James Brown dan Soto Betawi

Tadi pagi setelah mengantar si kecil ke sekolah dan mengurus ini itu di beberapa tempat, saya mampir ke pasar kaget di depan kampus lama saya. Dua puluh tahun yang lalu saya sering beli kaset-kaset bekas di situ, di pojokan sebelah lapak kaos kaki obral dan sabuk kulit imitasi. Sekarang lapak kasetnya sudah lama nggak ada. Saya tiba di situ tepat ketika si bapak penjual buku bekas sedang mengeluarkan barang dagangannya dari karung yang diikat tali rafia di jok motornya. Buku-buku itu dia lempar ke alas plastik di area lapaknya, beberapa meleset dan mendarat di tanah becek sisa hujan semalam. Di antara yang berlepotan lumpur itu ada Nine Stories, kumpulan cerpen J.D. Salinger yang saya suka, yang selalu saya beli lagi dan lagi tiap kali menemukan versi bekasnya. Untunglah buku itu terbungkus sampul plastik, dan harganya agak terlalu murah untuk cetakan lama awal dekade ‘60an. Di sela-sela judul lain yang kurang menggugah selera, saya melihat satu majalah Rolling Stone Indonesia yang sudah lecek kondisinya tapi saya ingat edisi itu memuat terjemahan artikel panjang Jonathan Lethem tentang James Brown—salah satu tulisan terbaik yang pernah saya baca di majalah itu selain obituari Paul Nelson di edisi lainnya. Buku resep tua membikin kue-kue juga kelihatan menarik. Setelah tawar-menawar selesai, saya tergoda menyambangi warung soto betawi yang dulu waktu saya kuliah saya sering makan di situ. Penjualnya seorang bapak ramah berlogat ngapak, menjadikannya one of a kind: orang Kebumen jualan soto Betawi di Bandung. Dia masih ingat saya. Dulu anak-anaknya masih kecil dan kadang diajak ke warung. Saya menanyakan kabar mereka dan ada nada bangga yang sulit disembunyikan di jawabannya, “Sekarang yang sulung sudah lulus kuliah, Mas!” Si bapak tampak masih gesit menyajikan pesanan. Saya menyeruput kuah soto dan mengunyah mendoan yang di mulut bertempur sengit dengan acar timun dan malah cabe yang nggak sengaja tergigit, uh, maknyoss! Melihat tukang parkir merapikan motor-motor yang berjajar di depan warung, saya jadi terkenang-kenang lagi satu kejadian dua dekade lalu, ketika warung ini masih berupa gerobak di pinggir jalan. Suatu hari, ada mobil VW Kodok parkir nggak jauh dari situ. Saya sudah mau duduk dan memesan menu biasa, tiba-tiba si bapak berteriak-teriak heboh sambil lari keluar warung. Rupanya dari kap mobil tua itu keluar asap dan apinya mulai membesar! Saya tercekat beberapa saat tanpa bisa berbuat apa-apa, sampai satu cipratan kecil ke muka menyadarkan saya: si bapak itu mengguyur kap mobil pakai air di ember cuciannya! Ada garpu ikut melayang dari ember, bercampur sisa-sisa kuah, bilasan air sabun, dan asap tebal dari api yang mendadak padam. Segalanya bergerak lambat di benak saya dan kombinasi baunya seperti masih menempel hingga sekarang. Sampai suapan terakhir tadi pagi saya masih senyum-senyum sendiri mengingat itu semua. Tanpa saya sadari sudah ada pengamen berdiri di depan saya, menyanyi “Stand by Me”-nya Oasis. Haha, bahkan lagunya pun dari masa-masa itu! “What’s the matter with you?/ Sing me something new...” Exactly.

2 thoughts on “James Brown dan Soto Betawi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *