Mohon Maaf Leher & Beton

Seperti kebanyakan anak kecil lainnya, sebelum masuk TK saya sudah punya cita-cita yang oh wow sungguh mulia gitu deh: pengen jadi astronot. Klise banget. Ini pasti karena saya terlalu sering mengulang-ulang menyimak profil Pratiwi Sudarmono di majalah Bobo. Tapi ketika harus ikut pawai tujuhbelasan di alun-alun, saya malah nggak pakai baju astronot karena di pasar dekat terminal angkot nggak ada yang jual kostum tersebut (ya iya lah) dan sebagai gantinya, saya dibelikan kostum.. pulisi. Kata penjualnya, kostum itu bakal bikin saya seganteng Erik Estrada dari serial CHiPs di TVRI. Tapi kok jadinya saya lebih mirip Kasino dari film CHIPS-nya Warkop DKI?! Begitu masuk SD saya beberapa kali mengubah cita-cita saya, dan yang paling saya ingat dari segudang cita-cita itu adalah saya pengen jadi.. profesor bahasa (yes you read it right), gara-gara ada banyak buku J.S. Badudu di rak bapak saya. Pelik-pelik Bahasa Indonesia! Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar! Cakrawala Bahasa Indonesia! Sari Kesusastraan Indonesia! Dst., dsb., dll. Bapak saya memang guru bahasa Indonesia dan samar-samar saya teringat cerita ibu tentang perjuangan bapak menyelesaikan kuliahnya. Jadi mayan keder juga saya, membayangkan kalau mau jadi profesor berarti saya harus beres S3 dulu nggak sih, bahkan kalau perlu S4 atau S5? Waduh, berat juga cita-citaku ini, batin saya sambil melancarkan baca-tulis, “ini budi/ ini buku budi/ buku budi banyak sekali.” Ketika saya naik ke kelas 2 SD, beberapa kali sekolah diliburkan gara-gara Mike Tyson. Pertandingan tinjunya sering disiarkan secara langsung di TVRI, dan ruang guru mendadak jadi ajang nobar. Saya pernah lari pulang sekencang-kencangnya supaya bisa nonton di rumah (sudah beli kwaci di kantin buat bekal nonton, yeah!) tapi begitu sampai rumah, di layar televisi tampak ring sudah penuh orang karena Michael Spinks sudah terlanjur roboh. Ya’elah, 91 detik doang! Beberapa bulan setelah itu, saya ingat saya baca-baca di majalah TEMPO dapet lungsuran dari kakak sepupu; ada artikel soal Mike Tyson, di situ terpampang foto dia menerima gelar honoris causa dari Central State University di Ohio, AS, sebagai.. doktor sastra! Lho, kok bisa?! Setahu saya doi bahkan nggak lulus SMA. Saya jadi galau dan sempat mempertimbangkan, apa musti lewat jalur petinju dulu baru saya kelak bisa jadi profesor bahasa? Kebetulan keesokan harinya ada acara timbang badan di sekolah. Membayangkan Tyson, saya acungkan kedua biseps cungkring saya ke udara sambil melangkah naik ke atas timbangan, dalam gerakan slow-motion yang dramatis. Ada kilat-kilat cahaya blitz di kepala saya, diselingi adegan-adegan medium close-up ketika saya mengasah uppercut, melancarkan jab dan menguatkan hook, latihan angkat beban, lari ke gunung bersimbah peluh, dan prediksi-prediksi Syamsul Anwar atas karir gemilang saya. Sepertinya saya memejamkan mata terlalu lama karena Bu Warti kemudian menjawil pundak saya, masih banyak siswa lain yang harus ditimbang. Senyum saya makin kecut saat diumumkan berat badan saya termasuk yang paling ringan di sekolah. Artinya, untuk sekadar jadi juara tinju di kelas bulu pun rasanya susah. Alangkah ribetnya dunia cita-cita! Makasih Bung Tyson, sejak saat itu saya berhenti punya cita-cita.

Foto dijepret dari halaman majalah Tempo, 1989

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *