Di hari yang konon adalah Hari Saksofon, yaitu 6 November kemarin lusa, saya malah terkenang-kenang Mas Yanto, anaknya Mbah Cip pemilik warung nasi yang cukup legendaris di dekat SMA saya di Solo, sekitar 1997. Dua dekade silam Mas Yanto ini memelihara kumis lebat dan berambut panjang—sering diikat ke belakang atau dicepol ke atas mirip sosok Ken Arok di buku-buku pelajaran Sejarah—dan dia punya gen lucu-lucu-nggathèli di dalam dirinya, alias kocak-kocak menyebalkan, persis seperti Mas Yusi pengarang asal Semarang yang kini tinggal di Depok. Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu menaungi hidup mereka. Pernah suatu siang, sambil menjaga warung nasi milik ibunya, Mas Yanto ini ujug-ujug menenteng saksofon dengan lagak dan gaya minta ditanya. Karena saya lebih tertarik pada ikan lele goreng yang baru keluar dari wajan panas Mbah Cip dan tidak ada tanda-tanda saya bakal bertanya, Mas Yanto jengkel sendiri dan terpaksa membuka pembicaraan, “Mau coba, Bud? Ini namanya saksofon!” Saya sebetulnya malas tetapi saya tahu dia sedang butuh disenangkan, jadi sambil pura-pura antusias saya mengangguk, dan setelah mengelap sisa sambel terasi di mulut saya dengan saputangan yang saya beli dari Pasar Klewer saya mulai menempelkan ujung saksofon itu ke congor saya. Pfff, pfff… Lho, kok? Ppfff…! Ppfffff…!! Saksofon itu tidak berbunyi sedikit pun! Sampai monyong-monyong saya meniupnya, tetap tak berhasil. Saya lihat Mas Yanto menyeringai bangga, dengan raut muka seorang pemenang dia ambil kembali saksofon itu dari tangan saya, dan mulai meniupnya. Masya Allah, sungguh effortless dan khidmat betul. Warung nasi pun langsung berubah jadi seperti kafe di Eropa, kue cucur di atas meja terasa canelé dan teh tawar hangat adalah chardonnay, saya memang belum pernah ke Eropa tetapi kira-kira begitulah! Di tengah-tengah atraksi merem meleknya, Mas Yanto sesekali berhenti merem dan begitu melek pun dia langsung memberi kuliah Pengantar Ilmu Saksofon kepada kami siswa-siswa SMA yang sebetulnya clueless, terutama anak-anak kos berkantong kempes yang hanya bisa menggantungkan makan siang sederhana di warungnya. Inti pokok silabusnya: “Tidak sembarang congor bisa membunyikan saksofon.” Kami manggut-manggut saja sambil mengunyah kepala ikan lele yang belakangan terasa makin alot, sambel tumpang, tempe bacem dan tahu goreng potongan kecil, diguyur sayur nangka muda yang entah sudah berapa hari dihangatkan ulang di kuali raksasa Mbah Cip. “Yen sempritan nyat gari disebul, ning yen saksofon, beda!” Peluit tinggal ditiup langsung bunyi, tetapi saksofon tidak. Di masa itu Kenny G. sudah beberapa kali masuk majalah HAI, sampai jadi guyonan klasik saat menyusun playlist di tempat karaoke (“Yaaah, kok nggak ada lagu Kenny G. sih!”). Dave Koz pun rasanya sudah sering diputar di toko buku. Presiden Amerika saat itu tersohor piawai menyebul saksofon, dan belum terungkap skandal dia disebul anak magang. Semenjak sihir di Café de la Mamie Cip siang itu, bagaimana seorang penjaga warung nasi sederhana ternyata lihai memainkan satu alat musik yang sering dianggap sophisticated, saya jadi terobsesi juga dengan instrumen tiup tersebut. Tiap kali di radio mulai diputar lagu-lagu slow, biasanya larut malam, saya langsung pasang kuping baik-baik, akankah sax muncul di situ? Saya bongkar lagi kaset-kaset lama di lemari, saya cermati dengan cara dengar baru. Lagu “Parklife” dari album ketiga Blur misalnya, di sekitar kalimat semi-spoken words “It’s got nothing to do with Vorsprung durch Technik, you know?” ternyata Graham Coxon sempat bermain saksofon di situ! Sound gitar Coxon termasuk tipe yang sulit ditiru, tetapi siapa sangka dia juga saksofonis andal? Sementara The Replacements, saya ikut dengar dari koleksi musik punk milik teman les saya di Primagama yang bapaknya seorang pelaut, memasukkan sax di lagu “I Don’t Know”, dan meski bunyinya lebih mirip kentut, saya malah makin takjub. Belakangan ketika saya pindah ke Bandung untuk kuliah dan akses ke referensi musik menjadi semakin luas, saya merasa ada kemajuan estetis dalam diri saya, terutama saat mendapati saksofon bisa dimainkan sedemikian rupa sehingga kebisingan mencekik yang dihasilkan tak kalah indahnya, seperti John Zorn menyulap theme song serial klasik televisi Batman menjadi sangar sesangar-sangarnya di album Naked City. Begitu pula trio postpunk Blurt di rilisan-rilisan awalnya era 1980-an, saksofon di tangan si vokalis/penyair Ted Milton bisa terdengar sangat lain. Saya juga lebih suka “Blue Thunder”-nya Galaxie 500 yang versi sax, rasanya lebih merobek-robek hati ketika suara sember itu mulai masuk di tengah-tengah. Ketika Arrington de Dionyso konser di Bandung akhir 2011, saya datang penuh semangat ke malam pertunjukan alat tiup dan throat singing yang intens dan gerah itu. Di akhir show, sambil basah kuyub penuh keringat, Arrington membubuhkan tanda tangan di kaset Malaikat dan Singa (K Records, 2009) punya saya. Dia tertawa ngakak waktu saya bilang tolong sampaikan salam saya untuk Phil Elverum dan Karl Blau, dua artis K Records paling favorit saya. Rani punya andil besar mengenalkan kepada saya nama-nama menarik di jazz lawas seperti Coltrane, Giuffre (kalau ini klarinet), atau Roland Kirk yang sanggup menyebul secara simultan beberapa saksofon sekaligus. Saya masih menyimpan satu artikel lama di majalah Intisari edisi November 1967, mengenai Adolphe Sax (1814-1894) berjudul “Orang Sial jang Menemukan Saxofon”. Saya kutipkan sedikit di sini, “Kalau seruling dan klarinet dimana2 pada tubuhnja sama besar, maka pada penampang bedjana saxofon alat jang pada bagian mulut hanja sebesar 2 milimeter pada tjorong makin membesar sampai 10 kali lipat. Ini memberikan bentuk jang chas: tubuh jang rundjung makin ke udjung makin menggembung. Tetapi djuga menjebabkan saxofon memiliki ‘suara manusia’ dan luwes untuk dimainkan.” Tadi pagi sambil buang hajat saya renung-renungkan kembali semua ini, jangan-jangan tersebab itulah saya tercekat oleh bebunyian pipa besi yang dimainkan Mas Yanto di warung nasi siang itu, bahwa di antara tempe bacem dan kaleng kerupuk, saya seperti mendengar “suara-suara manusia”.
___