Samar-samar di ingatan saya, sekitar 30 tahun lalu di TVRI disiarkan secara langsung sebuah pertandingan sepakbola yang cukup aneh: lapangannya dipenuhi salju dan jalannya bola menjadi terseok-seok. Saya masih kelas 1 SD waktu itu, tapi kakak saya sudah duduk di bangku SMP dan dia suka banget sepakbola, jadilah adiknya ini sempat agak-agak ikut ketularan suka bola gitu deh, meski masih sebatas sebagai penonton saja. Ada satu nama yang cukup membekas dari pertandingan tersebut, yang terdengar asing sekaligus memukau, apalagi untuk ukuran kuping ndeso saya ketika itu: Rabah Madjer. Gagah betul kedengarannya. Rambutnya agak kriwul, tampangnya kayak baik dan dia berkebangsaan Algeria, alias Aljazair, satu negara yang hanya pernah saya lihat benderanya saja di balik sampul buku kumpulan atlas dunia. Pak Rabah berhasil mencetak gol penentuan yang membawa klub-nya, Porto dari Portugal, mengalahkan Peñarol dari Uruguay dan memenangkan Piala Toyota 1987. Para pemain yang berlaga harus berlari-lari mengejar bola seret di tengah cuaca buruk Tokyo, dan beberapa dari mereka tampak memakai sarung tangan, yang malah mengingatkan saya pada kakak-kakak paskibra di upacara bendera tiap hari Senin di sekolah. Yang membikin lebih dramatis dari partai final klub antarbenua itu barangkali fakta bahwa pesawat televisi di rumah kami di pedalaman Jateng saat itu masih belum berwarna; yakni TV National black & white 14-inch, sehingga warna salju pun menyaru dengan warna terang lainnya, dan apesnya, termasuk warna bola. (Dari internet saya kemudian tahu, bola sialan itu berwarna kuning!) Saya ingat kakak saya sampai harus beberapa kali beringsut dari tempat duduknya ke arah TV sambil memicingkan mata hanya supaya gambar pertandingannya bisa terlihat lebih jelas. Betul-betul siaran yang seru, melelahkan, sekaligus mendebarkan. Karena kebetulan nama-nama klub bola yang saya kenal waktu itu kebanyakan berawalan huruf P, seperti Perkesa Mataram, Persib Bandung, Pelita Jaya, Palu Putra, PSIS Semarang dan Pusri Palembang; dengan polosnya saya bertanya ke kakak, “Porto itu singkatan Persatuan Sepakbola Portugal ya Mas? Kalau Peñarol, Perserikatan Sepakbola Uruguay?” Ampun. Demi mengenang kembali scene-scene absurd dari pertandingan di televisi tua hitam putih itu, barusan saya mencari-cari rekaman videonya di YouTube. Ketemu. Ditonton ulang hampir tiga dekade setelahnya, bahkan dalam monitor berwarna dan hati riang gembira, tetap saja visual pertandingan ini terasa nggak enak; seperti menonton satu episode serial Twin Peaks dengan setting lapangan bola. Ah, serial itu.. dulu nontonnya juga di TVRI. Terima kasih TV jadul kami (kini sudah rusak) dan terima kasih internet (masih belum rusak).
_
Foto ilustrasi diambil dari internet: pasionfutbol (dot) com