Buku Irama Saiful Bahri dijual seharga Rp 5.– ketika pertama kali diterbitkan, dan jilid kesatu itu diiklankan di sebuah majalah. Yang saya pegang ini jilid 4. Isinya not angka, iringan gitar, dan syair dari lagu-lagu ciptaan Saiful Bahri yang ada di film-film produksi paruh kedua dekade 1950an, seperti Tamu Agung, Delapan Pendjuru Angin (biasa disingkat “8PA” di masanya), mega box office Tiga Dara, dsb. Format buku ini buku saku, ukuran 15,7 x 12,3 cm. Sebagai gambaran, majalah mingguan Varia kala itu harga per edisinya Rp 2.50,– di tahun 1958 dan Rp 4.50,– di tahun 1960. Yang paling mencuri perhatian saya dari buku Irama Saiful Bahri Vol. 4 adalah lagu “Puspa Djelita”. Di situ disebutkan lagu itu ada di film Keradjaan Ibu, Kalau kita cek di buku Katalog Film Indonesia 1926-1995 (JB Kristanto, 1995), tidak ada judul film itu. Tidak tercatat di sebuah buku tentu bukan selalu berarti tidak ada. Tapi kalau kita periksa surat kabar atau majalah dari masa film itu dibuat (salah satu sumber terbaik untuk berita seputar perfilman nasional ketika itu adalah majalah Varia, dengan rubrik rutin “Dari Studio Ke Studio”), ada berita pendek berjudul “‘Keradjaan Ibu’: tjalon film-festival j.a.d.” yang menyebutkan produksi fim itu “dipimpin sendiri oleh Usmar Ismail dan sudah rampung l.k. 80% dengan opname.” (Varia, 2 Djuli 1958). Siapa saja aktor dan aktrisnya, tidak ada keterangan lebih lanjut. Saya tertarik dengan deskripsi “tjalon film-festival j.a.d.” di situ. Apa sebetulnya yang dimaksud dengan festival film yang akan datang itu? Di ujung artikel, Keradjaan Ibu disebut sebagai “sebuah film drama berat”. Artinya, film tersebut berbeda dengan film-film hiburan ringan—atau dalam istilah Usmar Ismail sendiri: “film pasaran”—dari Perfini sebelumnya, seperti Krisis (1953) umpamanya; atau Tiga Dara (1958), yang menurut “publicity-man” Perfini saat itu, Hamidy T. Djamil, per November 1958 masih terus diputar (“tetap membandjiri”) bioskop-bioskop dengan pendapatan kotor saat itu sudah “ada sedjumlah Rp 8.000.000,–” sementara ongkos produksinya “menelan beaja hanja 600.000 rupiah” (Varia, 5 Nopember 1958, hlm. 14). Lucunya, sepenelusuran saya, tidak ada kabar lebih lanjut soal film Keradjaan Ibu. (Redaktur Varia biasa memperbarui kabar perkembangan syuting film saat itu dari pekan ke pekan.) Yang ada malah berita-berita pendek disertai foto di beberapa edisi soal produksi Perfini berjudul Mahligai Ibu, dibintangi oleh kakak beradik Boy Iskak (ini debutnya) dan Indriati Iskak (ini film kedua dia setelah Tiga Dara), dan di Varia edisi 5 Nopember 1958 muncul materi promosi film itu berupa poster satu halaman penuh dengan judul sudah berganti menjadi Sengketa (Usmar Ismail, 1958). Kata-kata di poster, “Dalam waktu serba sukar ini Perfini mempersembahkan untuk Anda sebuah film jang memberi djawaban”. Jawaban atas pertanyaan apa ya? Di poster ada pula kalimat, “Aku telah tjoba mendirikan kasih dengan pasir.” Mendirikan kasih dengan pasir! Apakah itu semacam cinta yang lekas jadi pudar? Di beberapa edisi setelahnya, Varia memuat foto [sic] ,,Malam bintang Sengketa” di Jogja, di mana Indriati dan Boy menari ,,Calypso dance” di acara itu. Lalu ke mana gerangan perginya film Keradjaan Ibu? Apakah malih-rupa menjadi Mahligai Ibu, toh kata ‘keradjaan’ dan ‘mahligai’ rasanya masih nyambung-nyambung aja, lalu berakhir sebagai Sengketa? Di bukunya, JB Kristanto entah kenapa malah mencatat Sengketa sebagai film produksi tahun 1957 (hlm. 51). Di website-nya, filmindonesia.or.id, pada entry film Sengketa ada tambahan catatan yang tidak tercantum di buku cetakan 1995, yaitu [sic] “Judul semula: Mahligai Ibu.” Film Sengketa itu meraih unggulan di Asian Film Festival 1959 di Kuala Lumpur. Wah, ajang inikah yang dimaksud di artikel Varia tadi, “film-festival j.a.d.”? Karena saya sendiri belum pernah menonton film Sengketa itu saya tidak bisa memastikan apakah lagu “Puspa Djelita” betul-betul ada di situ. Saya amat-amati memang ada beberapa film dari era itu yang ketika proses syutingnya diliput awak majalah Varia masih memakai judul sementara, alias working title. Misalnya, film Tugas Daerah yang hasil akhirnya memakai judul Tiga Buronan (Nja’ Abbas Akup, 1957), atau Tjambuk Api (D. Djajakusuma, 1958) yang awalnya juga sempat berjudul lain. Tak jarang awak Varia memotret langsung adegan-adegan film saat pengambilan gambar di lokasi, dan foto adegan-adegan tersebut kemudian dimuat bersambung di majalah. Saya sempat keranjingan membanding-bandingkan: antara scene dari bidikan mata fotografer yang tercetak di majalah, dengan scene dari bidikan mata camera-person film aslinya (kalau film itu kemudian diunggah ke kanal streaming, kita bisa Play dan Pause berkali-kali). Menariknya lagi, lagu “Puspa Djelita” ciptaan Saiful Bahri tadi muncul di film komersial Usmar Ismail lainnya, Asrama Dara (1958), tepatnya pada adegan Chitra Dewi jalan berdua bareng Bambang Irawan di Kebun Raya Bogor. Tampak kabut tipis menerobos di sela-sela pepohonan rindang. Di adegan klasik yang belakangan saya lihat potongannya diunggah ke YouTube itu mereka bernyanyi bersahut-sahutan, secara lipsync tentunya, karena aslinya lagu-lagu itu direkam dengan dinyanyikan oleh penyanyi profesional, sebuah praktik standar di dunia produksi film ketika itu. Di salah satu lirik bagian Bambang Irawan ada yang begini bunyinya, “…duhai Puspa/ pagi mendjelang/ kau berlinang embun/ lena taman sunji…” Credit untuk musik di film Asrama Dara itu, yang infonya muncul di awal film bersama theme song-nya yang catchy banget, tertulis “Saiful Bahri dibantu oleh El Dolores Combo”. Itu band musik Latin anak-anak muda asal Bandung, yang kelak di-retool namanya menjadi Orkes Dasa Ria, lalu berubah lagi jadi Eka Djaja Combo, dan terakhir diganti menjadi Los Morenos.
Keradjaan Ibu
Leave a reply