Piala Dunia pertama saya Mexico ‘86. Frase-frase kuncian seperti “Tim Dinamit Denmark”, “Gol Tangan Tuhan” dan “Si Boncel”, memang masih membekas di saya hingga sekarang meski ketika itu saya masih TK dan cuma ikut-ikutan kakak nonton bola (dia sudah kelas 5 SD dan memang termasuk jago bal-balan di kampung saya). Piala Dunia setelahnya, Italy ‘90, malah tidak banyak saya ingat selain maskotnya yang mirip bongkaran kubus Rubik itu termasuk yang paling keren menurut saya dari segi desain, dan sosok Baggio yang menarik perhatian saya bukan lantaran kuncir kudanya melainkan semata-mata karena namanya mirip pelawak favorit bapak saya, S. Bagio. Saya memasang poster Toto Schillaci (bonus dari sebuah tabloid olahraga) yang tak diduga-duga malah menjadi top scorer, di lemari samping meja belajar saya. Piala Dunia USA ‘94, piala dunia tergaring yang pernah saya ingat, menancap terus di ingatan justru karena hal lain. Ketika itu sebuah radio FM gaul anak muda di kawasan Solo Baru bikin acara kuis opini selama Piala Dunia berlangsung dan siapa pun boleh ikut via telepon. Tiap Rabu malam si penyiar akan melempar topik tertentu seputar Piala Dunia saat itu, misalnya “fenomena kuda hitam Bulgaria” dan selama satu jam ke depan line telepon bakal terus dibuka untuk para pendengar yang ingin berkomentar. (Saya lupa tema-tema opini lainnya, tapi saya ingat saya lumayan menguasai semuanya.) Saya masih SMP kelas 2 waktu itu, dengan suara sengaja diberat-beratkan supaya terdengar dewasa dan lebih meyakinkan, saya pun mengoceh panjang lebar di telepon yang disiarkan live on air saat itu juga, melontarkan ulasan-ulasan amatir-sok-pakar dan ajaibnya, beberapa kali kuis itu digelar saya selalu menang. Saya ingat saingan terberat saya waktu itu adalah seorang bapak-bapak komentator asal Delanggu, Klaten, yang analisisnya sebenarnya cukup filosofis khas Jawa dan trik itu malah saya curi untuk laga kuis berikutnya. Karena sikap-sikap bijak nan tuwir semacam itu jelas kurang menjual di dunia sports and entertainment, falsafah Ndlanggu tadi itu kemudian saya kombinasikan dengan analisis teknis di lapangan dan bumbu-bumbu humor seputar hal yang mungkin belakangan kerap disebut “pop culture” dengan punchline sok asik yang sedikit direm; sebuah taktik yang memang saya perhitungkan betul-betul supaya tidak terkesan trying too hard. Bakat ndobos saya itu rupanya memukau para pengambil keputusan di belakang meja siaran, jangan-jangan saya ini mereka sangka mahasiswa jurusan olahraga (?) dan sebagai hadiahnya diganjarlah saya dengan bingkisan-bingkisan dari sponsor yang sejujurnya cukup mengecewakan bagi seorang ABG usia 14 tahun berseragam putih biru pendek, yang harus kemringet naik angkot disambung bus kota sepulang sekolah demi bisa mengambil hadiah di stasiun radio tersebut. Terus terang saya sudah membayangkan sesuatu yang lebih dari ‘sekadar’ satu set setengah lusin gelas bertuliskan nama dealer motor, sebuah jam dinding buruk rupa dengan latar logo bank daerah, atau yang paling lumayan adalah diary bersampul mawar warna pink, dengan gembok kecil warna emas di sampingnya! Jam dinding itu memang berguna di ruang makan, gelasnya juga sering dipakai ibu untuk bikin teh anget tiap sore, mungkin untuk menghibur anak bungsunya yang kecewa, tapi saya ingat kekecewaan wagu khas akil balik itu kemudian saya tumpahkan habis-habisan di buku harian hasil kemenangan (atau kekalahan?) saya tadi itu, yang wangi kertasnya malah seperti meledek saya dan bikin saya lebih kecewa lagi. Ketika mudik Lebaran beberapa hari lalu saya melewati jalan di depan stasiun radio itu dan sempat mengambil gambarnya dari dalam taksi. Tower pemancarnya ternyata tidak sejangkung yang saya kira di ingatan saya, 24 tahun lalu. Sesampainya di rumah ibu, saya tercenung mendapati gelas dealer motor itu ternyata masih tersisa satu (“Liyane wis dha pecah, Le…”—yang lainnya sudah pecah semua), dan poster Hristo Stoichkov bergembira dalam ekspresi lari-mangap-abis-ngegolin rupanya masih terpasang di tembok kamar dari masa kecil saya. Kertasnya sudah menyedihkan, tua dan menguning, dan seperti banyak hal lainnya dalam hidup, pinggirannya sudah terkelupas sana-sini tapi dia masih ngotot menempel.
Biar Rada Gaya Kayak Orang-orang di Timeline
Leave a reply