Heart-Shaped Books

Beberapa waktu lalu saya diminta datang ke sebuah sekolah di Bandung untuk menyemangati murid-murid kelas 8 membereskan tugas besar mereka, yaitu menyusun buku catatan perjalanan. Pihak sekolah rupanya membaca buku saya dan merasa spirit bercerita di situ cocok untuk dibagikan ke siswa-siswinya. Anak-anak itu baru saja menjalani study tour ke beberapa titik di pesisir utara Pulau Jawa, dengan tujuan akhir di Semarang. Dulu waktu saya seumur mereka, rute karyawisata SMP saya malah sebaliknya: berangkat dari kota kabupaten di Jateng, menuju ke Bandung. Di gunung Tangkuban Perahu, 1994, saya membeli topi bulu-bulu dengan ekor menjuntai aneh di belakang tengkuk, lalu saya pakai untuk difoto di depan kayu-kayu pagar sekitar kawah. Maksudnya supaya mirip dengan satu adegan di videoklip lagu Nike Ardila dari tahun 1989, “Seberkas Sinar”. Sambil berpose saya gumamkan sebaris liriknya yang simpel sekaligus super deep, “..dalam cinta/ adakah cintamu?” Hmm. Apakah cinta memang bisa disuwir-suwir? Apakah cinta seseorang hanyalah sebagian kecil dari cinta yang lain, sebuah himpunan besar, cinta yang lebih sublim? Lagu ciptaan Deddy Dores itu sangat populer di masanya (sekarang pun masih), dengan beberapa bagian terdengar mirip banget lagu God Bless “Rumah Kita” ciptaan Ian Antono. Sebagai remaja tanggung saya lebih terpukau pada “Seberkas Sinar”, yang liriknya seperti berayun-ayun di antara pengharapan dan keputusasaan. Secara judul, itu jauh mendahului “Ray of Light” Madonna (1998); sementara secara videoklip, di mana Nike Ardilla bernyanyi di atas batu-batu pegunungan, malah lebih jauh lagi mendahului videoklip Britney Spears “I’m Not A Girl, Not Yet A Woman” (2001). Yang saya juga nggak habis pikir, bagaimana bisa di lagu “Seberkas Sinar” itu ekspresi “ha-haa-haaa” Nike pakai bukan lagi sebagai ungkapan keceriaan melainkan luapan kesedihan? Dengan kata lain, bukan tawa tapi nestapa? Apakah karena waktu itu saya, pinjam istilah Britney, not a boy, not yet a man, jadi belum terlalu mengerti? Tapi bukankah Nike juga baru umur 14 saat pertama merilis lagu itu? Sudahkah “kucoba merenungi/ tentang jalan hidupku”? Kalau kita jeli memasang earphones, ada gaung tipis di ujung baris pertama, “…kala ‘ku seorang diri-(di-ri)…”—apakah kita sebetulnya nggak pernah benar-benar sendiri ketika sendirian, atau bagaimana? Saya coba angkut ke ruang kelas apa-apa yang selama ini mengilhami saya; seperti foto-foto lawas, chart lagu dan surat pembaca di majalah, stiker WhatsApp, meja pingpong, status FB, papan karambol, dsb. Tapi rupanya anak-anak itu lebih tertarik pada satu slide di presentasi saya yang berisi kutipan WA status kawan saya, kurang lebih begini bunyinya: kita bisa saja dengan mudah melupakan tempat dan ucapan, tapi perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh tempat dan ucapan itu biasanya lebih susah hilang dari ingatan. Mereka mengangguk-angguk, dan buku perjalanan mereka pun selesai beberapa pekan kemudian. Saya rasa tiap orang memang bisa mencari dan menemukan (atau tidak menemukan) arti kehidupan seberkas sinar dari mana pun. Dari sisi kehidupan yang utuh dan menyenangkan, atau dari yang retak dan merisaukan. Dari tempat-tempat tak terduga, dan dari hal-hal yang tak sempurna. Ceileh, kata-kata hari ini bukan nih? Bukan dongg. Mungkin cuma mengulang sekali lagi lirik Leonard Cohen yang sudah terlalu sering dikutip orang-orang, “there is a crack in everything/ that’s how the light gets in”? Saya diundang ke hari peluncuran buku perjalanan anak-anak kelas 8 itu, saya penasaran lalu bertanya dari mana mereka menemukan frasa untuk menjuduli buku mereka. Salah satu anak semangat menjawab, itu dari lagu kesukaan mereka. Mantap. Di jalan pulang saya membuka-buka buku mereka, yang diterbitkan untuk kalangan terbatas oleh pihak sekolah. Dari dashboard mobil terdengar musik di radio #nowplaying sebuah lagu upbeat yang cukup dancey, saya tidak tahu judulnya dan belum sempat membuka Shazam, tapi dari hanya setengah menit itu saya sudah langsung terbawa ke tahun lalu, ketika seseorang mengontak saya dan meminta rekomendasi musik untuk konten newsletternya yang dicetak terbatas menyambut Record Store Day 2022. Saya jawab: Sparks album Angst in My Pants. Ini salah satu album art pop/new wave/dance rock/apalah itu favorit saya. Lalu saya ceritakan saya pernah melepas satu album Dinosaur Jr ke seorang teman, untuk dibarter dengan album Aztec Camera dia yang sudah lama jadi wishlist saya dan nggak nemu-nemu. Nyesek dan nyeselnya masih kerasa sampai sekarang. Bukan cuma karena itu Dinosaur Jr cetakan awal, tapi juga bagaimana Aztec Camera malah nongol beberapa kali di pasaran setelah barter sialan itu terjadi! Di momen kesekian saya ketemu lagi dan lagi Aztec Camera itu, ada satu album Sparks di tumpukan sebelahnya. Saya suka banget Sparks. Kimono My House (1974), album paling beken mereka yang memang ketat bukan main, saya sempat menyimpan beberapa copies. Pernah ke satu kawan, dia penggemar berat Queen, saya putarkan album itu keras-keras dan ekspresi melongo di wajahnya saat mendengar “This Town Ain’t Big Enough For Both Of Us” masih awet di kepala saya. (Pernah dengar cerita legendaris ini? Queen di awal karir pernah jadi band pembuka Sparks, dan Ron Mael sempat membujuk Brian May supaya keluar dari band Queen dan bergabung dengannya di Sparks!) Sementara Angst in My Pants (1982) yang ada di sebelah Aztec Camera tadi itu, justru berbeda dari Kimono My House. Lebih rileks, lebih sumèlèh kalau orang Jawa bilang, dan tetap lucu. “If a mouse can be special, well, so can you.” Hahaha. Dari majalah Uncut edisi October 2017 saya jadi tahu produser mereka di album itu, Reinhold Mack, “took a snippet of the drum track from a Queen song, and we looped that.” (hlm. 96). Di lagu lain, Sparks mengolok-olok diri sendiri, sebagai band yang kurang sukses, “Chart position, bubbling under, drowning/ and goodbye future Mrs. Mael”, diakhiri dengan “I’m fading away/ I’m fading away/ “I’m fading away…”, dan itu terbukti salah. Mereka hari ini adalah one of those cult bands yang nggak pernah gede-gede amat tapi sekaligus nggak mati-mati juga sampai sekarang. Joy Division, Morrissey, dan Björk mengakui Sparks sebagai inspirasi mereka. “Love Will Tear Us Apart” misalnya, ternyata sangat terpengaruh “The Number One Song in Heaven“. Morrissey di umur 15 menulis surat pembaca ke NME soal album Kimono My House. Björk di masa kecilnya merasa dibanding band-band rock ‘n’ roll saat itu Sparks lebih menarik, “more like a fairy tale“. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Jackie, 1974, Sparks menyebut corak musik mereka “rock waltzes and polkas”. Sparks mulai bermusik dari setengah abad silam dan masih aktif hingga kini, bahkan sempat merilis album baru di masa pandemi. Dari total 25 album penuh Sparks plus dua album lain di diskografi panjang mereka, di saya baru terkumpul kurang dari separuhnya. Semoga masih ada waktu. Sebagian cerita tentang Sparks itu saya ketik di ponsel, saya kirimkan via DM kepada yang meminta konten tadi. Ketika newsletter selesai dicetak dan dikirim ke alamat saya, rupanya si redaktur keliru memasang foto albumnya. Saya jadi ragu dia benar-benar membaca teksnya. Hampir setahun setelah kejadian darurat membaca itu berlalu, kini sudah ada album Sparks baru lagi. Album penuh mereka yang ke-26! Astaga. Du-a-pu-luh-e-nam! Videoklip single terbarunya, “The Girl Is Crying In Her Latte“, menampilkan Cate Blanchett joget-joget dengan kostum dan gaya mirip David Byrne di live Stop Making Sense. Btw, tiap kali mendengar lagu Dewa “Arjuna” (2001), sulit bagi saya untuk tidak membayangkannya sebagai modifikasi atas lagu “How Insensitive” (1965) dari Astrud Gilberto dengan aransemen à la Sparks di lagu “Let’s Go Surfing” (1994). Album Gratuitous Sax & Senseless Violins dari Sparks itu memang pernah beredar kasetnya di pasar lokal Indonesia oleh label BMG. (Bukan kebetulan pula di album Astrud Gilberto yang sama, yang kaset lokalnya pernah dirilis Hidayat Records sekitar akhir dekade ‘70an atau awal dekade ‘80an, ada lagu “O Morro Não Tem Vez” yang bagian permulaannya seperti saya dapati kembali di opening lagu “Kuldesak”, 1999.) Di Record Store Day tahun ini, 2023, saya datang ke chapter Jakarta dan nyaris tidak menemukan apa-apa sampai injury time. Sempat terpantau ada beberapa vinyl Sparks, tapi album-album itu saya sudah punya. Akhirnya saya membawa pulang double LP Lou Reed, Live: Take No Prisoners (1978), karena stage banter Reed di situ kocak-kocak. Kepingannya terlihat scratched di beberapa track, untunglah ketika diputar itu bukan di bagian “…I’ll sing when you shut up…” Padahal kalau iya malah jadi pas nggak sih? Hehe. Saya juga mengangkut Clear Spot, album terlemah Captain Beefheart, hanya demi satu lagu lucu, “I’m gonna zip up my guitar…” (suara gitar merobek-robek), “…and then when I’ve gone too far I’m gonna zip down my guitar…” (suara gitar melembut). Satu lagi, kaset Benyamin S dan Eddy Sud album Sepakbola, karena ada lagu “Sepakbola”, tentang paguyuban pelawak melawan Brazilia! Jojon menendang bola, disundul Darto ke tiang gawang, kiper Brazil jatuh celentang, bola mental ke awang-awang! :))) Di gelaran Record Store Day chapter Bandung seminggu setelahnya, saya menemukan CD kompilasi Gong dari era ketika Daevid Allen si pendiri band justru sudah tidak ada di situ lagi. Sepuluh tahun silam, dalam rangka merayakan RSD juga waktu itu, saya mengajak beberapa handai tolan untuk bercerita tentang album-album pertama yang mereka beli. Dari puluhan cerita, salah satu yang paling nampol datang dari alm. Remy Sylado: enteng saja dia bilang nggak ingat, “Ngapain juga diingat-ingat? Nggak penting!” Hahaha. Itu diucapkan langsung oleh Pak Remy, saat saya menyambanginya di Bandung bersama seorang teman yang sudah berkontak terlebih dahulu dengan Pak Remy via message di FB. Ketika itu Pak Remy masih sehat dan gagah, bahkan sempat membuatkan kopi tubruk dari dapurnya untuk saya dan kawan saya. Kami ngobrol cukup panjang, ngalor-ngidul sembari Pak Remy sibuk mengutak-atik gesper dari ikat pinggang warna putihnya yang khas (dia musti menghadiri pesta ultah saudaranya malam itu). Di depan kami didendangkannya sepenggal “And I Love Her” dari The Beatles yang menjadi inspirasi nama penanya, persis di nada “re-mi-ti-la-do”. Saya tahu Kurt Cobain juga menyukai lagu itu. Kurdt pernah membuat cover versionnya (banyak beredar di YouTube, termasuk versi loop satu jam!) dan belakangan dimasukkan pula ke Dire, album fiktif Nirvana buatan penggemar berisi kumpulan track “unreleased Cobain’s songs (with original Cobain’s voice)” yang dijahit dengan tambahan instrumen baru, dirilis di YouTube awal April 2023 lalu. Ada kebetulan lain yang juga menarik dari Kurdt dan Pak Remy, saya baru ngeh belakangan, yang dipersatukan oleh lagu “Silent Night”. Ya, malam kudus sunyi senyap. Kurdt pernah mengajak William S. Burroughs, penulis Beat idolanya, untuk berkolaborasi. Burroughs mengirim rekaman suaranya ke Kurdt, berisi pembacaan cerpennya; kemudian oleh Kurdt direspons dengan derau bising gitarnya. Musik noise dari Kurdt pada dasarnya adalah lagu “Silent Night”, kita masih bisa mengenali nada-nada aslinya di detik-detik awal, sebelum makin lama makin ambyar dan berbelitan dengan lagu lain. Project eksperimental itu “probably pleases me more than it pleases anybody else,” ujar Kurdt kepada majalah Spin. Pak Remy sudah melakukan hal kurang lebih sama hampir dua dekade sebelumnya, memakai nada-nada instrumental “Silent Night” sebagai musik latar di “Nyanyian Anak Melayu”, tepatnya di bagian awal spoken words yang keren banget di tengah-tengah durasi lagu, di mana ocehan Pak Remy tidak hanya keminggris tapi juga kemlondo dan kemrancis. Sebelumnya, di tahun 1973, nama Burroughs sudah disebut-sebut di esai Pak Remy tentang budaya pop dalam peradaban modern. Sementara Kurdt, di era ‘90an tentunya, pernah mengatakan, “my lyrics are total cut-up”—sebuah teknik menulis yang diperkenalkan salah satunya oleh Burroughs—“I take lines from different poems that I’ve written. I build on a theme if I can, but sometimes I can’t even come up with an idea of what the song is about.” Kurdt mulai mengulik Lead Belly (kadang dieja Leadbelly) begitu tahu kalau Burroughs pernah menyarankan para musisi rock ‘n roll untuk buang saja gitarmu dan mulailah menyimak Lead Belly, yang oleh Burroughs disebut “something with real soul”. Satu lagi kesamaan Kurdt dan Pak Remy: dua-duanya penggemar Queen. Di sebuah wawancara, Kurdt mengenang masa kecilnya di mana dia terlalu sering memutar album News Of The World di mobil ayahnya sampai akinya soak dan bikin mobil itu mogok. “Saya suka Queen, walau jarang saya sebut-sebut di tulisan saya,” ujar Pak Remy sore itu. Saya manggut-manggut sambil terus mencatat. Yang saya pernah baca, suatu kali Nirvana sempat membawakan lagu Queen “We Will Rock You” di atas panggung walau hanya beberapa detik. Krist Novoselic marah dan melempar bass guitarnya ke arah Kurt Cobain yang mengganti lirik jadi “We will/ we will f*ck you!” Konser di São Paulo, Brazil, pertengahan Januari 1993 itu nyaris bubar di tengah jalan gara-gara insiden tersebut. Krist sempat menghilang dari atas panggung, namun para kru berhasil memaksanya balik karena kalau pertunjukan tidak dilanjutkan, mereka dianggap melanggar kontrak dan tidak akan dibayar. Konser jadi kacau balau, dan penonton yang kesal pun melempari mereka.. dengan buah-buahan! Padahal itu penonton paling banyak sepanjang sejarah konser Nirvana, 110 ribu orang. Di buku biografi paling terkenal Kurt Cobain, Heavier Than Heaven (Charles R. Cross, 2001), ada kesaksian dari seorang teknisi gitar di konser raksasa itu, “It was this comedy of errors. Everyone started throwing fruit at them, in this classic vaudeville gesture.” (hlm. 265). Kurdt terlalu teler (“had mixed pills with liquor, which left him struggling to play a chord”) dan merusak tiga gitar. Versi “Smells Like Teen Spirit” di situ boleh jadi yang paling aneh yang pernah mereka bawakan, featuring Flea dari Red Hot Chili Peppers bermain terompet; yang diulang seminggu kemudian di Rio de Janeiro. Apakah versi itu yang kemudian mengilhami Eläkeläiset? Entahlah. Di konser São Paulo itu Nirvana banyak membawakan cover version. Di antaranya ada “Run to the Hills”-nya Iron Maiden (cuma sekian detik, mirip jam session singkat tanpa arah, di mana Dave Grohl malah seperti drumming lagu lain!). Ada juga versi mereka atas lagu “Seasons in the Sun” dari Terry Jacks, sweet banget karena mereka bertiga saling bertukar instrumen: Kurt main drum sambil bernyanyi, Krist pada gitar, dan Dave di bass. Di wawancara MTV, Oktober 1993, Kurt mengenang betapa lagu “Seasons In The Sun” sering membuatnya menangis waktu kecil. Saya kira-kira bisa mengerti. Poster Terry Jacks bonus dari sebuah majalah lokal pernah saya tempel di pintu lemari kamar kos hanya gara-gara satu lagu itu saja, yang memang luar biasa pilu. (Belakangan Rifky Aden malah mengacak-acak kepiluan lagu itu lewat “Hoven Di Makamnya“. Hahaha, brilliant!) Nirvana di konser São Paulo juga membawakan lagu Duran Duran “Rio”, yang malah tidak mereka mainkan di Rio de Janeiro. Aksi cover-mengcover memang lazim adanya di tradisi bermusik Nirvana. Mereka memulai karier bahkan lewat debut single berupa cover lagu orang, “Love Buzz” dari Shocking Blue. Saat tampil di MTV Unplugged yang dekorasi panggungnya mirip suasana pemakaman, November 1993, ada 6 lagu orang dari total 14 nomor yang Nirvana mainkan. Salah satunya tentu lagu David Bowie, “I must have died alone/ a long long time ago”. Lagu Lead Belly yang menyayat-nyayat di penghujung show juga sangat memukau. Konser terakhir Nirvana pun, Munich awal Maret 1994, dibuka dengan cover version, “My Best Friend’s Girl”-nya The Cars. Ngomong-omong soal cover version, cerita ini sering saya ulang-ulang: top five favorit saya sampai hari ini masih berkisar di sekitaran Henny Ajie mengcover lagu adiknya yaitu “Ungkapan” dari Kharisma Alam, Efek Rumah Kaca mengiringi Doel Sumbang di “Arti Kehidupan” (di mana satu bagian oleh ERK dibikin sedikit mengsle sehingga terdengar seperti lagu mereka sendiri), The Mountain Goats mempreteli nuansa glam di lagu Suede “Trash” dan dijadikannya lebih sendu, Señor Coconut mengotak-atik Kraftwerk jadi irama mbosas (ini lucu banget), dan John Coltrane menafsirkan “My Favorite Things” dari film The Sound of Music hingga sepanjang hampir 14 menit. Khusus yang terakhir, majalah The Wire edisi November 2005 menyebut lagu itu telah “wrenched out of shape, detourned, subverted” (hlm. 46) oleh John Coltrane and the gank. Barangkali seperti “Ilir, Ilir” yang dibelejeti habis-habisan oleh Tony Scott and The Indonesian All Stars dan disulap menjadi sesuatu yang indah di album Djanger Bali? Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2015, musik ternyata berpotensi menjadi intervensi baru dalam membantu mencegah serangan kejang pada penderita epilepsi. Ada dua lagu yang secara ilmiah sudah terbukti punya andil dalam upaya pencegahan itu, yaitu “Sonata for Two Pianos in D major (K.448)” dari Mozart, dan yeah, “My Favorite Things” oleh John Coltrane tadi itu. Karena saya bukan penikmat lagu klasik, saya lebih memilih “My Favorite Things”. Track itu termasuk on repeat di Spotify saya karena memang terbukti ampuh. Jika visual yang bisa saya gambarkan dari batok kepala menjelang seizure adalah keclap-keclap silau cahaya terang dan kesadaran mulai goyang dengan ambang listrik di otak menuju korslet, maka musik Coltrane seperti memampatkan lagi apa-apa yang nyaris buyar dan hal-hal menjadi solid kembali. Teruntuk Trane dan para ilmuwan, terima kasih. Saya ingat Dave Grohl pernah bercerita ke majalah Rolling Stone dia hampir kena seizure saat rekaman lagu “Heart-Shaped Box” (1993). Kurdt dan produser mereka ketika itu, Steve Albini, khawatir soal tempo lagunya, dan karena penggunaan metronom dianggap kurang keren, mereka malah memakai lampu sorot yang diarahkan terus-terusan ke muka Dave sebagai panduannya. Parah. Di salah satu lembar buku harian Kurt Cobain, yang kemudian diterbitkan untuk publik sebagai Journals (2002), bisa ditemukan corat-coret tulisan tangan Kurdt merancang konsep videoklip “Heart-Shaped Box” sesuai visual yang dia bayangkan, terilhami dari mimpi-mimpi buruknya, salah satunya ada sosok si bapak tua “on a cross with black crows on his arms” (hlm. 31). Kurdt berharap William S. Burroughs mau memerankan karakter itu tapi sang idola menolak. Sosok renta itu akhirnya tetap muncul di videoklip, diperankan orang lain. Di awal-awal lagu itu dirilis, Kurdt mengaku terinspirasi dari pemberitaan di televisi tentang anak-anak penderita kanker, tapi banyak penggemar kemudian lebih menafsirkan liriknya sebagai metafora kelam atas hubungannya yang toxic dengan Courtney Love. Konser terakhir Nirvana, Maret 1994 di Munich, Jerman, ditutup dengan “Heart-Shaped Box” yang terdengar penuh luka, syair cinta terbaik sekaligus paling berbelit-belit yang pernah ada, “I wish I could eat your cancer when you turn black.” Dalam gelap, adakah gelapmu? Lima minggu setelahnya, Kurt Cobain ditemukan tak bernyawa. Lima puluh minggu kemudian, Maret 1995, Nike Ardilla menyusul. Jauh kudengar lagu/ di keheningan malam/ aku sendiri… Soal benar-benar sendiri atau tidak, terus terang saya masih belum tahu. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *