Saya masih kelas 3 SMP ketika album live Nirvana, MTV Unplugged In New York, dirilis pertama kali akhir 1994, atau sekitar awal 1995 bagi edisi “Hanya Untuk Dijual Di Indonesia”-nya bisa sampai ke toko kaset satu-satunya di kabupaten saya, di sebelah kios beras dekat terminal angkot. Barangsiapa di kelas kami yang ketahuan sudah punya kaset ini, harus rela dipinjam paksa sana-sini, berpindah cepat dari tangan ke tangan hingga akhirnya kembali dalam keadaan lecek dan rusak. Tapi bukankah itu intinya, it’s better lecek dan rusak than fade away? Beberapa bulan sebelumnya, majalah HAI edisi pertengahan April 1994 memasang foto vokalis Nirvana di sampul depan berwarna merah dengan judul besar-besar “KURT COBAIN TEWAS!” (Edisi tersebut terbit hanya terpaut beberapa hari setelah peristiwa bunuh diri yang menghebohkan itu, dan redakturnya mengaku bangga dengan kecepatan mereka.) Uang jajan harus disisihkan selama sekian hari, baru saya bisa naik bus dari kabupaten ditambah sekian menit jalan kaki untuk bisa membeli majalah itu di sebuah toko buku kecil di kotamadya. Ketika itu videoklip “About A Girl” versi unplugged mulai sering diputar di RCTI, yang siarannya bisa tertangkap juga akhirnya di kampung kami dengan antena biasa. Mungkin cuma kebetulan kosmik ketika sekumpulan anak-anak bengal dari angkatan saya kompak berinisiatif membawakan lagu itu pakai gitar kopong pinjaman dengan kesungguhan yang mengharukan di ujian EBTA Praktek—satu ajang penting yang sangat menentukan syarat kelulusan. Mereka adalah gerombolan cool kids, yang berangkat sekolah naik motor dengan knalpot modifikasi, sudah tumbuh sedikit kumis, beken di lapangan voli dan menguasai kursi-kursi paling strategis di kantin sekolah. Mereka tampak pede dan antusias di ruang tunggu ujian, sementara saya lesu di pojokan memandangi suling Yamaha saya, menanti giliran dipanggil ke dalam untuk memainkan versi culun standar dari “Ibu Kita Kartini”. Dari luar kelas, cukup dengan menempelkan kuping di tembok di bawah ventilasi, saya bisa curi-curi dengar bagaimana vokal para cool kids itu sengaja dibikin serak-serak sengau sedemikian rupa supaya mirip kerongkongan Kurdt. Bahkan ketika dibawakan dengan buruk, lagu “About A Girl” tetap terdengar indah. Beberapa anak kelihatan terlalu keras berusaha, suara tercekik yang keluar dari congor mereka malah lebih mirip angsa sembelit ketimbang ikon grunge. Beberapa lainnya cukup beruntung sudah melewati akil balig, dengan pita suara mulai pecah dan karenanya malah jadi pas. Sayangnya genjrang-genjreng gitar dengan kord simpel itu hanya bisa dihadirkan sendirian tanpa nada-nada rendah yang kelam dari permainan bass Novoselic, yang di versi kasetnya terdengar sangat menghantui. Belum lagi ketika Kurdt bergumam “I do… I do…”, yang tertangkap telinga saya lebih seperti “Aduh, aduh…”, menambah mistis segala kegundahan dini dari remaja usia 14 yang mulai mencemaskan hidupnya: jangan-jangan kebahagiaan sejati tak ada hubungannya sama sekali dengan menjadi juara kelas? Guru seni musik kami yang old-skool itu cuma bisa manggut-manggut jaim dan terlalu gengsi untuk bertanya siapa gerangan Nirvana itu (hits “Nirwana” GIGI baru keluar setahun setelahnya). Para siswa yang berhasil menyelesaikan nomor keramat itu dengan selamat pasti merasa dirinya keren bukan main, melangkah gagah keluar kelas, lalu saling bertukar high-five (istilah kampungnya, “so sik nooo!”) di pelataran sekolah. Saya mengerti, dan saya iri. Aneh rasanya beberapa kenangan bersikeras tinggal di kepala. Sekarang saya sudah punya cukup uang untuk bisa membeli semua format yang ada, mulai dari versi CD yang suaranya lebih kinclong, versi DVD yang edisi lokal resminya mencantumkan English subtitles (celetukan Kurdt di jeda antarlagu sangat layak simak), sampai versi piringan hitam yang kualitas bunyinya paling nggegirisi; tapi tak ada yang bisa mengalahkan segala ingatan atas suara-suara murung yang mengundang tepuk tangan dan decak kagum itu, yang justru muncul dari sebuah kaset lusuh, yang saya beli dari toko sebelah kios beras di dekat terminal angkot, lebih dari dua puluh tahun silam. Suara-suara itu terdengar sangat kesepian, dan saya yakin saya tidak lagi sendirian.
* * *
Mantap! Di EBTA praktek tahun itu, aku main “auld lang syne” dengan recorder yamaha kuning gading. Oh ya, Oom Bud, aku curiga yang sampean maksud “suling” itu ya recorder ini (tolong ya dipertahankan istilah teknisnya :P). Aku iri setengah mati sama teman karibku Bernardius Budi Indra Yanto (anak staf Pabrik Gula Krembung) yang main gitar (satu-satunya anak SMP desa yg bisa waktu itu, aku sinyalir) main lagunya Kla Project.
Tapi aku ikhlas Indra mendapat penghormatan karena main gitar, soalnya dia juga yang tahun itu ngasih pinjam … Nirvana: MTV Unplugged in New York beserta kaset-kaset lainnya, termasuk kecintaanku lainnya Indecent Obsession (ada lagu feat Mari Hamada) dan Hell Freezes Over.
Kita tinggal di dunia paralel, Bro, beda dimensi saja. 😀
Auld Lang Syne! Waduh kangmas Fransis Buncis, sampeyan ini kok ya filosofis betul milih lagunya. Mentang-mentang mau ninggalin sekolah kathok cekak dan menyongsong putih abu-abu? Sebenarnya maksudku emang suling recorder sialan itu, punyaku juga warna kuning gading njelehi, yang kalau meleset naro jari bakal melengking edan suaranya fals-nya. 🙁 Karib sampeyan anak pabrik itu pasti dikagumi muda-mudi SMP desa. Tapi memainkan komposisi Katon dkk rak yo abot tenin to bro, bagi anak seusia kita?
Hahaha… itu tahun terakhir naik sepeda pakai kathok cekak (selanjutnya jalan pakai celana), tahun terakhir hidup tanpa kacamata (selanjutnya berlagak John Lennon), tahun terakhir latihan silat (selanjutnya Kungfu), tahun terakhir ketemu… hrm… hrm… pret!
John Lennon KW-sepuluh yang mahir kungfu dan bercelana Levi’s (atau lepis, elek tur tipis?) adalah kombinasi maut, Bung. Semua kembang SMEA yg lagi ranum-ranumnya itu pasti merasa deg-deg-pret tiap kali sampeyan lewat.
Hahaha… ngakak tujuh turunan baca reply sampean. Iya, sempat kenal kembang SMEA PGRI waktu naik mikrolet, tapi kata teman: “Jangan dia, Bung, dia nona gembira. Terlalu gembira untukmu.” Dia memang ceria, rambutnya berombak kali Brantas, senyumnya mengandung sorga. Sementara saya, saya hanyalah remaja melankolis Nicholas Saputra.
Masbud ngapusi, taun semono kudune kan wis lulus SMA to? *mlayu*
Wah konangan aku. Nyat sakjane wis lulus ehmmm, STM.. *ndhungkluk*
94-95. kelas 4 SD. Dengernya Project P sama Oppie Andaresta. Tapi baca postingan ini lumayan bikin senyum2 nostalgia sih. Mungkin lebih oke pake spasi antar paragraf kak, biar lebih enak dibaca. 🙂
Emang sengaja nggak pake jarak antarparagraf. Ada maksudnya 😀