Cerpen Favorit: Hujan Terus Menderu

Kaset Hari Ini, #Day 24:
Lisa Gerrard – The Mirror Pool
[4AD, printed in England, 1995]

Sebenarnya kaset debut solo dari vokalis Dead Can Dance ini sengaja saya setel untuk menemani saya melalap buku kumpulan cerpen dari pengarang kurang terkenal ini, Jajak MD. Judul bukunya sendiri sungguh menggugah: Perjanjian dengan Setan. Kebetulan vokal mbak Lisa memang cucok untuk melatari pembacaan cerita-cerita di buku terbitan Sinar Harapan tahun 1982 ini yang isinya, meminjam istilah yang lagi ngetrend belakangan ini, ngeri-ngeri sedap. Berikut ini satu cerpen favorit saya di situ, saya ketik ulang dari halaman 25-28:

HUJAN TERUS MENDERU
(cerita pendek oleh Jajak MD)

Malam itu saya diinterogasi oleh seorang perwira piket CPM di Cilacap. Bulannya November 1970. Musim penghujan yang tidak ada taranya. Dalam kedinginan yang luar biasa saya berusaha menghangatkan diri dengan jaket, yang juga setengah basah. Di luar suara hujan menggemuruh diseling air laut yang menyerbu masuk ruangan tiada henti-hentinya.

Saya termangu sebentar teringat akan anak-anak di rumah, ketika perwira itu menawarkan rokoknya pada saya. Hujan lebat begini biasanya air masuk menggenangi rumah kami yang terletak di daerah yang rendah. Anak-anak menemui keadaan semacam ini tidak dengan rasa sedih seperti kami. Tetapi sebaliknya. Mereka biasanya langsung turun dari ranjang dan bermain-main dengan air yang kadang-kadang membawa bau bangkai. Saya sudah lama berusaha meninggalkan daerah yang bagaikan kandang babi itu, tetapi kesulitan untuk mendapatkan perumahan menghadang terus. Kegagalan-kegagalan yang menghadang saya terutama sekali selalu dihadapkan pada sewa atau kontrakan-kontrakan yang tinggi. Saya hanyalah seorang sopir. Dari mana bisa menyediakan uang sebanyak tujuh puluh lima hingga seratus ribu sekaligus?

Sambil menyodorkan korek apinya perwira muda yang simpatik itu menanya lagi.

“Pukul berapa Bapak berangkat dari Yogya?”

“Kira-kira pukul dua siang.”

“Sendiri, atau dengan kenek?”

“Sendiri, sebab kenek sedang sakit.”

“Di mana mereka telah menyetop?”

“Di pertigaan jalan ke Jenar. Desanya Pendowo.”

“Berapa orang?”

“Empat. Suami istri yang kemudian saya kenal sebagai Peltu Sarju dan istrinya dan dua orang prajurit.”

“Sudah mulai hujan?”

“Baru mendung.”

Dia berhenti memberi kesempatan pada saya untuk merokok. Dan saya jadi terkesan tidak seperti orang yang sedang ditahan.

“Di mana mereka menempatkan diri?”

“Peltu Sarju berdua di depan bersama saya, dua prajurit lainnya di belakang, di antara kabin dan tangki.”

“Di mana mulai hujan?”

“Di Kutoarjo, kira-kira setengah jam kemudian.”

“Di mana hujan mereda?”

“Sampai dengan di sini hujan tidak pernah reda.”

“Apakah yang Bapak lakukan ketika hujan mulai turun?”

“Mengurangi kecepatan, untuk menghindari segala kemungkinan termasuk kedua prajurit di belakang.”

Ia berhenti lagi. Saya pun merebahkan punggung saya pada sandaran kursi sambil menyedot rokok yang tinggal setengah. Saya teringat kembali pada truk yang masih tertinggal di kompleks perminyakan, sebuah truk tangki yang telah banyak jasanya bagi hidup kami sekeluarga. Truk itu sudah tua. Chevrolet tahun 1948. Tetapi berkat rawatan saya sepuluh tahun belakangan ini ia tetap dalam kondisi yang segar bugar. Kekunoannya tidak hanya terletak pada tahun kelahirannya. Tapi juga model tangkinya yang sudah sangat ketinggalan zaman. Sopir-sopir yang biasa bertemu di daerah penyetoran D.O., senantiasa mengejek saya dengan menyebut truk saya sebagai tank Nizizumi. Kenapa? Lobang pengisiannya masih lebar, dengan handel di luar, tidak seperti model yang sekarang. Tetapi justru faktor inilah yang bisa menyenangkan bagi pengisi, karena dengan cepat ia bisa menyelesaikan pekerjaannya. Dan bagi saya pun soal “mulut” ini lebih baik lagi. Ketika di daerah Kroya mahal beras, saya isi perutnya dengan beberapa kuintal yang terbagi atas beberapa potong karung kecil yang dirangkapi dengan plastik agar tidak bau bensin. Hal ini berlangsung terus hingga harga beras jatuh.

“Di mana letak stir Bapak?”

“Di kanan.”

“Ada kaca spion?”

“Tentu.”

“Di mana diletak?”

“Di pintu sebelah kanan.”

“Apa yang bisa Bapak lihat lewat kaca?”

“Lewat spion, hanya kendaraan-kendaraan yang mau menyalip.”

“Apakah Bapak bisa melihat dua orang yang ada di belakang kabin?”

“Tentu tidak, sebab yang pertama hari hujan, dan kedua kaca spion di dalam tidak ada.”

“Kenapa sampai tidak ada?” tanyanya agak keras.

“Buat apa spion dalam? Toh yang akan nampak hanyalah tangki?”

Ia pun terdiam sesaat. Lalu, “Di mana Peltu Sarju turun?”

“Di Gombong, seperti yang dimintanya.”

“Masih hujan?”

“Masih, dan sangat lebat.”

“Yang dua lagi?”

“Mustinya juga di sini. Tapi tatkala Peltu Sarju turun, yang dua sudah tidak ada. Saya mengira, mereka telah melompat di batas kota ketika truk menikung dan jalan amat pelan.”

“Apakah tidak ada Bapak dengar apa-apa selama dalam perjalanan?”

“Hanya deru mesin tua itu, dan air hujan yang menggemuruh.”

Perwira itu berhenti lagi. Tetapi hati saya agak goyah. Saya telah menjawab yang tidak sebenarnya. Di tengah jalan, memang, saya ada mendengar sayup-sayup bunyi tengteng yang amat jauh, yang telah membawa asosiasi saya kepada anak-anak di rumah, ketika mereka memukul-mukul tempayan yang barusan saya beli. Tetapi waktu itu saya tidak menaruh perhatian sama sekali. Dan sekarang, apakah ini ada hubungannya dengan penahanan diri saya?

Jam tembok baru menunjuk angka sepuluh. Perwira itu tiba-tiba menyatakan bahwa pemeriksaan baru akan diteruskan besok, mengingat akan diri saya yang belum sama sekali istirahat, sejak keberangkatan dari Yogya siang harinya. Saya bersyukur dalam hati, telah mendapatkan perlakuan yang baik. Tetapi malam itu sama sekali saya tidak bisa tidur. Saya senantiasa diusik oleh pengalaman ngeri yang baru saja saya jumpai.

Sore itu saya telah jatuh pingsan, ketika saya melihat dua orang prajurit itu sekonyong-konyong tersembul dari dalam tangki, saat-saat bensin mendekati empat ribu liter. Dan ketika saya kembali tersadar, saya baru ingat bahwa bunyi tengteng yang sayup-sayup itu pastilah berasal dari mereka, yang telah memasuki tangki dengan maksud berteduh, dan tidak mungkin bisa membukanya lagi dari dalam!

* * *

>> Silakan tengok cerpen-cerpen favorit saya lainnya di tautan ini.

[BW]
#KasetHariIni

JajakMD_LisaGerrard

11 thoughts on “Cerpen Favorit: Hujan Terus Menderu

  1. wawan

    Mantap lagu dan cerpennya. Suara mbak Lisa keluar pas ketika Peltu dan istrinya muncul. Dan ganjilnya, lagu berakhir pas saat cerpen berakhir. Kebetulan? Biasanya sih tidak….

    Soal cerpennya, sangat thriller dan khas serial pendek Alfred Hitchcok (ingat episode saat seorang napi perempuan mencoba melarikan diri dg pura-pura mati dan minta dikubur?). Ada kengerian primal yg dieksploitasi: ruang sempit, minta tolong tp tdk didengar, “membunuh” tanpa sengaja.

    Sekadar inpo: ada satu cerpen panjang dlm sastra arab kontemporer yg mengandung tangki model 1948 dan orang mati di dalamnya dan berhuhubungan dengan cuaca. Ceritanya berjudul “Men in the Sun” karya sastrawan asal Palestina Ghassan Khanafani. Ceritanya tentang orang Syria dan Palestina yg pingin pergi cari penghidupan ke negeri minyak di kawasan Teluk (kalau nggak salah Kuwait). Karena kurang modal, mereka pun cari cara semurah-murahnya, dan nasib membawa mereka ketemu sopir tangki (merangkap penyelundup). Akhirnya, terjadilah racikan antara ruang sempit, membunuh tanpa sengaja, dan cuaca (bedanya karena menyeberang dari Syria, Irak, dan menuju Kuwait, cuacanya sumuk alias gerah alias panas).

    All in all, terima kasih hidangannya. Verdict: MANTAF.

    Reply
    1. Budi Warsito Post author

      Kebetulan yg bukan kebetulan? Aih klise ya Cak. Btw aku langsung googling serial pendek Hitchcock dan cerpen Palestina itu. Suwun lho ya infonya. Ckckckck, kengerian primal model begituan memang jenis kengerian yg paling ngeri. Inget dulu di TVRI pernah ada fragmen (ampun deh istilahnya, atau film akhir pekan? lupa), semacam drama lepas yg bercerita tentang rumah tua (atau penginapan, lupa) yg selalu ada suara seperti dinding yg digaruk-garuk pelan. Rupanya dulu pernah ada orang (selingkuhan atau bukan, lupa) yang bersembunyi di dalam lemari di dinding, lalu pintu lemari itu ditutup dengan adonan semen! Lagi-lagi eksploitasi ruang sempit, minta tolong yg tak didengar, dsb. Kalau tidak salah itu dari cerpen siapa gitu, lumayan beken kok, tapi lagi-lagi aku lupa, hehehe. Mungkin sampeyan malah inget?

      Reply
        1. Wawan

          Fragmen akhir pekan? Saya cuma ingat satu fragmen/sinetron/film lepas misteri yang bintang filmnya Ferry Fadli (itulah pertama kalinya saya lihat Ferry Fadli, saya kaget orangnya ternyata tidak seotoritatif suaranya :D). Dia jadi penjaga penginapan dan saya ingat satu adegan dia turun tangga ke ruang bawah tanah.

          Btw, kebetulan ini tadi ketemu dia sumber yg saya maksud:

          “Men in the Sun” by Ghassan Kanafani
          http://site.iugaza.edu.ps/rareer/files/2012/02/Men_in_the_Sun-1.pdf

          “The Final Hour” by Alfred Hitchcock
          http://youtu.be/XsEiYr_exI8

          Reply
          1. BW Post author

            Astaga, Ferry Fadli! Saya inget banget fragmen itu, judulnya Debil. Ada ruangan bawah tanah, tempat satu orang dikurung karena mukanya rusak akibat musibah kebakaran. Semua itu baru terungkap di adegan terakhir itu, dan kalimat pamungkasnya—berupa narasi voice over—masih terngiang-ngiang sampai sekarang di kuping saya, “…hingga dia menjadi… debil.” #closingtitle #seram

            Btw, suwun Cak Wawan, link-linknya. Ciamik soro! ๐Ÿ™‚

  2. Sari

    Salam,
    Sy kenal dg putra-putrinya Pak Jajak MD. Sy khilangn kontak sejak mereka pindah dr Klender ke Bekasi th 90 an. Ada yg bisa tlg sy ksh e-mail atau berita ttg P Jajak?
    Tks & wassalam.

    Reply

Leave a Reply to Adi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *