Kalau saya harus menyusun daftar “Top 5 Musicians with Hats” versi lokal, sudah pasti Gombloh masuk. Saya amati foto-fotonya saat tampil di atas panggung maupun di artwork album-albumnya, kelihatannya koleksi topi Gombloh lumayan banyak; mulai dari topi baret di album Lemon Tree’s Anno 69 Mawar Desa (1978) dan Kebyar-Kebyar (1979) sampai beberapa topi sopir truk Amerika di album-album solo terakhirnya di pertengahan dekade 1980an yang cenderung lebih ngepop dan komersial, yang oleh Gombloh sendiri diakui sebagai fase “lagi cari duit”. Belum lagi foto-foto di atas panggung, di artikel-artikel media cetak, bahkan pernah salah satu posenya (mengenakan topi kuning “Mexico”) dipakai di sampul buku tipis berisi kumpulan lirik-lirik lagu pop yang malah tidak memuat satu pun lagu Gombloh. Saat tampil di Selekta Pop TVRI membawakan nomor pop terbesarnya, “Kugadaikan Cintaku” (1986), Gombloh terlihat memakai topi trucker berlambang Caterpillar, perusahaan alat berat yang logonya berupa tulisan “CAT” dengan keterangan “Diesel Power” di bawahnya. Setengah bercanda saya berkata ke seorang teman, sesama penggemar penyanyi nyentrik bernama asli Soedjarwoto itu, jangan-jangan sosok Gomblohlah yang dilihat Chan Marshall, singer/songwriter Amerika Serikat yang memakai nama panggung Cat Power. Marshall pernah mengaku moniker itu terinspirasi dari seseorang yang dilihatnya sedang memakai topi Cat Diesel Power. Artikel di situsweb Clash, 12 Oktober 2012, memuat pengakuan Marshall ini, “I was on a payphone trying to come up with a name and I saw someone wearing a Cat Diesel Power hat. I decided the name of our band would be Cat Power.” Ketika sedang mempersiapkan kaset album solonya yang keempat, yang kemudian memuat pop hit terakhirnya, “Apel” (1987), Gombloh pernah kepikiran satu cara promosi yang mungkin masih belum lazim di sini ketika itu: membuat lomba mirip Gombloh. Look-alike contest semacam ini ada banyak di Barat, salah satu yang paling legendaris adalah mitos tentang Charlie Chaplin pernah diam-diam menyelinap ke lomba mirip Chaplin lalu ikut bertanding, dan kalah. Berarti pemenangnya dianggap lebih mirip Chaplin ketimbang si Chaplin itu sendiri? Sayangnya sebelum rencana unik itu sempat terwujud, Gombloh yang mengidap penyakit paru-paru sudah keburu meninggal di awal Januari 1988. Ribuan orang mengiringi pemakamannya, berebutan ingin turut memanggul peti jenazahnya. Atas seizin keluarga almarhum, Radio Suzana di Surabaya meneruskan rencana kontes kocak tadi itu pada Februari 1988. Tujuannya bukan lagi untuk promosi kaset, melainkan mengenang kepergian Gombloh yang memang sangat dicintai penggemarnya. Dari arsip majalah dan koran-koran lawas yang saya ubek-ubek sekian lama, akhirnya saya berhasil menemukan satu artikel di Kompas edisi Jumat, 4 Maret 1988, dimuat di halaman pertama: pemenang lomba duplikat Gombloh itu adalah Suhardiman, seorang pembuat kue klepon asal Surabaya. Usianya 48 tahun, sepuluh tahun lebih tua dari almarhum Gombloh. Di babak final dia tampil membawakan lagu “Di Angan-Angan”, mengalahkan 98 orang peserta lainnya, dan berhak mendapatkan hadiah uang Rp 150.000. (Sebagai perbandingan, tarif berlangganan koran Kompas pada saat itu Rp 6300 sebulan, sementara harga eceran majalah mingguan HAI adalah Rp 1000 per edisi.) Suhardiman mengaku didesak oleh keluarga dan teman-temannya untuk ikut lomba mirip-miripan Gombloh itu. Bahkan topi, kacamata hitam bertali, jaket dan celana blue jeans ala Gombloh yang dipakainya saat berlomba adalah kostum pinjaman sana-sini. Ada foto Suhardiman ‘Gombloh’ di artikel lama tersebut, tapi sayangnya itu foto hitam putih, buram dan kurang jelas. Belakangan saya mendapati versi yang sedikit lebih jelas, di buku berjudul Gombloh: Blues Untuk Kim (Mochamad Siradj, 1988, halaman 62-65). Di situ ada juga foto acara lookalike contest tersebut, dan terlihat semua peserta memakai topi. Di foto lain, tampak puluhan peserta kontes itu kembali berkumpul memperingati empat puluh hari meninggalnya idola mereka, tentu semua berkostum ala Gombloh, lengkap dengan topi bahkan kuncir kelabang di samping kuping kanan kiri. Gugur satu tumbuh seribu, demikian pikir saya menatap foto itu. Dari topi-topi yang pernah terlihat dipakai Gombloh semasa hidupnya, paling favorit saya adalah topi berlogo TVRI Surabaya, yang fotonya juga termuat di buku tersebut. Saya jadi teringat satu kejadian sekitar dua puluh tahun silam, ketika saya harus ikut kuliah lapangan bareng teman-teman sejurusan di kampus lama saya, ke beberapa pantai di Bali. Kami berangkat lewat jalur darat dari Bandung, dan bus sewaan kami singgah di Surabaya, di stasiun TVRI. Teman kami kebetulan punya paman yang bekerja di situ. Saya langsung menimbang-nimbang adakah kemungkinan saya bisa menyelinap kasual ke toko souvenirnya, dan siapa tahu bisa membeli dari situ, topi TVRI persis seperti yang pernah dipakai Gombloh? Ketika saya turun dari bus, seseorang dari TVRI Surabaya, kerabat teman kami tadi itu, seperti kaget melihat saya, lalu sibuk bisik-bisik ke keponakannya, sambil melirik saya lagi dan lagi. Saya jadi resah sendiri, apakah si bapak itu punya indera keenam sehingga bisa membaca pikiran saya? Makin deg-degan saya ketika si bapak itu mendekat ke arah saya lalu berkata, “Kamu mirip banget anak saya.” Ya ampun Oom, padahal saya pengen mirip Gombloh! Impian saya punya topi TVRI Surabaya terpaksa buyar karena tak lama kemudian bus kami sudah harus bergerak lagi. Saya terduduk lesu di sepanjang perjalanan menuju Bali. Saat turun dari kapal feri yang menyeberangi selat Bali, saya melihat seorang turis Jepang mengenakan topi pet ala Putu Wijaya dan kacamata separuh gelap. Sekilas sosoknya mengingatkan saya pada Arie Wibowo, penyanyi pop dari era ‘80an yang beken dengan lagu-lagu laris manis seperti “Madu dan Racun” dan “Singkong dan Keju”. Arie sendiri dikenal selalu mengenakan topi (seringnya model ivy flat cap, tapi pernah juga newsboy cap) di pertunjukan musiknya. Lagu “Madu dan Racun” (1985) sebetulnya adalah aransemen baru dari lagu lama ciptaan Arie Wibowo dengan lirik oleh Jonathan Purba, sebuah nomor balada berjudul “Bingung”, yang ada di side B dari kaset split Noor Bersaudara dan Prambors Vocal Group rilisan Pramaqua, 1975. Di lagu “Bingung” itu Arie Wibowo memakai nama Sidosa. Aransemen gaya baru dengan nuansa lebih upbeat dan cerah ceria oleh Arie Wibowo, dkk. itu, yang kali ini memakai moniker Bill & Brod, terinspirasi dari lagu “Susanna” (1983) dari The Art Company yang memasukkan suara tepuk tangan dan sorak sorai penonton ke dalam lagu. Orang-orang sering memelesetkan lirik lagu dari band asal Belanda itu, “Susanna duduk di sofa…” Bahkan Billy Eden, seorang penyanyi pop Indonesia di era itu, sampai merekam versi bahasa Indonesia dari lagu itu di kaset rilisan Granada Records, 1984. Album Bill & Brod Madu dan Racun itu sukses besar dan terjual hingga sejuta copies. Album solo perdana Gombloh setelah menanggalkan moniker Lemon Tree’s Anno ’69, berjudul Live Gila! (1983), juga menyertakan suara tepuk tangan penonton, dan modus serupa kembali dipakai oleh penata musik di studio Nirwana Records untuk rekaman lagu Gombloh “Kugadaikan Cintaku” di album Semakin Gila (1986). Lagu “Kugadaikan Cintaku” mencomot sebagian melodi lagu reggae Jimmy Cliff, “Wonderful World, Beautiful People” (1969), lalu dikembangkan lebih lanjut oleh Gombloh menjadi lagu pop paling terkenalnya. Album Gombloh ini meledak di pasaran, dan menurut Kompas edisi 15 Februari 1987, kasetnya terjual sampai lebih dari 600.000 copies. Saking populernya bait pertama, “Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu”, orang sering keliru menyangka judul lagu itu “Di Radio”. Tapi kalau Anda mengaku-ngaku sebagai penggemar Gombloh dan menganggap “Kugadaikan Cintaku” dan “Di Radio” adalah dua lagu yang berbeda, itu keterlaluan. Saat tampil di Selekta Pop TVRI Jakarta, Gombloh mengganti kata ‘bercumbu’ jadi ‘bergurau’ pada lirik “bercanda dan bercumbu/duduk berdua denganmu”, dan mengubah “kau cubit/kau peluk/kau cium” menjadi “kau goda/kau cubit/kau rayu”, meski makian “Gila!” tetap terdengar di ujung baitnya. Di tengah-tengah lagu, si pembawa acara muncul di layar dan menyebut judul lagu ini sebagai “Kugantungkan Cintaku”. Lagu itu pernah dibikin versi bahasa Inggrisnya, “On Radio”—pada bait pertama Gombloh bernyanyi [sic], “On radio, a softly music appear with lovely harmony…”—dan muncul di kaset kompilasi 14 Populer Songs, rilisan label lokal GL Record, bersama lagu Boy George, Madonna, dan Freddie Mercury. Sementara lagu “Madu dan Racun” bahkan muncul versi bahasa Prancisnya (vokal dan lirik oleh Reda), ada di kaset album kelima Bill & Brod, Harap Maklum (1989). Di masanya, mungkin hanya Arie Wibowo yang sanggup mengimbangi lagu-lagu pop Gombloh. Sepintas lagu-lagu laris mereka memang terdengar mirip, juga tarikan vokal dan gaya liriknya. Mereka bahkan pernah berduet meleburkan pop hits terbesar mereka menjadi satu lagu medley berjudul “Di Radio Ada Anak Singkong”. (Ide brilian itu membuat saya sempat berkhayal, seru juga kalau ada duet serupa oleh Bill Callahan dari Smog bersama David Berman dari Silver Jews!) Di sampul kaset proyek duet itu, mereka berpose bareng sambil merekatkan tangan: Gombloh mengenakan topi Cat Power, sementara Arie Wibowo memakai topi pet bermotif garis warna-warni. Di videoklipnya, Arie terlihat bertopi pet yang sama, sementara Gombloh dengan topi lain lagi yaitu trucker hat berwarna merah. Bagian terbaik dari penampilan duet itu adalah ketika mereka mulai saling bertukar lagu dan bersilang lirik. Arie menyanyikan bagian Gombloh di bait “malam Minggu pukul tujuh/aku apel ke rumahmu”, lalu mereka bersahut-sahutan di bait Arie, “parfummu dari Paris” (Arie), “sepatumu dari Italy” (Gombloh), “aku suka singkong” (Arie), “kau suka keju” (Gombloh), dan seterusnya. Pemain keyboard di video itu terlihat senyum-senyum. Bisa dimengerti. Dia sedang mengiringi dua penyanyi pop terlaris saat itu! Kalau saya jadi produser acaranya, atas nama totalitas saya bakal memberanikan diri meminta mereka untuk saling bertukar topi selama penampilan langka itu. Kapan lagi kita bisa melihat Gombloh bertopi Arie Wibowo dan Arie Wibowo bertopi Gombloh?
* * *