Seingat saya lomba tujuhbelasan yang pernah saya ikuti sewaktu kecil di kampung dulu hanya dua cabang, balap karung dan gigit koin di semangka. Cabang paling populer, yakni lomba makan kerupuk, kurang menarik minat saya karena setelah mempertimbangkan banyak hal, terutama faktor kecepatan angin yang bertiup terlalu kencang di lapangan desa, rasa-rasanya akan sulit saya menangkan. Ada pula lomba lambat sepeda, ini juga saya hindari. Cabang bersepeda itu betul-betul absurd: di sepanjang track pendek, seringkali hanya seukuran lebar lapangan voli, barangsiapa pengendara yang paling lambat laju sepedanya maka dialah pemenangnya. Jelas dibutuhkan teknik bersepeda yang cukup advanced; sambil meminimalisir gerak roda supaya tak lekas beranjak maju, seseorang masih harus menjaga keseimbangan sepeda yang dia tunggangi—karena siapapun yang kakinya terjatuh menyentuh tanah akan otomatis gugur. Karena skill bersepeda saya sangat jauh dari mahir, maka di cabang balap karunglah saya menaruh harapan. Namun yang terjadi justru di luar dugaan. Seseorang bernama Budi, sayangnya itu bukan saya, melainkan adik kelas dua tahun di bawah saya, tiba-tiba memperkenalkan teknik baru (saat itu) yang entah dari mana dia dapat idenya. Alih-alih mengandalkan lompatan ala kangguru, yang seringkali malah menghasilkan gerakan-gerakan vertikal yang konyol tanpa ada kemajuan horizontal yang signifikan, Budi si adik kelas tadi malah melesakkan erat-erat kedua kakinya ke ujung-ujung bawah dari karung, lalu mengayunkannya sedemikian rupa sehingga gerakannya lebih mirip lari biasa tapi dalam bungkusan karung. Sepintas jadi mirip adegan film kartun. Taktik semacam itu jelas butuh perhitungan cermat, karena jika pilihan sudut keseimbangan dan momentumnya meleset sedikit saja dia bakal kesrimpet karungnya sendiri, sebelum jatuh menggelundung. Budi junior sukses melesat meninggalkan lawan-lawannya dan sontak atraksinya bikin penonton melongo, hujan tepuk tangan dan teriakan kagum pun langsung membahana. Sementara Budi senior bukannya melaju malah ikut melongo, apalagi di dua meter pertama dari garis start saya sudah keburu terjerembab. Hopeless. Untung masih ada cabang terakhir, lomba mencabut koin dari buah semangka, pakai gigi. Sebelum digantung dengan tali rafia di tiang gawang, buah bulat sempurna dengan kulit mulus yang sebetulnya sudah licin itu masih dibuat lebih licin lagi dengan diolesi oli sisa dari bengkel motor depan pasar yang dicampur bubuk arang, menjadi sejenis cairan hitam yang menjijikkan. Semangka-semangka tak bersalah itu kemudian disayat-sayat kulitnya di beberapa titik untuk menancapkan uang-uang logam berbagai posisi; mendatar, tegak, maupun miring. Harap diketahui, ini waktu kejadiannya adalah akhir dekade ’80an, jadi hanya ada koin Rp 100 dan Rp 50 yang dipakai, karena dua-duanya tipe uang logam yang tipis sekaligus berat. Sementara koin Rp 25 tidak bisa dipakai karena ukurannya terlalu kecil dan rasanya tidak lucu kalau ada peserta mati tersedak. Saya tidak tahu dari mana datangnya ruh-ruh predator purba saat itu menghinggapi saya, tapi di pertandingan brutal itu koin-koin naas itu berhasil saya gigiti dengan rakus lewat kombinasi kekuatan gigi dan pengaturan waktu yang cukup presisi, kapan harus monyong kapan harus mingkem, dan nyaris semua koin pun ludes dari semangka. Babak penyisihan dan semifinal berhasil saya lewati dengan gampang meski gigi-gigi malang ini langsung ngilu dan leher jadi pegal-pegal. Babak final hanya menyisakan satu lawan, dari RT sebelah, jadilah kami harus berduel satu lawan satu, demi mencari siapa yang lebih buas di antara kami berdua. Pertarungan penghabisan itu digelar di atas satu semangka saja. Semangka penentuan. Koin-koin telah ditancapkan, penonton mendekat merubung kami dengan muka-muka girang yang biasa ditemui di area sabung ayam. Sebelum bel tanda mulai dibunyikan, muka kami berdua sudah sama busuknya oleh cairan anyir itu, tapi semua tabir hitam itu tetap tidak bisa menutupi fakta keras bahwa gigi si finalis lawan saya ini, maaf, agak tonggos. Di ajang coverboy itu jelas nilai minus, tapi di perlombaan gigit menggigit seperti ini kekurangan semacam itu justru berpotensi jadi berkah. Anatomi unik giginya langsung membantu dia memperoleh dua cabutan koin dengan mudah. Brengsek. Ketika saya berhasil menyusul dengan dua poin juga, otak saya segera berputar cepat: rasanya tak mungkin saya beradu kencang dan banyak-banyakan dengan si makhluk pengerat ini. Saya hanya perlu unggul satu poin lagi dan setelah itu kacaukan saja konsentrasinya. Lewat gigitan gesit saya berhasil mencuri satu skor dan kedudukan sementara berubah menjadi 3-2 untuk saya, lalu mulailah saya bermain agak licik dengan pura-pura berusaha menambah poin padahal tujuan utama saya hanyalah membuat semangka itu terus bergoyang-goyang, terayun-ayun, supaya uang-uang logam itu selalu terantuk ke gigi lawan. Saya kasihan sekaligus senang, sambil membayangkan kilatan-kilatan api memercik tiap kali dua benda keras itu saling beradu. Tentu taktik itu saya mainkan dengan cantik, disamarkan lewat variasi-variasi gerakan yang membuat penonton kian bersorak karena pertandingan tampak berjalan lebih alot. Partai melelahkan itu akhirnya saya menangkan, saya menyeringai puas bak serigala terakhir di dunia, dan ibu saya langsung menyeret anaknya pulang. Di sumur belakang rumah, bapak berulang kali mengguyurkan air langsung dari ember timba, dan ibu sibuk mengoleskan sabun colek ke muka saya, menggosok-gosoknya dengan sabut kelapa. Saat itu saya merasa seperti pantat kuali tapi saya tetap menyeringai. Hingga hari ini saya tidak pernah bisa melupakan raut kesal lawan saya di partai final itu, bahkan dia menolak untuk bersalaman, terutama saat kami berdua harus naik ke atas panggung di malam pentas seni tujuhbelasan pada keesokan harinya. Di situ kami mendapat hadiah berupa buku tulis, tiga biji untuk saya dan dua biji untuk dia, gambar sampulnya Sylvester Stallone berpose di atas ring tinju sebagai Rocky Balboa. Saya masih ingat baju apa yang saya pakai di malam perayaan yang membanggakan itu, dan ketika difoto panitia di bawah lampu petromaks, saya menyeringai sambil mengepalkan tangan. Merdeka! Tiap kali 17 Agustus datang, saya selalu terkenang lomba-lomba pitulasan, alias tujuhbelasan, yang konyol dan ngangeni di kampung halaman puluhan tahun silam. Mungkin sambil menghibur diri, gini-gini saya dulu pernah berprestasi. Eh bentar, atau justru karena dulu berprestasi makanya sekarang saya gini-gini aja? Haha. Dirgahayu RI. Tetap sehat dan maju terus.
Pitulasan
Leave a reply