Apa yang bikin sebuah cover version menjadi sebuah cover version yang bagus? Jawaban malas paling praktis adalah: entahlah, seperti alam semesta, musik bekerja dengan cara misterius, nggak ketebak, bola itu bundar, tak terukur, dsb., dst. Sudah banyak teori atau artikel ditulis mengenai resep-resep agar cover version itu ‘berhasil’, seperti sebaiknya ada unsur “pemaknaan baru”, “harus terdengar sangat kamu”, “dengan tetap menghormati versi aslinya”, bla bla bla. Ribet. Salah satu deskripsi paling asyik tentang cover version, menurut saya, “ini ada band punk bawain lagu bebop bikinan band folk yg pengen ngerock”, ditujukan untuk lagu “Eight Miles High”-nya The Byrds versi Hüsker Dü! Interpretasi Devo atas lagu Setun “(I Can’t Get No) Satisfaction” juga sering dipakai jadi contoh. Jagger suka banget versi disco-punk ini, dia joget-joget saat pertama kali mendengarkan ketika pihak Devo datang menemui dia untuk minta izin, dan versi itu kemudian ada di album pertama Devo, Q: Are We Not Men? A: We Are Devo! (1978). Debut Devo ini nggak sempat masuk indonesia di jamannya; hanya tersebar beberapa single-nya di kaset-kaset kompilasi punk/new wave yang sedang marak saat itu. Baru di album ketiga, Freedom of Choice, dan album keempat, New Traditionalists, mulai muncul kaset bootlegnya via label Contessa, sekitar 1980-1981. Di era lisensi, kaset resmi mereka Hot Potatoes (The Best of) dirilis Aquarius Musikindo di sini, 1993, memuat lagu “Satisfeksyong” itu. Dua tahun kemudian, hal paling menghantui saya dari nonton film Casino (Scorsese, 1995) di bioskop Matahari Singosaren Plaza adalah harus menatap di layar besar, satu adegan wajah seorang naas, dalam keadaan masih hidup, dihancurkan pakai palu sampai lumat. Durasi film sialan itu nyaris 3 jam, mirip Heat (Mann, 1995) yang saya juga tonton hari-hari itu di Solo di bioskop yang sama, harga karcisnya Rp3.500. Memang ada Sharon Stone yang bikin ser-seran, tapi aneh rasanya melihat Joe Pesci si penjahat tolol di Home Alone tampil mendominasi di situ. (Seorang kawan berkomentar, “Joe Pesci selalu bisa mendominasci, tak terkecuali di filmnya paling anyar, The Irishman, arahan, lagi-lagi, Martin Scorsesci.” Haha, saya timpali, “Gila, semua film dia kempesci!”) Yang juga sangat membekas selain aksi palu brutal tadi adalah: adegan rumah diberondong habis-habisan dengan senapan mesin ramai-ramai, diiringi musik latar di mana Devo merepet tak henti-henti, “…baby baby baby baby…!” Lirik tambahan itu nggak muncul di cover version lainnya yang juga menarik perhatian saya, sebuah interpretasi santai dengan atmosfer yang sama sekali berbeda dari versi Devo tadi, yaitu oleh Tritons, band kurang terkenal dari Italia, 1973.
Satisfeksyong!
Leave a reply