Kaset Hari Ini, Day #21:
Ria Jenaka Soundtrack Asli Vol. I
[Varia Nada Utama Records, tahun rilis tak diketahui, diduga sekitar awal 1980-an]
Hari ini hari Minggu, dan rutinitas Minggu pagi saya sekitar 25-30 tahun silam adalah: musti mandi dulu lalu sarapan, baru setelah itu saya boleh nonton film serial boneka Si Unyil di televisi. Samar-samar di ingatan masa kanak saya, pernah sambil menunggu rambut betul-betul kering, saya sempat mengalami acara “Senam Pagi Indonesia” diputar di TVRI pagi-pagi di hari Minggu, dan menurut saya lagu SPI itu lebih menghantui ketimbang penggantinya yang cenderung ceria, SKJ ’84. Persis sebelum boneka-boneka si Unyil melakukan hompipah, akan muncul terlebih dahulu logo PPFN (Pusat Produksi Film Negara) dari kejauhan, disusul “Unyil kucing!” lalu boneka-boneka itu berlari mondar-mandir di sepanjang opening title, dengan theme song yang nadanya susah pergi dari kepala sampai hari ini. Menjelang siang, biasanya akan acara Dari Gelanggang ke Gelanggang dilanjutkan dengan Album Minggu Kita. Setelah Film Minggu Siang, siaran berhenti dulu—ditutup dengan pembacaan “Tinjauan Acara TVRI” dan pemutaran lagu “Syukur”—sebelum nanti dimulai lagi di petang hari. Di antara karakter-karakter di serial Si Unyil, saya paling suka karakter si Joni alias Jontor yang dilanda culture shock, berkacamata hitam menenteng walkman, lengan bajunya dilinting ke atas; dan tentu saja band Dekil (saya lupa mereka main genre musik apa; disco jaipong/chipmunk soul?). Tokoh penjahat di hutan rimba, juga ada nenek sihir di situ, sukses bikin saya ngumpet di balik kursi sambil menutup kuping dari musik pengiring yang menakutkan. Begitu Pak Kades muncul, sosok lembut tapi tegas dengan baju rapih, santun dan berkacamata, semacam figur pengayom yang dihormati, hati ini adem kembali. Namun semua gula-gula itu langsung amblas tanpa bekas di program berikutnya, Ria Jenaka. Bunyi gamelan bertalu-talu, mengiringi animasi pembuka, entah disengaja atau tidak, malah terdengar jauh lebih seram dari semua adegan penjahat dan nenek sihir digabung. Figur-figur animasi lucu dan menggemaskan, yang awalnya berbaris gembira, tiba-tiba diringkus oleh sepasang tangan raksasa (“Big Brother is watching you”? Dan ini di sekitar tahun 1984 pula!). Beberapa sosok mini itu berusaha melawan, berontak melepaskan diri, tapi apa daya kekuatan besar itu jauh lebih perkasa. Setelah dikunyah dan ditelan oleh si tangan raksasa, mereka dilepeh lagi, voila, mereka berubah jadi tulisan “RIA JENAKA”! Astaga, keriaan macam apa ini? Jenaka dari mana? Beberapa teman bahkan mengaku ketakutan dengan opening title tersebut. Saya kira-kira bisa mengerti, karena untuk alasan kurang lebih sama, bagi saya visual tipografi nama majalah Kuncung terutama di sampul-sampul edisi 1980an, yaitu gerombolan bocah berbaris dengan kostum-kostum grotesque, juga menimbulkan goosebumps tersendiri. Belum lagi tata rias muka yang berlebihan dari para punakawan itu di televisi, yang banyak lagak dengan pupur tebal di muka (mereka bahkan bukan Kiss!), pulasan bibir yang terlampau melebar mirip badut (ini juga fobia tersendiri untuk beberapa orang), yang sebenarnya sudah ada sejak era film-film bisu Chaplin, atau mundur lebih jauh lagi, badut-badut penghibur untuk raja-raja Barat. Bagi sebagian khalayak, program Ria Jenaka lebih seperti freak show, makhluk-makhluk ganjil penuh atraksi, dan lebih parah lagi, ini sama sekali bukan pertunjukan sirkus yang mengandalkan keterampilan fisik. Ini lebih mirip program penyuluhan terselubung ketimbang acara komedi, yang melulu dibicarakan adalah tema-tema pesanan soal kebersihan lingkungan, pemberantasan buta huruf, pentingnya keluarga berencana, masyarakat taat pajak, menyambut tahun pariwisata, dsb. Beberapa isu yang sama diangkat juga di serial Si Unyil, yang adegan-adegannya berlangsung di sebuah desa fiktif bernama Sukamaju, semacam miniatur Indonesia, lengkap dengan SD Inpres tempat si Unyil, dkk. bersekolah, dan gardu siskamling yang dijadikan “kantor” oleh duo slacker legendaris, Pak Ogah dan Pak Ableh, dengan gaya khasnya memalak, “Cepek dulu dong…” Philip Kitley di bukunya berjudul Television, Nation, and Culture in Indonesia (2000) menuliskan hubungan intertekstual yang rumit antara kedua serial andalan TVRI di hari Minggu itu, yang sama-sama disusupi ideologi khas Orde Baru, bahwa “Ria Jenaka turns humans into puppets”, sementara “in Si Unyil, puppets are human”. Beberapa hari lalu saya menemukan kaset rekaman resmi Ria Jenaka era awal, di lapak pedagang musik lawas dari Jateng. Di versi kasetnya hanya ada suara tanpa rupa, tapi justru karena itu kerja imajinasi dan memori visual di kepala saya malah kian menjadi-jadi. Bunyi-bunyian khas dari pertunjukannya di televisi, yakni gamelan bertalu-talu sebagai penanda ada satu orang (atau lebih) karakter sebentar lagi bakal masuk ke setting tunggal berupa semacam pendopo suram itu, justru semakin terasa bertalu-talu di versi kasetnya. Tentu aba-aba teknis semacam ini diambil dari logika drama panggung, terutama pertunjukan lawak; seperti pertunjukan Srimulat dan grup-grup lawak sempalannya di penghujung ’70an, yang terus berlanjut hingga era lebih modern seperti panggung live Warkop DKI hingga awal ’80an, juga tren kabaret di Bandung yang marak di era ’90an, dan arahan floor director di studio TransTV agar penonton bertepuk tangan semeriah mungkin di syuting Extravaganza pada pertengahan dekade 2000an. Di masa-masa terawal Ria Jenaka yang sempat saya tonton, karakter si Gareng masih diperankan Suroto sebelum diganti Slamet Harto, dan karakter gemulai si Mono oleh Teten Ahmad belum ada. Seingat saya ketawa panjang khas Iskak sebagai si Petruk (“Aahahahaayy!!!”) juga belum terlalu dieksplorasi, padahal justru itulah yang paling bisa disebut ‘menghibur’ menurut saya. Sang primadona acara Ria Jenaka ini, si Bagong berlogat Betawi, diperankan oleh Ateng, seorang bintang lawak beken yang tampaknya memang memegang peranan penting di balik layar. Menurut cerita yang diunggah pada 19 Januari 2006 di blog Lapanpuluhan: Memble Tapi Kece, konon kabarnya Ateng lebih memilih Kris Biantoro sebagai karakter Semar untuk program Ria Jenaka di TVRI yang mulai tayang dari tahun 1981 itu. (Dari situ saya malah berkhayal betapa serunya kalau Romo Semar tiba-tiba menyanyikan lagu paling favorit saya dari katalog Kris Biantoro, “Pring Reketek Gunung Gamping”!) Yang akhirnya terpilih memerankan karakter si tua bijak bestari itu adalah seorang guru tari tradisional bernama Sampan Hismanto, dan dialog andalannya di Ria Jenaka adalah ketika harus menyudahi segala konflik artifisial dengan kalimat sakti, “Mari kita selesaikan saja masalah ini di balai desa!” Kemudian para punakawan itu berjalan satu per satu (atau berbaris!) dengan gaya aneh masing-masing, keluar dari pendopo set. Saya bayangkan gerombolan Monty Python dari departemen The Ministry of Silly Walks pasti nyengir melihat adegan pamungkas itu. Ternyata mengisi hari Minggu dengan mendengarkan kembali Ria Jenaka di kaset audio bukan ide yang bagus, karena nyaris tak ada bedanya dengan menonton visualnya di layar kaca, dan satu hal yang akhirnya saya yakini 100% setelah menekan tombol Stop di tape-deck: program ini memang tidak lucu. Semua karakter seperti sibuk sendiri saling rebutan ngomong, dan segala keributan itu lebih terasa menyiksa lagi di versi kasetnya. Meski di sampulnya tertulis “soundtrack asli” dengan koordinator Onny Suryono (seorang musisi pop kenamaan era ’60-’70an), sayangnya tak ada sedikit pun nyanyian di kaset ini. Cuma ada Iskak, eh, Petruk, yang sempat mendendangkan sepenggal lagu “Mengapa Tiada Maaf” (jauh sebelum dibawakan ulang oleh Yuni Shara) untuk keperluan melucu. Yang terjadi di hampir sepanjang durasi, mereka musti melucu atas sesuatu yang tidak lucu. Dan kenapa juga harus ada gelak tawa dan suara tepuk tangan yang (terlalu) meriah itu? Blog Lapanpuluhan tadi menuliskan segala kehebohan offscreen itu ternyata berasal dari “[…] tetangga-tetangga Ateng yang sengaja diundang dalam pengambilan gambar yang tiap kali rekaman bisa bikin sampai 5 episode.” Pengaturan-pengaturan di belakang layar semacam ini memang jamak di masa itu, pemerintah Orde Baru mengontrol ketat semua media massa yang ada. Bahkan termasuk acara Klompencapir, singkatan dari “kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa”, sebuah sesi tanya jawab di depan kamera antara petani dan nelayan dengan Presiden Suharto mengenai pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Di buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), Daniel Dhakidae menuliskan betapa di acara yang diorkestrasi sedemikian rupa sebagai panggung untuk menghubungkan ‘Bapak Pembangunan’ dengan rakyat itu “Harmoko mengatur dengan teliti kelompok-kelompok yang dikunjungi”. Dulu, saya tidak bisa tertawa tiap kali nonton Ria Jenaka di Minggu pagi. Sekarang, seperempat abad kemudian, saya coba dengar lagi kasetnya, saya tetap gagal tertawa dan rasa merinding itu tetap ada.
[BW]
#KasetHariIni
wah jaman kaset