Selain bahwa intronya jadi nggak begitu mirip lagi dengan lagu Mew “Am I Wry? No”, asyik juga cara Didi Kempot menerjemahkan ke bahasa Jawa lirik-lirik abstrak Ariel di lagu Peterpan favorit saya, “Ada Apa Denganmu”. Sepertinya Didi nggak berusaha akurat, dan jangan-jangan dia malah punya pertimbangan cermat tersendiri (hitungan presisi untuk tidak presisi?) saat mengganti repetisi kata “dan” yang sangat khas dari lagu itu, “dan aku sifatku/ dan aku khilafku/ dan aku cintaku/ dan aku rinduku…” menjadi bukan lagi “lan” (bahasa Jawa untuk “dan”) melainkan malah “nèng” (dari “ènèng”, variasi informal untuk “ana ing”, artinya kurang lebih “ada di”, tapi bisa juga “ada”), “nèng opo sifatku/ nèng opo khilafku/ nèng opo tresnaku…” Ekspresi “nèng opo” atau “nèngopo” (di sleeve kasetnya ditulis “nèng ngopo”) ini artinya… “ada apa”. Berarti Didi curi-curi start, sudah ber-Ada-Apa dulu sebelum masuk reff. Dia memilih menyimpan “lan” itu untuk diledakkan di akhir bait, “…LAN ROSO KANGENKU”. Menarik pula bagaimana Didi mengubah makna dari bait “yang tak terungkapkan/ mengapa KAU TAK BERUBAH” menjadi “nganti sepréné, nanging ènèng opo/ KOWE TRUS BEDO” (“sampai kini, namun mengapa/ kau lantas berubah”)—memang detailnya beda, bahkan mungkin berkebalikan, dari “kau tak berubah” di Ariel ke “kau (lantas) berubah”-nya Didi, tapi efek roso atau emosinya sama. Mungkin ini seperti Chairil Anwar di puisi “Karawang-Bekasi”, bagian “kami bicara padamu dalam hening di malam sepi” di situ mirip tapi beda (if you know what I mean) dengan kalimat Archibald Macleish “they have a silence that speaks for them at night”; sudah tak penting lagi kenapa “they” menjadi “kami” karena fokusnya lebih ke kesunyian itu sendiri. Ketika “and when the clock counts” menjadi “jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”, Chairil jelas sedang menulis puisinya sendiri. Demikian pula Didi. Bahkan mereka sama-sama menstabillo kesuwungan itu, “jika dada rasa hampa” oleh Chairil, dan “wengi sing sepi” (“malam yang sepi”) oleh Didi sebelum “opo kowe ngerti rasaning ati” (semacam “kamu tau gitu perasaanku?”) untuk syair Ariel “kutanya malam/ dapatkah kau lihatnya perbedaan”. Hmm, kenapa ya Ariel seneng banget bertanya? Di lagu Peterpan favorit saya lainnya, “Langit Tak Mendengar” dia juga bertanya “pada manusia/ tak ada jawabnya”, lalu lanjut bertanya “pada langit tua/ langit tak mendengar”. Tak bisakah kau menungguku? Hingga nanti tetap menunggu? Tiap kali dengar lagu “Ada Apa Denganmu” saya sering bertanya-tanya (halah melu-meluuu) apakah saat menulis lirik itu Ariel terpengaruh oleh lagu Nicky Astria dari tahun 1995, “Mengapa“? Selain banyak repetisi di lagu Nicky (berkali-kali Nicky bertanya “mengapa” dan bilang “tak ingin”), ada sesuatu yang sama-sama muncul di kedua lagu yaitu apa yang saya sebut dengan kekikukan puitis (saya belum menemukan istilah lain yang lebih tepat), terutama soal sufiks, akhiran. Bandingkan “dapatkah kau LIHATNYA perbedaan” di Ariel dengan “mengapa kau HANCURI/ mengapa kau MENGHINAKAN/ mengapa kau sakiti/ mengapa kau MELUKAKAN” di Nicky. Juga di bagian “tak ingin ‘ku DIAKHIRI/ bila kau MEMULAKAN.” Akhiran -nya, -i, -kan, di situ seperti agak-agak tidak pada tempatnya, rada méngslé, canggung tapi malah poetic. Semua seperti terbolak-balik di situ, ditukar-tukar, atau ini hanya perasaan dek Budi aja? Waduh, ada apa denganku? Lirik Ariel pun seperti diputar-putar, melompat-lompat di antara kata ganti orang pertama dan kata ganti orang kedua, “segala salahku”, “ungkapkan salahmu”. Bahkan orang ketiga: apakah akhiran “-nya” pada bait “kutanya malam/ dapatkah kau lihatnya perbedaan” itu adalah kata ganti “dia” untuk merujuk ke “si malam” yang sedang “si aku” tanyai, lha terus “kau” sebelumnya itu siapa dong? Kalau “-nya” itu memang pronomina persona untuk “dia”, kenapa setelahnya malah “(dia) perbedaan” dan bukan “(dia) berbeda”? Apakah ini memang modus operandi Ariel, dengan licentia poetica-nya, dapat meleburkan segala pronomina, yang tak terungkapkaan, dan kau tak berubaah… ada apaa denganmuuu? Atau, sesimpel (tentu ini cuma spekulasi) di draft awalnya Ariel menulis “kutanya malam/ dapatkah kau lihat perbedaannya?” (semacam “can you see the difference?”) lalu dia merasa lebih enak dibunyikan jika akhiran “-nya” ditukar posisinya alias dibalik aja deh, taruh di depan? Jangan-jangan dari situ juga konsep videoklipnya, adegannya terbolak-balik. Dan di atas itu semua, apakah kalimat Ariel “dapatkah kau lihatnya perbedaan” itu juga lahir dari lirik Nicky “dapat kau membuat pilihan”? Belakangan saya baru tahu dari sebuah tabloid yang saya baca puluhan tahun silam di warung Mbah Cip di Margoyudan, lagu Nicky itu ternyata ditulis oleh orang Malaysia. Saya ingat waktu itu saya langsung kroscek lewat warnet dekat SMA yang sering saya datangi, tapi hasilnya nihil alias belum ada informasi itu di internet, 1996-1997. Apakah sufiks yang tertukar dan poetically awkward itu efek biasa saja dari dialek Melayu mereka yang memang sedikit berbeda dari bahasa kita? Karena itu jugakah maka di bait “kalimat sakti yang mana untukmu” Nicky melafalkan “kalimat” sebagai “kalimah”? Sesuai kaidah tajwid ta’ marbutho? Lagu Nicky Astria “Mengapa” dirilis pertama kali 26 tahun lalu. Di masa-masa videoklipnya sering muncul di televisi, saya berkenalan dengan seseorang yang kok ya kebetulan sosoknya mirip si model perempuan di videoklip lagu itu. Mereka bahkan punya pakaian yang sama persis! Kami pernah harus ikut sebuah kegiatan wajib di sekolah, yang ditutup dengan seisi kelas tiba-tiba spontan menyanyikan lagu “Anoman Obong“. Semua jingkrak-jingkrak, mungkin lega karena acara melelahkan itu akhirnya selesai juga? Yours truly memilih jaim di depan si doski dan nggak ikut jingkrak-jingkrak. Saya lupa dia ikut yang mana, yang jelas saya berbisik ke seseorang di sebelah saya, “Iki lagune sing nggawe sopo?” Pencipta lagunya siapa? Dijawab, juga sambil berbisik, “Mbah Ranto.” Saya bertanya lagi, “Wah, bapake Mamik?” “Lho yo iyo Bud, bapake Didi Kempot juga.” Ya, ya, ya. Semua seperti berputar di situ-situ saja.
>> Peterpan – “Ada Apa Denganmu”
>> Didi Kempot – “Ono Opo“
Pingback: Bintang di Surga, Bintang Terang Peterpan - POP HARI INI