“Coba kalau Pandawa Lima isinya sekelas “Kirana” semua, bisa keok tuh Terbaik Terbaik!” kata seorang kawan ketika kami membicarakan album-album terbaik Indonesia era ‘90an. Saya masih ingat betul di pertengahan 1996, album Pandawa Lima adalah one of the most anticipated albums dan banyak media santer memberitakan; kapan album terbaru Dewa 19 bakal keluar? Jadwal rilisnya mundur terus, bulan berganti bulan berganti tahun, hingga akhirnya Januari 1997 album yang sangat ditunggu-tunggu itu keluar juga. Single pertamanya, “Kirana”, ketika itu diputar di sebuah radio FM di Solo dan pertama kali mendengarnya saya langsung menunda berangkat les Primagama, menyimak lagunya dan berpikir, astaga, pantesan aja lama! Aransemen yang rumit, dingin, dan soundscape mistis di lagu itu rasanya tak banyak lagi ditemui di musik Indonesia. Intronya seperti datang tiba-tiba, dan seperti tiba-tiba pula kita sudah langsung terdampar ke sebuah negeri entah di mana. Jangan-jangan ketika lirik “kucoba memahami tempatku berlabuh” ditulis, Dhani dkk sebetulnya sedang sama bingungnya dengan kita. Belum lagi ketika videoklipnya wara-wiri di MTV; imaji Srikandi turun dari kahyangan membereskan kekacauan di bumi (“hadir di muka bumi/tak tersaji indah”), juga trik kamera di adegan Andra Ramadhan naik sofa, lalu berdiri terbalik dengan kaki menempel di tembok, apakah itu perlambang lanskap musik dunia sedang berubah (“ratapan mulai usang/nur yang kumohon”)? 1996 adalah era menarik di mana alternative rock mulai mati (meski di Indonesia malah baru mulai), Pearl Jam mencoba warna baru di No Code, Radiohead sedang menggodok amunisi rock mutakhir mereka untuk mahakarya OK Computer, dan Metallica mencukur rambut-rambut gondrong mereka lewat album Load. Tentu saya tidak bisa memastikan apakah gelombang kebaruan itu juga menghinggapi benak Ari Lasso, dkk. ketika berbulan-bulan mereka mendekam di studio, tapi “Kirana” memang tidak terdengar seperti lagu siapapun di Indonesia. Nyaris tidak ada bagian di lagu ini yang bisa disebut reff, sekilas hanya seperti bridge saja. Pihak label rekaman bahkan dikabarkan khawatir album baru ini tidak akan laku karena materinya dirasa kurang komersial. Di rubrik surat pembaca majalah Hai edisi 15 Oktober 1996, seorang pembaca dari Semarang menceritakan bagaimana di sebuah jumpa pers Dewa 19 di ibukota Jateng itu pihak band mengungkapkan, “[…] album Pandawa Lima belum bisa beredar, kecuali jika Dewa 19 membuat satu album lagi.” Artinya bakal keluar dalam format—mengutip istilah Dhani sendiri—double album. Rencananya rilisan itu akan dijuduli Menangan, yang dalam bahasa Jawa berarti “punya tradisi juara”. Sejarah kemudian mencatat, album ganda tersebut tidak pernah ada dan kekhawatiran pihak label akhirnya terjawab dengan fakta manis bahwa hanya dalam tempo kurang dari setahun album Pandawa Lima sudah terjual sebanyak 700.000 keping sampai November 1997. Pencipta lagu “Kirana”, Erwin Prasetya, disengaja atau tidak, seperti membiarkan dentum bassnya lenyap melebur ke dalam permainan drum Aksan Sjuman, yang gaya ketukan kering, monoton, dan sapuan ragu-ragunya sangat susah ditiru (sekilas mirip drumming di permulaan lagu U2 “Babyface” dari album Zooropa, tapi hitungan Aksan lebih njlimet terutama di pertengahan durasi menuju akhir), memberi aura khas di lagu ini. Karenanya lagu “Kirana” seolah tidak pernah bisa betul lagi saat dibawakan drummer lain seperti Bimo Sulaksono yang terlalu cadas, Tyo Nugros yang modern dan powerful, atau siapapun drummer Dewa setelahnya. Tahun-tahun di sekitar album Pandawa Lima menurut saya adalah fase gundah paling menarik dari Ahmad Dhani dalam pergulatannya dengan lirik-lirik transendental seperti “lusuh lalu tercipta mendekap diriku/hanya usung sahaja kudamba Kirana”, yang kemudian dilanjutkan “tolonglah, Tuhan, beri petunjuk-Mu/jalan yang benar menuju jalan-Mu/agar tak tersesat di persimpang jalan” di lagu “Kuldesak” (1998). Lagu “Kuldesak” itu adalah cara unik Dhani untuk mulai menjajal suara Once Mekel sebagai vokalis barunya, dan saya rasa nada-nada di intro ikonik “I look around, I fly to find, a space to lay my head upon” sangat terpengaruh oleh permulaan lagu “O Morro Não Tem Vez” versi Antônio Carlos Jobim (1963) ataupun versi Astrud Gilberto (1965). Hari ini saya kembali menimang-nimang kaset single radio promo “Kirana”, karena sudah beberapa pekan terakhir ini anak saya tergila-gila lagu berdurasi 4 menit 20 detik itu. Kaset single C09 berisi satu lagu (bolak-balik sama) ini bisa dibilang cukup rare, belum pernah saya temukan lagi di lapak-lapak musik bekas. Tiap pagi di perjalanan menuju sekolah, si kecil memaksa bapaknya agar “Kirana” diputar terus-terusan. Untunglah lagu tersebut di versi album penuhnya berada di side A track pertama, jadi cukup mudah untuk memutar CDnya berulang-ulang di mobil. Sekarang giliran saya yang harus berpikir keras, bagaimana cara menjelaskan ke bocah empat tahun ini, arti lirik “mengapa kau tiupkan nafasku ke dunia?“
***