Strange Days adalah album The Doors paling favorit saya, salah satu musik terbaik yang pernah diciptakan spesies manusia, yang dalam format analog apapun harus tetap diperdengarkan dengan volume speaker paling maksimal. Ya, harus paling keras. Diawali suara keyboard tri-li-ling-tri-li-ling yang mencekam, lalu vokal Morrison merangsek masuk (apakah saya mendengar efek suara bangau?), komposisi pembuka itu lebih mirip prolog intens dari sebuah drama panggung kelas berat yang bisa membuatmu berpikir, “Aku rela menahan pipis sampai pertunjukan ini selesai.” Track-track berikutnya meluncur dalam rentang tempo yang mengalun, mengayun, menghentak, mengalun lagi, menikung mengecohmu: setiap antisipasi adalah percuma. Lebih baik biarkan saja si raja kadal bernyanyi, mengigau, merapal mantra (kadang ketiga hal itu susah dibedakan), yang dengan ketenangan pembunuh bayaran berdarah dingin bisa tiba-tiba berubah menjadi teriakan mengerikan, dimana jari-jari Manzarek yang kejar-kejaran di atas piano adalah nyawa dari segala kebisingan indah itu. Dalam satu kesempatan di depan orang-orang, Jim Morrison pernah mengarahkan telunjuknya ke Ray Manzarek dan berkata, “Dialah sebenarnya The Doors.” Tapi harus kita akui, permainan gitar Krieger dan drum Densmore pun tak kalah ketatnya. Bagaimana bisa mereka mencipta musik seanggun ini? Rasanya memang mustahil bagi siapapun di muka bumi untuk bisa menyamai The Doors, lantaran kombinasi unik mereka berempat yang khas sekaligus misterius, yakni menggabungkan algoritma psychedelic dengan akar blues yang kental, diimbangi kebolehan musik klasik dan yang paling penting di atas semua itu: attitude punk mereka, jauh sebelum ada punk! Marilyn Manson pernah membawakan “People Are Strange” di atas panggung diiringi beberapa personel The Doors yang tersisa plus pemain tambahan, dan hasilnya seperti yang pernah ia katakan sendiri beberapa tahun sebelumnya, “Meniru The Doors adalah upaya sia-sia. Percuma, lebih baik tidak usah.” Kesukaan saya di album ini tetaplah spoken words Jim di nomor singkat “Horse Latitudes” yang muram dan seram di saat bersamaan, padahal deklamasi diiringi suara pecahan botol-botol itu hanya berlangsung kurang dari dua menit. (Saya sering merasa “Frankie Teardrop”-nya Suicide di tahun 1977 hanyalah “Horse Latitudes” yang dipanjang-panjangkan.) Puisi paling durjana tak perlu repot-repot membelah angkasa, ia justru menyelam ke dalamnya samudera. Dan “When The Music’s Over” memang cara sempurna untuk mengakhiri semuanya, “…we want the world/ AND WE WANT IT.. NOW!” Layar ditutup, selesai sudah. Kini kau boleh ambil nafas, kencing sepuasnya.
* * *