Satu Mangkok (Saja), Dua Ratus Perak?

Siapa pun yang pernah jadi anak kecil di era akhir ‘80an awal ’90an pasti tahu lirik lagu ini, “Bakso bulat/ seperti bola pingpong/ kalau lewat/ membikin perut kosong…” Pola rima di situ mirip sajak a-b-a-b di pantun jenaka yang diajarkan di buku pelajaran Bahasa Indonesia, dan belum diketahui apakah si penyanyi cilik itu sedang mendeskripsikan bakso saja atau sekaligus pipinya sendiri. Meski pingpong termasuk cabang olahraga populer di Indonesia, jarang ada lagu lokal yang memuat metafora bola pingpong di dalam liriknya; sepengamatan saya dari era itu baru ada “Mata Indah Bola Pingpong” dari Iwan Fals yang liriknya malah bikin malas menyimak lebih lanjut, dan “Tukang Bakso” dari Melisa yang lagunya bagus dan kocak ini. Lagu “Tukang Bakso” dicetak di kaset rilisan Gajah Mada Records, foto sampulnya menampilkan pelawak kenamaan S. Bagio sebagai abang tukang bakso (“Mari, mari sini/ aku mau beli…“) dengan outfit lintas jaman yang sungguh profetik: topi pancing Ian Brown, kaos tribal psychedelic, celana digulung ala hipster, semuanya waaay before it was cool! Melisa yang juga beken dengan hits “Semut-semut Kecil” dan “Si Komo Lewat” ini pernah diisukan meninggal gara-gara kesetrum dan karena waktu itu belum ada internet, desas-desus itu bergulir liar tanpa bisa diklarifikasi dan sempat jadi bahan pembicaraan teman-teman saya di SD, di sela-sela kami bermain lompat tali dan gobak sodor di jam istirahat. Kini kabarnya Melisa sudah tumbuh dewasa, sekolah di luar negeri, mungkin malah sudah berkeluarga. Ketika saya mengunggah foto kaset legendaris itu beberapa waktu lalu ke sebuah forum diskusi online rilisan musik, seseorang mengomentari lagunya, “Dengan adanya bait ‘juga tidak pakai kol!’ jelas ini bukan tentang bakso Malang.” Seseorang lainnya langsung menimpali, “Ada juga kok, bakso di Malang yang pakai kol, extra crunchy.” Dua komentator itu dua-duanya memang tinggal di Malang. Terus terang saya sempat bingung dengan logika silogisme di atas. Pesanan khusus Melisa itu, untuk “tidak pakai kol”, menyiratkan bahwa bakso yang biasa lewat di sekitar rumahnya selalu pakai kol alias kubis. Dari kesimpulan yang ditarik oleh komentator pertama, bahwa itu “bukan tentang bakso Malang”, artinya bakso Malang biasanya tidak memuat kol. Tapi tunggu dulu, memangnya ada bakso pakai kol? Soto mie Bogor memang ada kubisnya, tapi kalau bakso? Menurut komentator kedua, “ada juga kok”, meskipun nada komentarnya menyiratkan itu memang bukan sesuatu yang lazim. Waduh, ruwet juga ini liriknya. Jangan-jangan bait tersebut itu ada hanya karena pertimbangan licentia poetica semata, misalnya demi mengejar terpenuhinya slot suku kata di liriknya. Atau anggaplah memang ada bakso semacam itu di sekitar rumah Melisa, yakni memakai kubis, bisa jadi itu murni keputusan prerogatif penjualnya yang absolut, dan bukankah yang namanya variasi itu sah-sah saja? Belakangan, seorang kawan dari Jogja ikut menjawil saya setelah membaca foto unggahan saya di forum kaset tadi itu, tapi melalui chat japri, memberitahu saya bahwa di dekat rumahnya, di daerah Kridosono, ada warung bakso yang sudah puluhan tahun mempertahankan ciri khasnya sebagai… bakso kubis. Kol diiris-iris, lalu rajangan kubis (atau “kobis” dalam dialek Jawa) itu dipersatukan dalam kuah bersama mie, glindhingan, irisan tahu dan bakso goreng, cuilan daging. Saya jadi bertanya-tanya, apakah bakso kobis di Jogja itu yang dijadikan referensi oleh si pencipta lagu Melisa? Ketika pertama kali saya pindah ke Bandung dan di sekitar Simpang Dago saya makan bakso (lazim disebut ‘baso’, tanpa huruf ‘k’), saya heran kenapa bisa ada tauge di situ, alias kecambah. Sepengamatan saya dari era itu, bakso di Jawa Tengah tidak menyertakan cambah atau thokolan (bahasa Jawa untuk tauge) di kuahnya, atau mungkin sebetulnya ada tapi di beberapa tempat saja, dengan kata lain cukup jarang? Untunglah di Sumpah Pemuda 1928 tidak ada bagian yang menyebutkan “Mengaku berbakso satu, bakso Indonesia.” Bisa ribut itu mazhab Solo, Malang, Jogja, Bandung, dsb. Menurut saya pribadi, bakso paling enak sedunia itu bakso gaya Solo dan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Tentu ada faktor primordial, dari kecil sudah terbiasa makan bakso gagrak eks-karesidenan Surakarta, tapi sempat ada masanya juga saya terlalu obsesif menjajal bakso-bakso aneka genre di beberapa daerah lain. Yang pada akhirnya tinggal adalah apa yang dengannya kita bertumbuh. Saya ingat ada tukang bakso di kampung saya dulu, penampilannya selalu mbois dengan topi fedora dan kumis rapinya mirip Rachmat Kartolo di sampul piringan hitam orkes kerontjong Lief Java. Semangkok bakso dari gerobaknya sering menemani sore hari saya, biasanya setelah kartun Kura-kura Ninja di TVRI karena kesukaan Raphael dan kawan-kawan bulusnya atas pizza sering bikin saya lapar jadi pengen ngemil. Sayangnya di kampung saya tak ada pizza, adanya apem. Tiada pizza, bakso pun jadi. Ketika saya menambahkan sedikit cuka ke dalam mangkok (“…tidak pakai saos/ tidak pakai sambel…”) dan karakter Bizarro dari serial Superboy muncul di layar televisi, saya merasa mungkin seperti itulah jadinya kalau bakso kelebihan tepung kanji ditempel ke muka. Saya sudah tidak tahu lagi di mana si bakso Rachmat Kartolo itu sekarang, setelah sempat berganti-ganti jualan jadi tahu kupat, lalu bakso lagi, belakangan baru mie ayam. Itu sudah seperempat abad yang lalu, tapi seperti efek Proust, aroma kuah baksonya ternyata masih terasa awet di hidung dan ingatan masa kanak saya. Kalau ada waktu dan kesempatan, singgahlah ke tempat saya di Bandung. Ada satu penjual bakso gerobak langganan saya sekarang; orangnya selow, bermuka ramah dan kalau tidak salah asli Sragen (kabupaten di sebelah timur Solo), sering lewat sore-sore dan sesekali mangkal sebentar di ujung jalan, sebelum lanjut keliling kompleks. Ampun itu baksonya, enaknya beyond belief! Ya duduh-nya, ya glindhingan-nya. Baik kuahnya maupun bola dagingnya. Ada glindhingan kecil dan glindhingan besar (bakso urat maupun yang diisi telor rebus), dua-duanya lembut tapi masih ada unsur kenyal, di mana tiap gigitan tetap menyisakan perlawanan. Aftertaste-nya hanya akan bikin kita gundah, haruskah lanjut ke mangkok berikutnya atau biarkan nikmat itu meresap sampai di sini? Harganya, porsinya, sambelnya, bahkan cengiran Mas-nya, semua terasa pas. “Aku ki pancen nganggo bumbu rahasia, nggawe dhewe lho…”, ujar si Mas Sragen itu bangga. Dia mengaku punya bumbu andalan bikinan sendiri. Tentu saya percaya dia berkata jujur. Mana berani dia bohong? “Kalau bohong/ digigit nenek gondrong!

* * *

#nowplaying
Melisa – Tukang Bakso
didukung Tom Tam Group, Jali-jali Group
[kaset, Gajah Mada Record, tahun rilis sekitar 1990]