadi adalah “orbek ketemu orbek”? Dalam skala berbeda, semacam Michael Jackson ketemu Muhammad Ali, atau Bitel ketemu Elvis? Album kedua Humania, Sahabat Lama (1996), di kuping saya terasa lebih lembut dan membuai dibanding album pertama, sehingga efektif jadi kaset pengantar tidur. Biasanya saya sudah jatuh terlelap sebelum side A berakhir, terutama oleh sapuan halus “Wait A While” yang syahdu membiru di situ. Album ketiga mereka, Interaksi (2000), memuat lagu “Interaksi” yang ditulis bareng Indra Lesmana (yang juga bermain synthesizer di track itu), tapi mereka lebih memilih “Lepas Kendali” sebagai single pertama. Langkah yang tepat. Lagu itu terdengar sangat modern, bergelora (“gairah cinta yang mulanya tabu”), dan semua orang seperti sedang bersemangat, “Mungkin kau bukanlah bayangan semu…” Drums di lagu “Lepas Kendali” (juga di beberapa lagu lain) dimainkan oleh Aksan, di credit title namanya kembali menjadi Sri Aksana Syuman, bukan lagi Wong Aksan sebagaimana di sleeve kaset Pandawa Lima. Di tahun 2000 itu Dewa merilis album Bintang Lima dengan vokalis dan drummer baru, dan arah musiknya pun berbeda dari sebelumnya. Musikalitas Aksan memang lebih cocok menari-nari di banyak wilayah seru lainnya sehingga tidak perlu terkurung di “perhiasan sangkar madukuuu”. Di album Humania Interaksi, Aksan bahkan ikut menyumbang lagu ciptaannya, “Restu”, di mana dia juga bermain piano di situ. Menurut wawancara oleh tabloid MuMu edisi 26 November 1998 (saya baca dari arsip milik kawan di Solo), Aksan membantu pembuatan album Humania karena merasa punya kesamaan visi dengan mereka, terutama soal pandangannya atas audiens, termuat di hlm. 23, “[…] gue memang lebih suka panggung yang kecil tapi penontonnya mengerti banget. Daripada banyak tapi nggak tahu apa itu jazz. Pikiran anak-anak Humania juga begitu, biar kecil nggak apa-apa yang penting ngerti.” Ketika itu wawancara dilakukan di sela-sela Aksan manggung rutin tiap Sabtu malam di Harry’s Pub, Jakarta, bersama band jazz-nya, Wong Acid (terbentuk Maret 1998) atas ajakan Indra Lesmana yang punya program di pub tersebut. Aksan nantinya juga mengisi drums di album solo Indra Lesmana, Reborn (2000). Bahwa akhirnya dia bergabung dengan Potret, rasanya memang tidak ada drummer yang lebih tepat untuk menggantikan Arie Ayunir selain Aksan. Potret adalah band pop alternatif paling efisien yang pernah ada di sejarah musik Indonesia. Mereka cuma bertiga, namun tidak seperti Netral, Green Day, Nirvana, The Police, Rush, atau trio-trio pada umumnya, vokalisnya nggak nyambi bermain alat musik. Melly Goeslaw hanya bernyanyi. Melly bahkan mengaku tidak bisa memainkan instrumen, juga tidak bisa membaca not balok, tapi sanggup mengarang lagu hanya dengan cara bersenandung. Dari nada-nada yang tercipta itu lalu dibuatkan aransemen musiknya oleh sang suami, Anto Hoed. Lirik-lirik mereka tidak hanya ringkas, blak-blakan dan kocak (misalnya di “Mak Comblang”) tapi juga visioner (“Diam”); dan nomor-nomor upbeat andalan mereka (“Salah”, “Bagaikan Langit”) selalu terdengar khas lewat permainan bass yang rapat dan drums tergopoh-gopoh. Sepintas terdengar simpel dan main-main, padahal itu jelas butuh teknik tinggi. Meski tak sama persis, gaya bermain drums Arie dan Aksan masih berada di spektrum yang kurang lebih sama dan banyak irisannya. Kapabilitas Aksan sebagai produser juga menjadi nilai tambah tersendiri bagi Melly dan Anto. Di project solo paling terkenal Melly Goeslaw, soundtrack untuk film box office Ada Apa dengan Cinta? (2002), Aksan ikut berperan di satu track dengan menggarap musik untuk nomor upbeat “Ingin Mencintai & Dicintai” bersama Indra Lesmana di keyboard dan Baron pada gitar (untuk nomor-nomor lainnya posisi gitar kebanyakan diisi oleh Tohpati, dengan music director Anto Hoed). Kontribusi resmi Aksan di rekaman Potret diawali dari single “Do It”, ada di kaset The Best of Potret, From Dawn to Beyond (2001); dengan videoklip memunculkan sosok-sosok personelnya glowing in the dark, di mana Anto Hoed didandani mirip Darth Maul dari film Star Wars. Estetika videoklip itu sepertinya banyak dipengaruhi oleh visual band nu metal Mudvayne, terutama dari videoklip “Dig“. (Komen kocak netizen di situ: “This is German version of Teletubbies.” Haha!) Frase “do it” di lagu Potret itu maksudnya duit, betapa manusia hidup dalam cengkraman uang, yang menurut liriknya adalah “masalah mendasar dalam hidup ini”, bahkan “yang benar bisa salah/ yang salah bisa benar/ kalau pakai duit.” Urusan menulis lirik lucu dan getir, Melly Goeslaw masih tetap jagonya, “orang seperti aku/ senang-senang tak bisa/ frustrasi pun tak bisa.” Setidaknya Melly bisa mengeja kata ‘frustrasi’ dengan benar, seperti halnya Ebiet G. Ade, bukan ‘frustasi’ sebagaimana Iwan Fals (padahal di sampulnya sudah dieja benar) atau Tipe-X. Di tengah-tengah lagu, musik “Do It” berubah jadi garang, satu lagi bukti Potret memang bisa merambah ke mana saja. Aksan mulai bermain penuh di album Potret berikutnya, positive+POSITIVE (2003), yang desain sampul depannya kembali mengingatkan saya ke Mudvayne, yakni album L.D. 50 (2000). Saat pertama kali rilis, bagian depan jewel case kaset Potret itu ditempel stiker promo bertuliskan “Including Radio Hits “BELUM TENTU”. Belum tentu ngehits di radio atau gimana nih? Hehe. Saya suka selera humor mereka, dan di kaset itu ada satu track yang mencuri perhatian saya, “Drum & Vocal”. Persis seperti judulnya, isinya cuma Aksan main drum dan Melly bernyanyi. Apakah mereka juga mendengarkan “Mad Eyed Screamer”-nya The Creatures? Saya tidak sempat menanyakan itu kepada Aksan saat kami berpapasan di stasiun kereta api Bandung beberapa tahun silam. Selain waktunya mepet, musti kenalan dulu dan sedikit basa-basi padahal kereta sudah mau berangkat, lebih baik saya fokus berfoto bareng. Yang ini jangan sampai lolos.
Gila om Budi detail sekecil cengek domba tak ada satu pun yang terlewat 👏
(((cengek domba))) 😂