Kepada Donald di Mana pun Berada 

Seseorang pernah menulis email ke saya beberapa tahun lalu, memperkenalkan dirinya dan mengaku masih muda, bahkan belum terlahir ke dunia fana ini ketika album Nevermind dirilis. Dia bercerita bagaimana dia mengenal dan menyukai Nirvana dari kaset-kaset lama peninggalan ayahnya, yang wafat setahun setelah dunia dikejutkan dengan kematian Kurt Cobain. Saya langsung bisa membayangkan rasa penasaran seorang bocah polos tentang satu band yang poster-posternya banyak tertempel di tembok kamar mendiang ayahnya. Beranjak remaja, sembunyi-sembunyi dia putar kaset-kaset itu memakai tape-deck yang teronggok lama di gudang. Diam-diam dia mulai menyukai apa yang dia dengar dan temui. Setelah googling dan mendapati ternyata mereka cukup penting di sejarah musik dunia, penelusuran lebih lanjut membawanya nyasar ke beberapa tulisan berbahasa Indonesia tentang Nirvana di salah satu blog saya. Dari situ dia memberanikan diri mengontak saya, yang tidak dia kenal sebelumnya, tapi dia yakini sedikit banyak mengerti apa yang digemari ayahnya yang keburu meninggal ketika dia, anak tunggalnya, masih bayi merah. Pertanyaan yang paling saya ingat dari email itu adalah, “Almarhum Papa kayaknya paling suka album Bleach deh Oom, karena kasetnya paling lecek. Berarti paling sering diputer, kan?” Kemudian dia ragu sendiri, “Tapi bisa juga ya Oom, leceknya cuma gara-gara itu album pertama Nirvana, keluar duluan jadi paling lecek dari album-album lainnya?” Doni, si anak muda itu, mengaku kerap membayangkan seperti apa masa muda si ayah saat membeli kaset-kaset dari band kesukaannya, mungkin dengan antusiasme meluap-luap di sebuah toko musik di Jakarta; tapi dia tidak berani bertanya lebih lanjut soal itu ke ibunya, karena apa-apa yang mengingatkan pada si mendiang suami hanya akan membuat ibunya sedih. Si anak mengenal sosok ayahnya dari foto-foto yang tak banyak tersimpan di album keluarga, dan dia berusaha melengkapi pencarian batin itu dengan menelusuri musik apa yang didengarkan sang ayah semasa hidupnya. Doni merasa upaya rekonstruksi itu banyak terbantu oleh blog saya, lewat tulisan-tulisan pendek di situ yang kebanyakan memang berbau nostalgia belaka. Saya masih ingat momen tengah malam itu; ketika tiba-tiba pengen buka komputer meski pagi hampir menjelang, mendapati email panjang Doni itu dan saya membacanya dengan mata sedikit menghangat. Saya langsung mengetik email balasan dengan menceritakan sebisa saya, apa saja yang saya ketahui soal industri kaset dalam negeri saat itu, paruh pertama dekade ‘90an. Itu ketika Nirvana mulai menjadi raksasa musik dunia dengan kuku menancap di mana-mana, termasuk Indonesia. Kaset Nevermind dirilis di sini tak lama setelah album itu mulai beredar di Amerika dan kemudian menyebar ke seantero bumi, pada sekitar 1991, meski saya sendiri pertama kali mendengar “Smells Like Teen Spirit” justru dari sebuah kaset kompilasi radio Belanda berbahasa Indonesia, sekitar awal 1992. Nevermind memang album kedua Nirvana, tapi itu adalah kaset pertama mereka yang muncul di pasaran resmi Indonesia. Album pertama, Bleach, di sononya sudah keluar dari tahun 1989; itu artinya penduduk Amerika sudah menyimak versi asli (bukan unplugged) “About A Girl”-nya Nirvana sejak dini, sementara di tahun yang sama pecinta musik Indonesia sedang berkutat dengan “Mariam Soto”-nya Jamal Mirdad. Kaset Bleach edisi lokal Indonesia baru dirilis setelah Nirvana makin menguasai tangga-tangga lagu pop dunia bahkan sampai menggusur singgasana Michael Jackson, ketika album Nevermind meledak gila-gilaan sekitar tahun 1992. Praktik semacam itu sebetulnya wajar-wajar saja di industri musik populer: mumpung barang lagi laku, keluarkan saja sekalian back issue-nya. Di email itu saya juga berjanji akan mengirim data-data penunjang yang lebih valid, yang bukan hanya bersumber dari ingatan semata. Karena satu dan lain hal, terutama gara-gara kamar saya masih mirip kapal pecah dengan arsip-arsip lama berserakan, janji itu belum bisa langsung terpenuhi. Dengan demikian, bahwa kaset Bleach di kamar papanya Doni itu lebih lecek ketimbang yang lainnya, boleh jadi karena memang itulah album Nirvana yang paling beliau sukai. Sayangnya kaset dan tape-deck bukan iPod yang bisa tahu persis seberapa sering musik diputar. Album Bleach memang bagus, pekat dan sangar. Di email saya selipkan sedikit trivia yang sering muncul kalau sesama penggemar saling berkorespondensi: Iggy Pop pernah dengan jitu meramalkan jika seseorang mampu bikin album dengan lagu-lagu seperti “About A Girl” maka dia bakal kaya raya! Juga bagaimana album debut itu nyaris dijuduli Too Many Humans tapi untunglah tidak. Saya hampir menambahkan bahwa jika memang betul Kurdt mengakhiri hidupnya sendiri, jangan-jangan itu pilihan sadar untuk menyikapi kondisi bumi yang sudah terlampau padat seperti kata kandidat judul album perdana itu. Saya urungkan karena menanggapi cerita orang yang sedang takzim mengenang kematian bapaknya dengan malah melempar dugaan soal kematian lainnya jelas bukan langkah yang bijak. Untuk sebuah email perkenalan, Doni sendiri sebetulnya bercerita cukup banyak tentang hal-hal yang terlalu pribadi, tapi saya kira-kira bisa mengerti. Misalnya, dia sempat kesal dengan nama depan asli pemberian orangtuanya, yaitu Donald. Benar-benar dengan akhiran huruf “d” dan dia musti berhati baja saat teman-teman sekelas di SD mengolok-olok namanya dengan lafal lokal “Donal”, dan tentu bisa langsung ditebak mau ke mana arah ledekannya: “Donal Bebek! Donal Bebek!” “Heh, Donal Bebek, mana nih Kwak-Kwik-Kwek?” “Eh, ada yang nyariin lu tuh…” Oya? Siapa? “Desi Bebek! Ha ha ha!” Bukan sekali dua kali dia hampir menjotos congor si pengejek tapi selalu ditahan-tahannya amarah itu, hanya karena dia tidak mau bikin lebih susah lagi ibunya. Begitu masuk SMP dia memperkenalkan diri ke lingkungan barunya selalu sebagai Doni, meski nama di daftar absensi kelas tetaplah dieja Donald. Rasanya bisa dimaklumi kenapa dia musti mengambil siasat semacam itu untuk situasi yang dia alami, yang terjadi di masa-masa ketika presiden Amerika Serikat bahkan masih belum yang sekarang ini. Dia baru bisa berdamai dengan nama aslinya setelah sesi-sesi mengunduh lagu dari forum file-sharing sering dia barengi baca-baca soal Nirvana di internet, bahkan membeli buku biografinya dari sebuah lapak online, dan dari situlah dia mendapati fakta sederhana bahwa nama lengkap pahlawan terbesar ayahnya itu adalah Kurt Donald Cobain. “Jangan-jangan aku ini dinamai dari nama tengahnya idola Papa ya Oom!” Lho, ya pasti dari situ, gimana sih, demikian batin saya waktu itu. Kamu harusnya bangga, jawab saya di email, dan saya rasa memang begitulah dia setelah itu. Saya merasa harus menuliskan cerita itu di sini, semata-mata karena janji lama saya kepada Doni mengenai info seputar kaset Bleach baru bisa saya tepati hari ini. Arsip majalah saya kini sudah jauh lebih rapi, beberapa mulai tersusun di folder-folder meski istri saya masih manyun dengan ribuan entry, bergunung-gunung majalah harus dia lihat sehari-hari di rak buku suaminya. Apakah dia menikahi pustakawan sok pengarsip atau sebetulnya cuma penimbun kertas tak berkesudahan, itu masih misteri. Yang jelas, saya berhasil menemukan kembali satu tulisan pendek yang pernah saya baca di masa remaja dulu; jawaban redaktur atas surat pembaca yang mendukung fakta bahwa di Indonesia kaset album pertama Nirvana memang baru dirilis setelah album keduanya beredar. Info itu termuat di majalah HAI, edisi 40/XVI, terbit 6 Oktober 1992. Berikut ini penggalannya:

T: HAI, kata temen saya, album Bleach-nya Nirvana yang baru dirilis itu adalah album lama mereka ya? Tolong dijelaskan dong HAI, dan kalo betul, apa udah ada album baru Nirvana? Thanks. Didieth, Jl. Garuda, Jakarta Pusat 

J: Apa kata temen kamu itu, betul banget. Bleach adalah debut album Nirvana yang dirilis tahun 1989 silam. Dan sukses yang diukir album berikutnya, Nevermind, membuat Bleach dirilis ulang. Serta diedarkan ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia…

Saya harap Doni tidak berkeberatan ceritanya dibagikan di sini. Seperti banyak kebetulan-kebetulan ajaib lainnya yang kerap bikin para penggemar merinding-rinding sendiri meskipun biasa saja bagi orang lain, majalah HAI lawas itu baru saya temukan kembali tadi pagi, yak betul, sehari menuju persis 25 tahun dari tanggal terbit edisi itu!

Donald, semoga kamu membaca tulisan ini.

Budrt :p

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *