Fell in Love with Planet Zeke

Di jadwal RRRec Fest 2011 tertera jelas: Zeke Khaseli bakal bermain di panggung outdoor setelah Bangkutaman. Dari kejauhan terdengar intro lagu “Blue Bird Taxi”, saya bergegas sambil menyesal kenapa saya datang terlambat. Sesampainya di sana ada pemandangan mengherankan, tak ada Zeke di situ. Di atas panggung, sekelompok anak muda memainkan lagu tersebut dengan gaya indie rock lo-fi ala Pavement. Lagu-lagu setelah dibawakan tanpa basa basi, semua bergulir cepat, tak ada penjelasan. Tak satu pun dari mereka mengenakan kostum-kostum; tak ada Boylien, Obama berkepala besar, pria dengan helm dan piyama, bunyi sirene, poster salak. Ada apa ini? Kenapa bukan Zeke Khaseli dan pasukan bertopengnya yang memainkan repertoar Salacca Zalacca? Tak jauh dari panggung, saya lihat Zeke malah duduk-duduk santai di belakang soundsystem, memainkan pengendali video yang ditembakkan dari laptopnya ke layar panggung. Gaya visual itu sebetulnya tak jauh beda dengan kebiasaan konser Salacca Zalacca: di layar ada sosok ‘mirip Zeke’, lengkap dengan blazer hitam, kacamata bingkai tebal, dan topi khasnya; tapi di video itu jelas bukan Zeke, itu orang lain yang didandani menyerupai dan berakting di depan kamera. Apa Zeke sedang bercanda? Saya menghampiri Harlan Boer dari Jangan Marah Records, dan dia hanya tertawa-tawa sambil geleng-geleng kepala. Reidvoltus, band dari Bogor, tampil di panggung mengcover album Salacca Zalacca atas nama musisi aslinya dan mengecoh penonton; hanyalah satu dari sekian banyak ide seorang Zeke Khaseli. Keesokan harinya, di salah satu meja Dunkin’ Donuts Melawai, saya berusaha mengorek isi kepala Zeke Khaseli, kini 33 tahun, yang sepertinya sudah lama dipenuhi lirik-lirik bersayap, adegan-adegan film sci-fi klasik favoritnya, selera humor dan ambisinya untuk terus bermusik, menulis lagu di kamar, memproduksinya sendiri, dan merilisnya tiap akhir pekan. Sambil mengaduk kopi dan menyantap sarapannya yang terlambat, Zeke membuka ceritanya.”Gue suka Reidvoltus. Attitude mereka asyik.” Dia mengaku para personel Reidvoltus hanya butuh seminggu berlatih lagu-lagu ciptaannya, tanpa pernah satu kali pun bertemu Zeke. Di konser semalam, mereka berhasil menghadirkan satu lagi nuansa aneh dari sebuah album yang sebenarnya sudah aneh dari awalnya. Apa itu berarti album Salacca Zalacca cukup diterima publik? “Gue nggak tahu. Tapi pernah di beberapa show, penonton di baris depan teriak-teriak ikut nyanyi. Orang-orang itu hapal lagu gue, bahkan bagian rap-nya. Kadang-kadang itu sudah cukup.” April 2010 lalu, saya berada di antara penonton konser perdana Zeke Khaseli dengan album Salacca Zalacca, di Bumi Sangkuriang, Bandung. Lagu-lagu yang mencampuradukkan berbagai genre itu sudah pernah dirilis gratis satu per satu sejak November 2009 di situs pribadi Zeke, tapi malam itu adalah kali pertama dia membawakannya secara live. Beberapa penonton sempat bengong dengan kemunculan para pemusiknya: gitaris dan drummernya berjubah panjang warna kuning (sebetulnya lebih mirip jas hujan), muka tertutup topeng beruang. Sementara Zeke, bertopeng harimau, mengutak-atik laptop yang dipaksanya menyemburkan suara-suara mirip musik latar film-film sci-fi tua berbujet rendah, dengan sound menggelegar. Di beberapa lagu, volumenya sangat keras sampai memekakkan kuping dan saya merinding. Bising mesin dan vokal Zeke saling tumpang tindih dengan warna-warni video yang disorot ke backdrop; dia bergumam di satu lagu, kata-katanya meracau seperti nyinyir tapi kocak, lalu berteriak lepas di lagu lainnya. Bunyi theremin menyayat seperti memanggil-manggil makhluk dari galaksi lain, entah muram atau riang, atau kombinasi keduanya. Dia tersenyum ketika laptopnya ngadat lagi seolah-olah itu hal biasa, diambilnya gitar kecil (saya mendengar nafas lega dari laptop itu) dan mulai nge-rap, “Pusing tujuh bling bling/pump up valium/tidur mulut senyum…” Mungkin seperti ini rasanya berkaraoke semalam suntuk setelah di-PHK, di lokasi syuting Satyricon dengan kru lighting yang teler? Dia mengaku senang sekali malam itu. “Itu salah satu konser terbaik gue. Atmosfernya susah diulangi, bahkan di 30 kali konser setelahnya.” Makin hari konsernya makin tak biasa. Kalau tak ramai oleh penonton pun, panggungnya sudah penuh sesak dengan parade kru yang bersukaria. Jumlah anggota backing band-nya makin meriah (ada yang tugasnya ‘hanya’ mondar-mandir mengacungkan gambar salak dan membunyikan megafon, itu saja sudah seru), dan ternyata semua menikmati jadi anonymous di balik topeng. “Gue beli di toko kostum di Jepang. Awalnya cuma pengen nonton konser reuni Pavement doang, tau-tau pulang bawa satu koper penuh, isi topeng-topeng.” Selama tur panjang artis-artis Jangan Marah Records di kota-kota sepanjang Jawa (dari Bogor hingga Malang), kekacauan mulai terjadi di hampir setiap venue, di mana makin banyak sosok berkostum di panggung yang mirip versi Melayu dari The Flaming Lips, berbaur dengan penonton menari-nari di tiap lagu. “Raymond, additional player-nya Bangkutaman, awalnya cuma bantuin gitar akustik tiap kali Acum, dkk. manggung, tapi lama-lama dia mau juga jadi Boylien di konser Salacca Zalacca, hahaha!” Tawa riang Zeke lebih mirip anak kecil menyambut anggota geng baru. Bahkan Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca tanpa ragu memakai jas hujan warna hijau, ketika Zeke Khaseli membantu mengacak-acak lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika” lewat bunyi-bunyian theremin. (Zeke khusus memesan alat-musik-tanpa-disentuh ini ke Evan Storn, spesialis pembuat instrumen musik elektronik di Bandung. Ketika saya menunjukkan koleksi saya, DVD film dokumenter tentang Leon Theremin, si ilmuwan jenius dari Rusia penemu alat itu, Zeke langsung semangat meminjamnya.) Publik mulai menanggapi album solo pertama Zeke ini, meski tak semuanya antusias. Hanya beberapa radio yang memutarkan lagu-lagunya, dan media massa mainstream seperti enggan mengulas. Ketika seorang wartawan majalah musik terkemuka menyebut Salacca Zalacca sebagai album musik folk, saya mengernyitkan kening dan berpikir apakah dia salah mengambil CD? Di sisi lain, penggemar loyal mulai bermunculan. Mereka menyambangi tiap konsernya—artwork poster publikasinya selalu menarik—mungkin sambil menebak-nebak karakter baru apa yang bakal muncul kali ini. Beberapa orang mulai mengutip lirik-liriknya di Twitter. Di acara puncak Pasar Seni ITB 2010, seorang penonton naik ke panggung besar dengan percaya diri, berbagi mikrofon dengan Zeke meneriakkan lirik “Gue mau, semua mau, jadi man of the hour!” Lagu “Man of the Hour” memang paling tepat menggambarkan cara kerja Zeke. Diawali dengan “Jagoan selalu naik kuda putih,” disambung “Masuk kamar/nonton DVD/hari libur sama dengan hari kerja…”, bukankah itu seperti personifikasi dirinya sendiri: musisi kamar/penggemar film/full-time musician? Film, salah satu minat terbesarnya, punya porsi besar di musikalitas Zeke. Sejak kemunculannya pertama kali di scene musik Indonesia awal dekade 2000an bersama band LAIN, yang justru terbentuk di Seattle, karya-karya Zeke sudah pekat dengan aroma sinematis. Salah satu yang terkuat di album Djakarta Goodbye (2003) memuat lirik “Cloning, replicating with a ghost’s cell, biomythical”, di kuping saya terdengar seperti satu premis menjanjikan untuk film sci-fi era ’80an. Ada juga lirik seperti “Smell of modern loneliness invites the thought of happiness/We’re being freed by computers/The eyes of everything they circled you/But do you know them?” di lagu berjudul “Megapolis”, mengingatkan saya ke robot Maria dan para pekerja di mahakarya Fritz Lang. Sementara piano di track penghujung album seperti menggambarkan bakal seperti apa kira-kira film Kubrick pasca Eyes Wide Shut seandainya dia tidak keburu meninggal, “Listen big shot, under your bed, boogeyman.” Nada suara Zeke tidak tertebak saat berkata, “Yang bikin gue nyesel dari LAIN, kenapa cuma sempet bikin satu album. Rasanya kayak ada yang kepotong.” Proyek dia berikutnya, Zeke and the Popo, hanya menelurkan satu EP dan satu album penuh, Space in the Headlines (2006), yang oleh artikel DetikHOT disebut “The Beatles yang sakit”. Di album itu ada karakter si manusia berkepala tank dan potongan dialog dari serial televisi Hitchcock—salah satu sutradara favorit Zeke. (“Kalau kata gue Rebecca!” sergahnya waktu saya menyebut The Birds film terbaik Hitchcock.) Zeke and the Popo sempat menyumbang beberapa lagu untuk film Janji Joni (Joko Anwar, 2005), salah satunya tepat di adegan paling monumental: kamera slow motion, Sujiwo Tejo melempar tas Nicholas Saputra ke kobaran api. Zeke terjun ke dunia film dengan menulis musik latar di film KALA (Joko Anwar, 2007) dan Rumah Dara (Mo Brothers, 2009). Di film karya sutradara Mouly Surya (2008) berjudul Fiksi., Zeke meraih Piala Citra sebagai penata musik terbaik. Dengan band bernama Mantra dia ikut menggarap musik untuk Pintu Terlarang (Joko Anwar, 2009). Karena itukah Salacca Zalacca penuh referensi film? Lagu “Ketimur-timuran” mengabsen judul-judul film seperti Kill Bill, New York I Love You, Lawrence of Arabia, begitu pula liriknya, “Bikin sutradara slave produser.” Sementara di lagu “Shit Is So Yesterday, Moralist Happens” ada bait “Sekali-kalinya ada film lokal keren/di bioskop cuma 5 hari.” Meski bisa dibaca sebagai cara pandang Zeke atas hal-hal di sekitarnya, dia enggan membicarakan lirik-lirik lagunya. Komentarnya pendek, “Gue cuma pengen pake bahasa yang seasli-aslinya. Bahasa lisan gue yang seutuh-utuhnya. Yang begitu ditulis malah jadi aneh.” Album Salacca Zalacca berisi 17 lagu yang tracklist-nya akhirnya disusun sesuai abjad karena terlalu banyak. Dan itu artinya 17 narasi tak beraturan tentang, well, apapun. Mungkin justru di situ daya tariknya. Di lagu pembukanya, “11:01”, Zeke meracau tentang perjalanan udara ke rumah teman dekatnya yang baru saja meninggal, di mana dia harus menulis lagu untuk upacara pemakamannya, “Andy ninggalin pacarnya sendirian di hujan/padahal masa depan mereka lumayan cerah/Untungnya pas sebelum mati sempet berubah/jadi makhluk penyayang binatang.” Slank formasi awal pernah menulis di “Pak Tani”—salah satu lagu teler mereka yang saya suka, “Petani bajak sawah pake traktor/kerja rutin kontrol sawah/numpak Harley ngitung laba panen pake komputer/ngirim order beras pake helikopter…”; kalimat Zeke di “Man of the Hour” bisa dipertimbangkan sebagai sekuel yang cocok, “Helikopter boy/ego main lego/Ayo semua tepuk tangan buat film spesial efek/Kapten kapal api/di laut mati…” Dan jangan lupa, lirik di “Ballet Paranormal” adalah pick-up line abad ini: “pelukan di halte bus/dia senyum, hujan reda.” Obbie Messakh boleh berbangga, sudah ada penerusnya.

*

Saya terpaksa meminta pelayan di Dunkin’ Donuts mengecilkan volume TV mereka yang mulai terasa berisik, atau kami sudah terlalu capek ngobrol. Zeke berdiri terhuyung memesan kopi untuk kesekian kalinya dan mengaku, “Sebenernya gue baru sempet tidur 2 jam.” Obrolan bisa berakhir saat itu juga, tapi saya ingin tahu ambisi musikal dia selanjutnya. “Gue nikmatin banget segala kehebohan Salacca Zalacca ini, tapi sekarang gue harus coba yang lain.” Dan hal-hal lain itu berarti lanjut merilis lagu mingguan (weekly download) dari kamarnya, menulis lirik berbahasa Inggris lagi, dan kembali ke akar musik yang dia sukai sejak lama, psychedelic. Jika pengalamannya berada di antara lautan manusia di konser reuni Blur di London, Juli 2009, memicu dirinya membuat Salacca Zalacca (“Damon Albarn gila-gilaan produktifnya, semua warna musik dia coba.”), kali ini konser The Flaming Lips di Singapore, November 2010, yang melecut semangat Zeke. “Wayne Coyne itu sinting. Enerjik banget! Umurnya hampir 50 tahun, tetap total bikin musik dan konsernya. Dia pernah pakai darahnya sendiri untuk campuran cat poster manggungnya.” Di konser itu Zeke bertemu Coyne di belakang panggung. Dalam satu percakapan singkat, Zeke sempat memperkenalkan dirinya sebagai seorang bedroom musician, dan menitipkan CD Salacca Zalacca lewat seseorang untuk Coyne. Cita-cita sebenarnya adalah mengajak Coyne menyanyi bareng “My Cosmic Autumn Rebellion”—kebetulan tak dibawakan The Flaming Lips malam itu—dan merekamnya dengan kamera video. Permintaan si penggemar berat itu tak sempat dilontarkan. Besoknya kekecewaan itu sedikit terobati: di bandara, Zeke tak sengaja berpapasan dengan Steven Drozd, multi-instrumentalis The Flaming Lips. Drozd langsung memuji sepatu Zeke, “Nice shoes, man.” Zeke bangga setengah mati, tapi ketika saya ingatkan bahwa Damon Albarn berkomentar betapa jeleknya sepatu Graham Coxon saat mereka pertama kali berkenalan, Zeke langsung “Oh, shit! Steven malah bilang sepatu gue bagus? Gawat!” Delapan lagu tercipta dan meski mood-nya kini berbeda, semuanya masih kental ciri khas Zeke: bunyi-bunyian electronic yang diulik, lirik-lirik multitafsir, dan di atas segalanya, nada-nadanya tetap melodius. Sensibilitas pop masih terasa di sana-sini. Dari mana datangnya segala hook itu? “Dia sangat peduli nada dan melodi,” kata Harlan Boer, “Zeke itu seorang traditional singer-songwriter.” Konsep weekly download itu bagi Harlan juga brilian, “Seandainya ini dilakuin sama band Melayu paling culun pun, tetep aja gokil. Tiap minggu keluar lagu baru!” Hasil perdana sesi psychedelic ini adalah “Fell in Love with the Wrong Planet”, lagu ke-18 dari weekly download-nya. Zeke mengaku tertarik dengan konsep kata “wrong”, menurutnya “right or wrong” sudah makin salah kaprah hari-hari ini. Proses penciptaannya masih sama dengan cara kerja selama ini: dia merekam nada-nada dasarnya di BlackBerry (“Kadang pakai gitar, atau mulut doang.”), lalu rekaman mentah itu dipindahkan ke komputer dan diolah dengan software musik Reason. Proses olahannya lebih banyak melalui piano, keyboard, harpsichord, dan instrumen pencet lainnya. Sambil membuat melodi dan ritem yang cocok, dia mencari-cari beat yang enak untuk drum loop. “Gue nggak bisa main drum, dan gue bukan DJ. Masalah beat selalu bikin repot gue.” Di lagu “Rolling Like a Stupid Stone” Zeke memasukkan beat-beat genit ala dangdut remix khas Pantura bercampur nuansa padang pasir, tanpa jatuh jadi norak. Lagu ini riuh rendah dengan sound bertumpuk-tumpuk, tempo menghentak dan meliuk, yang arti liriknya hanya dia dan Tuhan yang tahu. “Beberapa lagu emang tentang kehidupan pribadi gue. Namanya musisi kamar, ya pasti nulis tentang dirinya.” Karena kali ini ditulis dalam bahasa Inggris, Zeke menemukan kompleksitas berbeda. Dia merekam kalimat-kalimat pertama yang hinggap di benaknya, baru dimaknai belakangan. Rasanya seperti memecahkan misteri, dan dia menikmati prosesnya. “Gue pernah baca di buku biografi The Beatles, John Lennon nggak pernah nutup-nutupin kalau lirik bikinan dia nggak selalu punya arti. Bahkan kadang-kadang cuma permainan kata.” Ketika saya menyebut nama Syd Barrett, dia langsung menyambar, “Apalagi itu! Siapa yang bisa mengartikan lirik-liriknya?” Semangat bermain-main tetap muncul di lagu “Causeway Bay”, yang dibuatnya di Hong Kong di sela-sela menonton konser Gorillaz, diselipkannya suara alat pemompa ASI untuk bayi di awal lagu yang menurutnya, “Bunyinya seperti nafas mesin.” Mungkin itu pilihan tepat untuk lirik “Nature procreates/Machine replicates.” Seolah tak cukup dengan itu semua, Zeke masih merasa perlu membuat video untuk setiap lagu. Video itu bisa berarti apa pun; rekaman dia ke dokter gigi (sambil memakai kacamata hitam), sesi karaoke di taksi yang sedang melaju, jingkrak-jingkrak di dalam kamar, merekam truk pengangkut sampah, keponakannya yang masih balita berlari-lari sambil tertawa gembira, dokumentasi saat dia diramal seorang Chinese fortune teller di Hong Kong (“Gue sih nggak ngerti dia ngomong apa, tapi di akhir dia ngacungin jempol!”). Zeke merancang semua konsepnya, mengambil gambar, mengedit, mengunggah hasilnya ke Facebook dan YouTube, satu per satu berbarengan rilisan lagu mingguan. Dia masih menyimpan puluhan file di BlackBerry-nya, yang dinamai “weekly potential”. Kopi dan makanan di meja kami sudah sama-sama habis dan obrolan sudah makin ngalor-ngidul. Zeke menceritakan pengalaman menonton konser pahlawannya yang lain, Daniel Johnston, di London. “Gue suka honesty-nya. Lo-fi yang paling lo-fi. Di panggung dia pernah salah main, berhenti bentar, tapi penonton teriak, ‘Daniel, keep playing! Don’t worry, we love you!‘ Semangat ‘keep playing‘ itu menghantui Zeke sampai sekarang. Ketika obrolan kami berbelok membahas lagu “Tender”-nya Blur, tiba-tiba dia berkata, “Mungkin kapan-kapan gue harus bikin lagu gospel.” Ide bagi Zeke bisa muncul dari mana saja, sesepele celetukan di sela obrolan. Kabar terbaru ini mungkin bisa membuatnya tersenyum: Wayne Coyne baru saja mengumumkan The Flaming Lips bakal masuk studio awal tahun ini, lalu merilis lagu baru tiap bulannya. Semua proses itu akan diabadikan menjadi sebuah dokumenter. Bukankah ini sebuah kebetulan yang lucu? Zeke dan pahlawannya berada di satu arena yang sama, mengerjakan hal-hal yang kurang lebih mirip. “Gue selalu look up ke musisi-musisi panutan gue itu sambil ngomong ke diri sendiri, ‘nggak kekejar nih, nggak kekejar nih’…” Kalimatnya menggantung. Saya menunggu, mencari tanda-tanda menyerah di suaranya. “Tapi gue masih pengen terus ngejar.” Zeke Khaseli pamit pulang untuk tidur sebentar, sebelum lanjut mengunggah lagu mingguannya. Weekly download-nya sudah melaju hingga lagu ke-25. 

Jakarta-Bandung, Februari 2011

___
Ini adalah tulisan lama (Februari 2011), dengan foto ilustrasi lumayan baru (April 2011) yang diambil dari acara peluncuran Rolling Like a Stupid Stone EP di Kineruku. Foto oleh Meicy Sitorus.

2 thoughts on “Fell in Love with Planet Zeke

Leave a Reply to Budi Warsito Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *