#np The Doors – Strange Days (1967)

Strange Days, album The Doors paling favorit saya, adalah salah satu musik terbaik yang pernah diciptakan spesies manusia, yang dalam format analog apapun harus tetap diperdengarkan dengan volume speaker paling maksimal. Ya, harus paling keras. Diawali suara keyboard tri-li-ling-tri-li-ling yang mencekam, vokal Morrison merangsek masuk (apakah kita berada di kandang bangau atau mereka memajang efek suara bangau?), komposisi pembuka itu lebih mirip prolog intens dari sebuah drama panggung kelas berat yang bisa membuatmu berpikir, “Aku rela nahan pipis sampai pertunjukan selesai.” Track-track berikutnya meluncur dalam tempo mengalun, mengayun, menghentak, mengalun lagi, menikung dan mengecohmu: setiap antisipasi adalah percuma. Lebih baik biarkan saja si raja kadal bernyanyi, atau mengigau, atau merapal mantra (kadang ketiga hal itu susah dibedakan), yang dengan ketenangan pembunuh bayaran berdarah dingin bisa tiba-tiba berubah menjadi teriakan mengerikan. Jari-jari Manzarek yang kejar-kejaran di atas tuts adalah nyawa dari semua kebisingan indah itu. Dalam satu kesempatan, Jim Morrison pernah mengarahkan telunjuknya ke Ray Manzarek di depan orang-orang dan berkata, “Dialah sebenarnya The Doors.” Tapi harus kita akui, permainan gitar Krieger dan drum Densmore pun tak kalah ketatnya. Bagaimana bisa mereka mencipta musik seanggun ini? Rasanya mustahil bagi siapapun di muka bumi untuk sekadar mendekati level The Doors, bagaimana kombinasi unik mereka berempat yang khas sekaligus misterius, menggabungkan algoritma psychedelic dengan akar blues yang kental, diimbangi skill musik klasik dan yang paling penting di atas semua itu: attitude mereka punk, jauh sebelum ada punk. Marilyn Manson pernah membawakan “People Are Strange” di atas panggung diiringi beberapa personel The Doors yang tersisa plus pemain tambahan, dan hasilnya seperti yang pernah dia katakan sendiri beberapa tahun sebelumnya, “Meniru The Doors adalah upaya sia-sia. Percuma, lebih baik tidak usah.” Kesukaan saya di album ini masih tetap spoken words Jim di nomor singkat “Horse Latitudes”, yang muram dan seram di saat bersamaan, padahal deklamasi diiringi suara pecahan botol-botol itu hanya berlangsung kurang dari dua menit. (Saya sering merasa “Frankie Teardrop”-nya duo Suicide di tahun 1977 hanyalah “Horse Latitudes” yang dipanjang-panjangkan.) Puisi paling durjana rupanya tidak perlu repot-repot membelah angkasa, justru dia menyelam ke dalamnya samudera. Dan ya, “When The Music’s Over” memang paling tepat untuk mengakhiri semuanya, “…we want the world/ AND WE WANT IT.. NOW!” Layar ditutup, selesai sudah. Kini kau boleh ambil nafas, lalu kencing sepuasnya.

* * *

TheDoors_StrangeDays_kaset_vinyl

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *