#RecordStoreDay 2015

Beberapa hari belakangan ini saya harus berada di ibukota, jadi keriaan Record Store Day 2015 yang sempat saya datangi ya cuma RSD Jakarta. Dua hari berturut-turut menyambangi bazaar musik di gedung Bara Futsal Melawai yang berubah jadi sauna gratis dengan bonus asap rokok tak berkesudahan, saya berharap bisa konsentrasi digging, dan tentunya nggak bakalan bisa, gara-gara tempatnya pengap luar biasa. Saya berhasil keluar hidup-hidup dari situ dengan kaos basah penuh keringat dan badan seempuk bandeng presto khas Semarang, toh seneng-seneng aja saya bisa membelikan Rani kaset single NKOTB, melengkapi koleksi artis favoritnya. Sebetulnya Rani ikut ke venue juga, dia menyusul malam harinya, dan jeli menemukan double plat Grace Slick and the Great Society di salah satu lapak. Harus saya akui temuan dia itu langsung melibas semua plat belanjaan saya hari itu. Tapi rasa-rasanya tangkapan terbesar saya kemarin itu kok justru ada di kaset. Beberapa di antaranya sebenarnya saya sudah punya, tapi tetap saya beli lagi dan lagi, untuk keperluan arsip supaya musik bagus nggak lantas lenyap ditelan zaman. Berikut ini kaset-kaset temuan itu:

Sha’aban Yahya — Return to Jogja 
[Celestial Court, 1992]
Seorang kawan yang ikut menggelar lapak bareng temannya cukup yakin saya bakal suka (atau bahkan sudah tahu) album ini, dan menyarankan si teman untuk menawarkannya pada saya. Dia benar. Saya punya CD album ini—salah satu guilty pleasure saya atas musik new age, haha—tapi mendapati versi kasetnya sungguh berkah tak terduga. Di lapak Discogs, oleh seller-seller mancanegara kaset ini sempat dibandrol hingga hampir 30 euro, bahkan lebih. Saya beruntung hanya perlu membayar jauh lebih murah dari itu, nggak sampai sepersepuluhnya. Keluar dari venue saya beli es doger dan berfikir, jika suatu hari nanti saya musti banting setir ganti profesi misalnya, lalu kepikiran buka bisnis spa atau pijat refleksi, saya pastikan album sejuk amboi ini jadi soundtrack utamanya. Sebetulnya ini world music dalam takaran generiknya, pentatonis gamelan menyelinap asyik di belantara electronic, tamasya keliling dunia kembali ke Jogja, perjalanan fiksi si musisi Melayu Singapore ini seperti travelling without moving, even better karena hanya dengan rebahan dan mata terpejam, pegal-pegal di badan jadi ilang. Yeah, good massage + good music = good.

*

Kharisma Alam — Sketsa Seni Musik
[Purnama, 1978]
Ini berkah tak terduga lainnya. Saya masih menyimpan dua copies platnya yang kini harganya udah amit-amit (update: satu sudah terjual, hehe), tapi sepanjang sejarah saya memuaskan segala dahaga duniawi yang sesungguhnya fana ini, belum pernah sekalipun saya melihat versi kasetnya! Artwork sampulnya yang ikonik—bayi malaikat meniup seruling dinaungi pigura vintage Eropa—jadi lebih mencolok ketika ruang sekelilingnya dipersempit di sampul kaset. Sound progressive-pop (hmm, oxymoron) dengan dominasi synth yang mbosas di sana-sini, yang di piringan hitam terdengar megah jadi sedikit lain di pita kaset: lebih intim, lebih akrab, lebih nggak intimidatif. Track “Jiwa” yang banyak digilai para selector disko-gaul ibukota terasa lebih mendhem musiknya (sementara sahut-sahutan vokal cewek-cowok yang menghantui itu malah jadi lebih menonjol ke depan), dan dalam takaran yang aneh semua itu malah lebih efektif merobek-robek hati. Brengsek. Bonus digger soleh: album Kharisma Alam lainnya, Generasi Penerus/Waltz Kaum Petani, ya ampun ini lebih jarang lagi. (Kaset ini rilisan Naviri Records, yang juga merilis album perdana Mogi Darusman dan beberapa soundtrack film Rhoma Irama.) Sekarang saya harus mencari hari baik, weton yang tepat dan suasana hati yang pas buat mandi kembang dan khusyuk nglakoni, memutar maraton dua kaset ini selama tujuh hari tujuh malam.

*

Fantastic Sound Art Mahabharata: Wayang Krit,
a Virtuoso Shadow Play in Bali [Team, 1992]
Sebelumnya saya sudah punya kaset versi aslinya, produksi JVC Jepang 1987, yang body kasetnya dicat masif warna-warni. Tapi yang barusan saya temukan ini lebih menarik karena versi lokal Indonesia, terbit beberapa tahun setelahnya, rilisan Team Records di era lisensi. Berisi prologue, prelude, Mahabharata scene 1-7, epilogue, yang mungkin nggak perlu kita mengerti juga apa sebenarnya isi gumaman para virtuoso itu, sudahlah, nikmati saja rasa mencekamnya. Tipe kaset yang (kurang) cocok diputar saat sendirian di tengah malam, di mana rintik hujan meninju genteng dan lamat-lamat ada suara bayi ketika sebenarnya kita nggak punya bayi. Horor. Jika kelak di kemudian hari muncul band gothic atau black metal yang kepikiran mencampurkan musik kesukaannya dengan nada-nada mistis musik tradisional Pulau Dewata, sangat bisa dimengerti.

*

KEMEDJA POETIH
[Don’t Fade Away Records & Nanaba Records, single isi 2 lagu, rilisan khusus RSD 2015, limited to 100 copies dengan beberapa pilihan artwork]
Seseorang dari label bersangkutan tiba-tiba menjawil saya ketika saya lewat depan lapaknya, disodorkannya kaset ini, “Buat Mas Budi. Monggo dibawa aja Mas.” Saya sempet merasa nggak enak menerimanya begitu aja alias cuma-cuma, karena ini kan Record Store Day bukan Charity Shop Day. Tapi venue super gerah yang sudah berubah jadi neraka (dan masih diasapi pulak oleh para durjana!) rupanya bikin syaraf ramah-tamah saya mampet total, saya pun hanya bisa nyengir kuda sambil mengucapkan terima kasih. Di rumah saya pencet tombol PLAY, astaga, yang mencelat keluar dari speaker sungguh nggak disangka-sangka: band Medan ini punya nada-nada adem yang nggak berusaha terlalu keras untuk jadi sempurna, effortlessly cool dengan vokal pria merdu mengayun yang sesekali fals, yang justru membuatnya lebih manusiawi. Sudah lama saya nggak mendengar indie pop berbahasa Indonesia se-fluid ini, yang nggak harus centil tapi bisa sekaligus berwibawa, tanpa perlu jadi jaim. Kita bisa langsung menerka-nerka beberapa nama beken international indie pop (juga unit-unit indie ternama ibukota) pahlawan mereka, tapi ada hook-hook nancep dari Kemedja Poetih ini yang sangat-sangat Indonesia lama (terutama di liukan reff “…oh di manakah/ kau bersemayam// ribuan malam kucari/ tersesat ‘ku dalam sunyi…” pada lagu “Resah Menderu”) yang mengingatkan kuping saya pada rilisan-rilisan pop kreatif era akhir ’70an awal ’80an. Mungkin saya harus membeli semua versi artwork-nya, memutarnya bergantian terus menerus. Jika setelah ini mereka sanggup membikin album penuh yang mutunya sekelas dua single pemanasan ini, saya siap jadi pendengar pertama.

*

Kaset-kaset-RSD2015

Belakangan saya baru ngeh, semua kaset itu artwork-nya cenderung bernuansa putih. Pertanda apa ini…

 * * *

::: Posting terkait: Apa Album Pertama yang Kamu Beli? (Record Store Day 2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *