Berhubung hari ini tanggalnya istimewa, yakni 21-02-2012, dan itu angka palindrome yang tidak akan terulang lagi tahun depan, maka saya repost di sini satu tulisan iseng blog lama saya soal itu. Cekidot.
>> Senin, 4 April, 2005
::: palindrome!
Ini berawal dari Badu yang mampir ke blogombal Mas Kere Sukemplu, dan suatu saat mendapati dirinya adalah pengunjung ke-39493. “Aah, palindrome,” batin saya waktu itu. Yeah, Badu mengangguk, seolah bisa membaca pikiran saya. Lalu semacam flashback: saya ingat masa kanak, ketika seorang Budi kecil tercenung membaca merk sabun colek OMO, yang dibeli Ibu dari warung sebelah. “Bu, lihat merk itu! Kalau dibaca dari belakang pun tetap ‘OMO‘! Hebat ya?” Ibu diam saja, tapi tetap tersenyum—mungkin sambil membatin, “Hebatnya opo to, Le? Wong cuma gitu aja kok.” Juga ingatan ketika saya dan teman-teman ramai-ramai membaca komik lokal murahan dengan antusias di sekolah (kelas 2 SD Inpres di sebuah kota kecil), dan mendapati halaman terakhir sambil mendesah kecewa, “Yaah, kok udah tamat sih?” Tapi saya melihat sesuatu, dan berteriak semangat, “Hey, kata ‘TAMAT‘ kalau dibaca terbalik dari belakang tetap saja terbaca ‘TAMAT‘! Hebaaat!!”—dan tak ada satu pun teman yang mendukung ketertarikan saya itu. “Biasa aja, ah!” demikian selalu kata mereka, sambil berhamburan keluar begitu lonceng tanda pulang berbunyi.
Baiklah, baiklah. Tak ada yang peduli. Tapi saya peduli. Sepulang dari sekolah, saya bisa menghabiskan waktu sesorean (kadang sampai malam) hanya untuk menemukan “susunan kata atau kalimat yang jika dieja dari belakang tetap terbaca sama”. Tentu saja kala itu saya belum tahu namanya palindrome. Mulai dari yang sangat sederhana: bunyi kentut (‘Tuut‘), sifat orang yang kata Ibu kurang bagus (‘iri‘ dan ‘sinis‘), sampai merk permen kesukaan yang lengket di gigi (‘Sugus‘). Juga nama-nama orang: tetangga depan rumah saya persis, namanya Anna; dan di gang sebelah ada yang namanya Totot. Begitu naik ke kelas 3, saya mulai mendapat mata pelajaran IPS alias Ilmu Pengetahuan Sosial (ehm, dari situ saya baru tahu bahwa di Indonesia ini ada suku lain selain Jawa), dan yeah, saya menemukan nama Nababan!
Saya ingat betul, hobi baru itu bikin saya lupa waktu. Lupa belajar, lupa bikin PR (terutama Tugas Prakarya, yang memang saya benci setengah mati karena susahnya suka keterlaluan!). Lupa main kasti bareng teman sekompleks. Lupa mengaji. Pokoknya lupa segalanya. Sampai-sampai Ibu mengingatkan, “Makan dulu, Le…” Jawaban saya malah, “Hmm, ‘makan’? Nggak, Bu! Itu nggak bisa! Kalo ‘makam‘… nah, itu baru bisa!” Saya tidak tahu apakah sejak saat itu Ibu mulai khawatir saya tidak akan naik kelas.
Kelas 4 SD (haa, berarti saya naik!), saya menemukan frase “kasur rusak“. Saya senang sekali, karena bisa menemukan susunan lebih dari 1 kata. Kelas 5 SD, Maya, teman sekelas yang paling cantik, merayakan ulang tahun ke-10. Saya memberanikan diri memberinya kado berupa celengan ayam dari tanah liat. Bukan karena pengen mengajak dia untuk ikut Gerakan Nasional Gemar Menabung, melainkan supaya saya bisa melampirkan kartu ucapan bertuliskan “Maya, ini ayam.” plus gambar panah terbalik dan tulisan NB: ‘Coba kamu baca dari belakang’. Saya bangga bukan main atas kejeniusan saya itu, meski Maya ternyata malah bersikap biasa saja.
Kelas 1 SMP, saya menemukan susunan 4 kata, “Ira hamil lima hari“. Ini mulai keterlaluan. Ketika saya tunjukkan ke Ira, yang pintar dan juara umum, yang saya dapatkan malah muka cemberut. Mungkin dia pikir saya ini siswa bodoh yang aneh, nakal, tak pantas belajar satu sekolah dengannya. Kelas 3 SMP, ketika kebiasaan melamun saya makin menjadi-jadi, bersama imaginary friend saya, seorang bajak laut bernama Sersan Jab (figurnya mirip Kapten Hook, tapi kait besinya bukan di tangan, melainkan di kaki; sedangkan saya sendiri adalah Sinbud si Pelaut), kami berlayar ke Negeri Dongeng, bertualang melawan monster laut yang ganas demi mencari harta karun, menggunakan kapal rakit istimewa. Istimewa? Ya, karena ini “rakit idaman, ada nama di tikar“. Yeah!
Itu kenangan masa kecil. Saya kemudian tahu, bahwa memang ada fenomena kata seperti itu. Ya itu tadi, namanya palindrome. Di bahasa Inggris saya menemukan ruang gerak yang lebih bebas, dengan peluang jauh lebih besar. Saya sering terheran-heran dengan keisengan orang-orang Barat ini (keisengan yang jenius, atau kejeniusan yang iseng?). Para pekerja film di Hollywood sudah menemukan palindrome kata-kata kesal seperti (silakan cek, baca dari belakang!), “Dammit, I’m mad!“, atau “Here so long? No loser, eh?” Lalu jawaban ngawur dari pihak manajemen artisnya, “No, Mel Gibson is a casino’s big lemon.” Ada juga palindrome di kancah politik internasional, “Star comedy by Democrats“. Atau SMS dari Kompleks Neraka Blok 7 a.k.a. Jahanam, “Devil Natasha, ah, Satan lived!” Atau cewek-cewek seksi nan polos yang beraksi eksibisionis, menatap sayu ke kamera sambil mendesah, “Oh, cameras are macho…” (Haha, bisa-bisanya Mas Garing Subasi menyebutnya sebagai genre film religius! Kalo yang ini religius nggak Mas, “A Santa lived as a devil at NASA“?)
Yang paling gila, mungkin adalah karya George Perec (1936-1982), berjudul “ça ne va pas sans dire”, yang disebut-sebut sebagai salah satu palindrome terpanjang di masanya yang pernah ditulis manusia, terdiri dari sekitar 5.000 kata! Astaga, LIMA RIBU KATA! Sinting! Tapi dia memang tergabung di Oulipo (Ouvrier de Littérature Potentielle, atau Workshop of Potential Literature), sebuah komunitas penulis-penulis “sinting” di Paris. Ini semacam laboratorium struktur literer yang menghidupkan bentuk-bentuk sastra lama dan mencari bentuk-bentuk sastra baru yang yang tumbuh dari sejumlah algoritma. Karya-karya mereka unik, ganjil, ajaib. Salah satu anggotanya yang terkenal adalah Italo Calvino (1923-1985), yang selalu Badu yakini sebagai alien.
Udah ah, saya pamit dulu. Yo wis, si woy!
Don’t nod.
(yeah, palindrome sampai akhir!)
Bandung, 2005
* * *
Gambar ilustrasi dicomot dari buku Jon Agee, Palindromania. Buku-buku fiksi dan nonfiksi karya Georges Perec dan Italo Calvino ada banyak di perpustakaan Kineruku.
Yay!
satan oscillate my metallic sonatas
tai, niat!
O Genie, der Herr! Ehre dein Ego!
*maksa*
Wow n wow n woW
hadeuh, komentarnya nggak harus palindrome semua lho. baiklah, hanya satu kata utk kalian semua: NUHUN! *nggak mau kalah*
Ampuuuun, Mas Budi, jenius pisan. Dea nggak kepikiran bikin ginian. Butuh diraut otaknya biar lebih tajem …. hehehe …
Tapi seru. Dea penasaran. Mulai sekarang Dea coba latian palindrome di keidupan sehari-hari =D
palindrom digabung ama ambigram ada ga mas bud?
Ada, Subki. Googling aja. Yang paling simpel: Oto, dengan ‘t’ ditulis seperti ‘+’ (tanda plus). 😀
Alhamdulillah nemu, MasBud! Ini saya ga berhenti ketawa2 sampe muka merah (saking senengnya): “Subki antar aparat naik bus.”
hahaha ini keren banget ara! subki harus baca ini nih! harus!
hahaha brilliant..! Saya juga nemu Ra!
“Ara” dibalik Ara…
(-___-)
Halah… < tuh palindrome lg..
Ada masBud..!! Ambigram+Palindrome+sedikit Typography
“HEAVEN”
Hahaha.. Baca ini jadi inget Ais yg nandain setiap nomer urut di Bugos yg palindrome. Klo saya sih nyerah deh mikirin palindrome. Penikmat aja. Yg ketawa-ketawa kalau Mas Budi atau orang lain nemu palindrome baru. Hahahah.. *eh ketawa saya palindrome jg lho*
yeay Ais! ada si Aya ey
*heheheh*
yg paling Subki inget keisengan mas Bud.. waktu nonton DVD di Ruang Santai.. tiba2 di-pause sama mas Bud, “coba kalian lihat baik2..” kita semua gak ada yg nemu apaan yg dipause.. ternyataaa… waktu di display DVD menunjukkan: 12:34:56
hadeuhh…
ya ampun saya sendiri malah udah nggak inget! keisengan masa muda 😀
Lhoh? Bukunya si Perec ada juga?
Ntar kalo ke Bdg saya paranin Kineruku-nya.
Sip halo lah!! Pis!
Buku Perec ada beberapa di Kineruku. Monggo mampir kalau ke Bandung ya. Nuhun!
(((nuhun)))