Kelas Pak Remy

Ingatannya cadas luar biasa. Saya mencegatnya di pintu masuk sebelum kuliah dimulai, menyodorkan foto lama: dia berpose main gitar menghadap mikrofon, usianya baru 29, poster pin-up dari sampul belakang sebuah majalah lawas. “Wah, kau punya! Itu foto sudah lama sekali.” Sampul depannya belum juga saya tunjukkan tapi dia sudah tahu dan masih ingat, “Itu dari majalah MIDI.” Dia hanya meleset sedikit ketika menyebut tahun, harusnya 1974, bukan 1972. Kepada orang-orang yang rela menembus hujan sore itu khusus untuk datang ke kelas filsafat dimana dia bakal membawakan materi “Musik dan Moralitas”, Remy Sylado terlihat gembira menunjuk-nunjukkan majalah yang saya bawa, “Lihat, lihat.. ini saya waktu masih muda.” Kini usianya 71 tahun. Seorang pengajar lain berbisik ke saya, “Ganteng banget gitu waktu mudanya, gimana cewek nggak klepek-klepek?” Pertanyaan pribadi saya (saat masih di luar kelas) kepada Pak Remy masih sama dengan terakhir kali kami bertemu: benarkah ada piringan hitam lain selain album Orexas karena saya tak pernah sekalipun melihatnya, jawabnya tetap sama, “Semua album saya ada piringan hitamnya! Tapi saya juga tidak punya…” Lalu ada fakta baru yang menarik, saya dapatkan sore itu, “Sebenarnya ada satu album saya yang tidak jadi dicetak. Padahal sudah jadi semua materi lagunya. Batal rilis gara-gara cukongnya keburu pulang ke China.” Judulnya diambil dari novel Remy Sylado terbitan 1979, Dua Dunia Dua Surga, berkisah tentang percintaan anak muda berbeda keyakinan. Master album unreleased itu kini sudah hilang entah ke mana. Saya duduk manis di deretan kursi paling depan, sambil berkhayal-khayal bakal seperti apa jika the lost album itu nantinya ditemukan kembali dan akhirnya bisa dirilis, sementara dia memukau seisi kelas dengan dongeng panjang lebar soal titilaras Cina kuno dan slendro pelog, bagaimana Wali Songo memakai musik untuk syiar Islam di tanah Jawa (“Lir Ilir” misalnya, yang konon adalah perlambang syahadat dan sholat lima waktu), sejarah musik klasik hingga progresinya ke musik jazz dan kontemporer, betapa Leonardo da Vinci (!) ternyata berperan besar dalam mengenalkan musik opera, juga cerita soal sitar India pada lagu The Beatles, tafsir lukisan Michelangelo di langit-langit kapel Sistine, dsb, dst. Dia terus-terusan berceloteh tanpa pernah duduk sedetik pun, sambil berdendang dengan fasihnya lagu-lagu tradisional Batak, Minang, Sunda, Bugis, Makassar, bernyanyi rock ‘n roll, country & gospel, berjoget twist ala Chubby Checker, nge-rap (!!), mengomentari Bob Dylan diganjar Nobel (pastinya sambil bersemangat menyanyikan lagu-lagunya), hingga melempar anekdot bagaimana Bee Gees berusaha meniru langgam Jawa di salah satu lagu mereka. Tentu saja saya minta tandatangan dia di foto tersebut, dengan request khusus supaya nama saya ditulis juga di situ. Tak lupa supaya kekinian, kami pun berfoto selfie. Cheers!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *