Yang Aktual dan yang Aktuil

Esai pengantar untuk buku Galeri Seni Rupa Pop: Arsip Galeri Pop Art/Galeri Aktuil/Puisi-Puisi Awam Majalah Aktuil (1975–1977) oleh Sanento Yuliman & Jim Supangkat, Jakarta: Penerbit Gang Kabel, 2021.
_______

Yang Aktual dan yang Aktuil
Budi Warsito

“…’ku mau pergi, ‘ku mau tinggal, terserah semau gue, jangan perintah, jangan mengatur, terserah semau gue…”
—lagu “Semau Gue”, Ernie Djohan diiringi band Electrica (1968)1

Di satu edisi majalah Aktuil pada 1969 ada surat pembaca dari Yogyakarta yang mengeluh begini, [sic] “Dalam Rubrik2 beritanja, ternjata Aktuil banjak memuat hal2 berupa kibulan, misalnja ‘Tahukah Anda?’” Si penulis surat berharap hal semacam itu bisa dihindarkan, diganti dengan berita-berita yang nyata, “Menilik namanja, AKTUIL, maka sejogjanjalah menjuguhkan hal2 jang NJATA […] agar masjarakat benar2 bisa mengenjam untuk menambah pengetahuannja.”2 Keluhan itu menarik sekaligus menggelikan, karena rubrik yang dimaksud, “Tahukah Anda Bahwa…”, sejatinya adalah rubrik yang kalau kita perhatikan baik-baik, isinya memang gabungan fakta dan “othak-athik gathuk” kiriman dari pembaca. Apakah itu tidak disadari oleh si pengirim surat sehingga dia merasa dikibuli?

Berikut ini beberapa contoh dari edisi-edisi sebelumnya, yang mungkin sempat terbaca oleh si penulis surat sebelum melayangkan uneg-uneg ke meja redaksi di Jalan Lengkong Kecil, Bandung. “DJANGO di Indonesia punja pengikut jang terdiri dari artis2 seperti LILIS SURJANI, ROSA LESMANA dan JANTI BERSAUDARA…” (Aktuil 29, 1969). Itu fakta, film Django (1966) yang populer dengan theme song­ bikinan Luis Bacalov memang memunculkan banyak tiruan dan variasinya di khazanah musik pop Indonesia, seperti lagu “Django” oleh Lilis Surjani (dinyanyikan dalam bahasa Italia) dan “Sang Django” oleh Janti Bersaudara (lirik bahasa Indonesia, diubah-ubah semaunya). Piringan hitamnya pun beredar di pasaran.

Kalau ini jelas bukan fakta, masih dari edisi yang sama, “THE DOORS anggauta2nja ialah tukang2 KAJU jang suka bikin PINTU…” Atau ini, “Kabarnja MUS MUALIM, MUS. D.S., MUS MULJADI, MUSKAWIRYA, dan MUSLIHAT akan bikin group PANTJA MUS…” (Aktuil 17, 1968). Apalagi ini, “Kalau penari GATOTKATJA GANDRUNG sudah kena wabah mode BEATLES, maka tariannja akan mendjadi tarian GATOTKATJA GONDRONG…” (Aktuil 26, 1969). Dalam satu edisi, rubrik ini biasanya memuat beberapa materi, kiriman dari beberapa pembaca sekaligus. Nama-nama pengirim dicantumkan di akhir kolom. Pernah di satu edisi, barangkali mempertimbangkan surat pembaca tadi, istilah “pengirim” diganti menjadi “pengibul”.

Membaca-baca kembali edisi-edisi awal majalah Aktuil, dibutuhkan tidak hanya mata yang sabar (gebyar huruf kapital pada beberapa contoh tadi memang aslinya begitu), tapi juga sensibilitas tertentu untuk bisa membedakan mana yang betulan dan mana yang banyolan. Isinya benar-benar random, “semau gue”, gado-gado. Saat menyebutkan nama-nama musisi atau band, judul lagu dan film, mereka cuek mengobral huruf kapital di sekujur kata atau frasa. Agaknya nama dan judul-judul itulah yang terpenting bagi mereka, di atas segalanya. Mesin tik redaksi dan teknologi percetakan mereka ketika itu—Aktuil terbit pertama kali di Bandung, Juni 1967—sebetulnya sudah mampu memunculkan huruf miring (italic) di halaman majalah, tapi mereka tidak banyak memakainya. Porsi huruf kapital sampai turah-turah di rubrik “Tahukah Anda Bahwa…” barangkali karena konsepnya memang himpunan anekdot, di mana hampir semua nama tokoh yang disebutkan adalah punchline, jadi apa boleh buat, mesti ditegas-tegaskan. Perlu diingat, Aktuil awalnya pasang slogan “chusus memuat: lagu, humor, film”. Di beberapa nomor permulaan, misalnya Aktuil edisi 4 (1967) yang memajang foto Titiek Puspa, bahkan tercetak frasa “musik—film—humor” di sampul depan.

Di semesta humor, kerja banyolan adalah membengkokkan yang lurus, atau lebih jauh lagi, mendorongnya ke situasi ganjil yang tidak terduga, terlepas dari kemungkinan bakal selembek apa daya kejutnya. Beberapa pembaca yang mendapati rubrik “Tahukah Anda Bahwa” itu seru dan kocak mungkin ikut antusias menyumbang otak-atik mereka ke meja redaksi. Boleh jadi mereka geli membayangkan Jim Morrison dan Ray Manzarek menyerut kayu jati untuk dijadikan kusen rumah, atau ngakak karena Gatotkaca yang otot kawat tulang besi harus terbang terbirit-birit menghindari “razzia rambut gondrong”3 sembari berdendang “I saw her standing there…” Keganjilan semacam itu adalah formula klasik gelak tawa, efek humor yang oleh Kant disebut sebagai terhempasnya ekspektasi menjadi nothing.4 Upaya memancing tawa itu berpotensi lembek jika sebagian dari sidang pembaca ternyata ada pengharapan lain, semisal “masjarakat benar2 bisa mengenjam untuk menambah pengetahuannja” tadi itu. Pengetahuan apa? Bahwa The Doors ternyata bukan Carpenters, dan betapa band Kwintet Mus bukanlah “hal2 jang njata” adanya?

Aktuil jelas punya selera humornya sendiri. Jika majalah lain merancang lomba menulis caption lucu-lucuan untuk sebuah gambar dengan mengajak para pembaca mengirimkan teks terbaiknya, seperti “Sajembara Lelutjon” di majalah Tjermin edisi Agustus 1956 misalnya, Aktuil malah menamai salah satu halaman karikatur mereka: “Terlalu Lutju Untuk Diberi Teks”. Rubrik “Tahukah Anda Bahwa” mereka pun berbeda dengan rubrik sejenis di majalah lain. Diskorina, majalah musik dari Yogyakarta, dalam satu edisinya pada 1965, di rubrik yang juga bernama “Tahukah Anda Bahwa” memuat kiriman pembaca dari Purwokerto tentang lagu “Surat Undangan” ciptaan Jules Fioole. Dicetak tanpa gebyar huruf kapital, isi paragraf itu memang betul-betul fakta.5 Bukan kebetulan majalah Aktuil lahir di Bandung dari ketidakpuasan seorang kontributor Diskorina bernama Denny Sabri (kelahiran 1945), yang lantas keidean untuk bikin majalah sendiri. Dia mengajak Bob Avianto, penulis lepas soal perfilman (yang pertama kali mengusulkan nama “Aktuil”, terilhami dari majalah Actueel dari Belanda yang beredar di bursa buku Cikapundung), dan Toto Rahardjo (kelahiran 1942) dari kelompok tari Viatikara yang kemudian menjadi pemimpin umum Aktuil.

Atmosfer menggelitik di semesta awal Aktuil juga terasa di rubrik ganjil lainnya, “Mari Kita Tanja Computer”. Formatnya tanya-jawab, antara manusia (redaksi ataupun pembaca) dengan… Mr. Computer. Pertanyaannya bisa apa pun, pokoknya: manusia bertanya, komputer menjawab. Contoh terbaik muncul pada 1969, “Bagaimanakah bajangan Mr. Computer mengenai keadaan madjalah AKTUIL kita pada tahun 2222 jang akan datang?”6 Jawabannya dua halaman penuh, berisi poin-poin yang bikin nyengir dan bikin mikir. Poin pertama bolehlah diabaikan (“Pertama2 kita bitjarakan soal gedung kantor Aktuilnja”, “mendjadi gedung bertingkat duapuluh dua ke atas dan ke bawah”, “landasan pesawat terbang pribadi”, bla bla bla), tapi poin kedua, nah ini dia, sebuah fantasi tentang perlengkapan kantor yang “serba ultra otomatis modern”, dilengkapi “mesin computer berbagai djenis” dan “pesawat TV antar benua”, yang semuanya mampu “menangkap langsung siaran2 musik luar negeri dan luar dunia untuk mencheck kebenaran berita2 jang paling Aktuil.”

Saya tidak yakin para redaktur di Lengkong Kecil waktu itu sudah mendengar ramalan Arthur C. Clarke, penulis sci-fi dari Inggris, di serial televisi BBC Horizon, 1964: bahwa kelak di masa depan, akan ada teknologi yang memungkinkan manusia mengontak manusia lainnya di mana pun berada, “anywhere on earth, even if we don’t know their actual physical location”, dan betapa “It will be possible in that age, possibly 50 years from now, for a man to conduct his business from Tahiti or Bali just as well as he could from London.”7 Arthur C. Clarke telah meramalkan internet pada 1964, dan lima tahun kemudian Aktuil sudah membayangkan Siri, Google, dan YouTube! Tak lupa terselip pula humor khas mereka di poin jawaban Mr. Computer berikutnya, untuk mempertahankan “kekompakan bekerdja, rasa persaudaraan dan kesetiawakawan jang lebih erat” maka di tahun 2222 itu susunan redaktur Aktuil tidak akan berubah, sehingga “AKTUIL ADALAH SATU2NJA MADJALAH MUSIK DI DUNIA jang diusahakan dan diasuh oleh KAKEK2 berumur ratusan.”

Di nomor lain, pertanyaannya, “Andaikata jang terpilih mendjadi Miss Indonesia adalah patjar saja, bagaimana keadaan kami?”8 Mr. Computer menjawab dengan tiga belas poin, salah satunya: “…ke mana anda pergi pasti akan terdengar bisikan jang mengatakan ,,..Eh si B itu patjarnja Miss Indonesia, kok enggak sepadan, ja..”, hal ini terdjadi bila tampang anda kurang ganteng…” Di bawahnya ada gambar karikatur seorang putri berkacamata gaul, duduk bersimpuh dengan selempang kontes “MISS INDONESIA”, dan di sebelahnya: seorang manusia purba, menyeringai dengan selempang “MISS INGLINK”. Gambar itu bikinan Gondewa Double Six, nama pena dari Deddy Suardi (kelahiran 1941), redaktur Aktuil yang menangani desain dan tata letak sejak awal terbit, sekaligus pencipta logo pertama majalah itu. Seorang pembaca di Pekalongan bertanya, “Apakah jang terdjadi seandainja salah seorang seniwati dari Indonesia kawin dengan Jimi Hendrix?”

Meski kebanyakan berbau fantasi, imajinatif, campur-aduk Barat dan Timur, terkesan iseng dan kental aroma nothingness, rubrik ini juga dipakai redaktur untuk mengomentari hal-hal “aktual” saat itu, seperti pendaratan manusia ke bulan, fenomena ‘gongli’ alias bagong lieur di Jalan Tamblong, atau apa efeknya jika razia pengguntingan rambut gondrong dilakukan terus-menerus. Di satu edisi pada 1968, pertanyaannya menatap ke Amerika: seandainya mayoritas rakyat di sana “kedjangkitan epidemi Hippies”, apa yang akan terjadi? Mr. Computer menjawab, “Lagu kebangsaan mereka jang lama akan diganti dengan lagu “SAN FRANCISCO” tjiptaan Scott McKenzie.” Hari-hari itu hippie culture memang melanda Amerika sepanjang dekade ’60-an, dirayakan antara lain di Monterey Pop Festival 1967—lagu McKenzie dirilis untuk hajatan itu—dan tentu saja, Woodstock 1969. Artikel berjudul “The Hippies” oleh Sonny Suriaatmadja (redaktur kelahiran 1940) muncul di Aktuil, “Orang2 Hippies sangat anti jang bersifat resmi2an (formil) serta menjangsikan kemampuan tjara pemikiran lama”.9 Spirit kebebasan sedang menguar ke mana-mana.

Di artikel lain soal musik pop, Sonny menegaskan bahwa kaum tua establishment adalah manusia-manusia yang hidupnya cuma didikte penguasa, sedangkan kaum muda muak dengan itu dan ingin melepaskan diri dari belenggu yang selalu mengekang mereka. Pertentangan tua versus muda ini menghantui hampir seluruh isi majalah Aktuil, sejak awal kelahiran hingga kelak menjelang kematiannya. Lagu “San Francisco (Be Sure to Wear Flowers in Your Hair)” itu juga populer di Indonesia, termasuk di Bandung. Menurut penuturan Remy Sylado di majalah TEMPO, lagu tersebut sampai diganti liriknya oleh anak-anak muda Kota Kembang di masanya, menjadi: “If you’re going to Bandung, be sure to wear some flowers in your hair.”10

Seperti yang semua penggemar Aktuil ketahui, Remy Sylado (kelahiran 1945) pernah jadi awak paling tangguh di meja redaksi. Jauh sebelum resmi bergabung di Aktuil, Remy sudah menulis beberapa kali untuk majalah ini. Termasuk polemiknya yang cukup keras dengan Saini KM seputar dunia seni, musik pop, dan beberapa hal lainnya, selama beberapa edisi pada 1969. Penulis asal Semarang, B. Sularto, ikut nimbrung mengirim tanggapan, “Menonton Perang Musik: Lain Segi dari 23761 dan Saini KM”. Polemik itu kemudian dihentikan oleh redaksi, karena “sudah terlalu djauh” dan dirasa mulai mengarah pada “subjektivisme jang menjimpang dari hakekat dan prinsip kritik serta antikritik sendiri”, sehingga “kami achiri ,,perang pena” tersebut.”11 Remy kemudian bergabung ke Aktuil pada 1970.12 Yang selalu dibicarakan orang ketika membicarakan sejarah Aktuil adalah artikel panjang di majalah Pantau edisi 6 Agustus 2001, berjudul “Putus Dirundung Malang”, ditulis oleh Agus Sopian. Dikatakan dalam artikel itu, Denny Sabri sedang berada di Jerman Barat saat mengontak markas pusat Aktuil di Bandung dan menyarankan agar Remy Sylado direkrut jadi redaktur, karena “dia seniman hebat.”

*

Begitu cerita kontroversial Orexas dimuat bersambung di Aktuil (1971–1972), surat-surat pembaca melayang deras ke meja redaksi dari berbagai kalangan. Remy menulis cerbung itu lantaran terilhami oleh “nyentriknya Gito Rollies”.13 Banyak yang memuji keberanian Orexas menggambarkan secara blak-blakan sebuah potret sosial anak muda Bandung yang memang aktual saat itu—sex, drugs, rock ‘n roll—sekaligus kritik kerasnya terhadap kaum tua yang hipokrit dan penguasa yang korup. Namun, tidak sedikit pula yang menghujat cerbung itu. Opini pro dan kontra tersebut sama-sama dimuat di surat pembaca. “Semua orang ketika itu sudah menjadi tawanan dari pikiran yang keliru dari orang yang berkuasa. Itu cilaka. Kekuasaan dianggap otomatis sama dengan kekerasan,” ujar Remy kepada saya beberapa tahun lalu di Bogor. Di episode terakhir cerbung Orexas, Remy menuliskan permintaan tolongnya pada pembaca, agar mereka mau “menghapuskan kembali tulisan2 ‘OREXAS’ jang ditjorat-tjoret diprapatan Riau-Dago-Merdeka sana, karena tjerita ini sudah selesai.” Aksi grafitti itu rupanya tidak hanya terjadi di Bandung, melainkan juga di Semarang dan Surabaya,14 dan barangkali di banyak tempat lainnya.

Ini asyiknya majalah Aktuil, interaksi antara redaksi dengan pembaca terbangun intens, dan jelas mereka bercakap-cakap dengan bahasa komunikasi yang kurang lebih sama. Embrionya saya rasa sudah terbentuk dari berbagai rubrik interaktif di edisi-edisi awal. Pola interaksi mendasar yang umumnya terjalin lewat surat pembaca, oleh redaksi disuwir-suwir lagi menjadi berbagai format kreatif dan nyeleneh di edisi-edisi awal seperti dalam rubrik “Tahukah Anda Bahwa” gaya baru, “Redaksi dan Anda” (jawaban atas surat-surat pembaca, tanpa memuat suratnya!), “Toloong” (rubrik dengan tagline “Disediakan bagi Mereka jang Benar2 Saling Memerlukan” ini juga ajaib—semacam kolom curhat apa pun, pingin kenalan cari teman, menelusuri orang hilang, tanya alamat, tips melukis, dsb.), “Aktuil Fan Club Corner” asuhan Kak Tini (alias Tini Suprapto, kelahiran 1948), rubrik teka-teki silang berhadiah piringan hitam (kerjasama dengan toko musik di Pasar Baru, Jakarta), serta kuis-kuis lainnya yang menggabungkan pengetahuan serius dengan semangat bermain-main. Gaya bahasa yang mereka gunakan di rubrik-rubrik interaktif itu cenderung cuek, ekspresif, dan berani.

Ketika format majalah Aktuil berubah ukuran menjadi lebih besar pada 1971, karakteristik isinya sudah lebih terbentuk dengan halaman makin padat, juga kontras warna perwajahan yang lebih pekat.15 Porsi surat pembaca terkadang malah memakan dua halaman sendiri—dengan font yang bahkan tercetak lebih kecil ketimbang artikel di halaman-halaman lain. Padahal ukuran huruf di majalah Aktuil pada era itu sudah termasuk paling kecil dibanding umumnya majalah-majalah lain. Agaknya ujaran lama ini ada benarnya: surat pembaca, sebagaimana iklan kematian, menentukan umur sebuah koran atau majalah. Dari situ kira-kira bisa diukur bagaimana audiens merespons apa yang mereka konsumsi, termasuk pertimbangan-pertimbangan mereka untuk melanjutkan konsumsi itu atau tidak. Pembaca Aktuil terlihat bebas ngomong apa saja, bisa usul seaneh mungkin, dan beberapa usulan tampak diperhatikan bahkan diakomodasi oleh redaksi. Beberapa pembaca yang cukup aktif menulis surat pembaca (atau varian rubrik interaktif lainnya) diangkat menjadi bagian dari Aktuil, dan nama mereka tercantum di halaman masthead sebagai “Koresponden Dalam Negeri”. Iphix T. dari Purwokerto misalnya, adalah koresponden Aktuil di Yogyakarta. Ada juga Milur Milardi dari Semarang dan Hengki Herwanto di Malang. Untuk slot “Koresponden Luar Negeri”, salah satunya ada Buyunk di Jepang.

Artikel-artikel kiriman pembaca juga makin senapas dengan semangat redaksi, bahkan ketika harus berbeda pendapat sekalipun. Tulisan dari pembaca bernama Alice Hermajatty misalnya, dimuat pada awal 1973 di edisi perdana Aktuil logo baru, “AKA: Underground atau Ngandergron?” Alice mengkritik habis-habisan band AKA yang mengaku underground—sesuatu yang biasanya identik dengan sifat “nonkonformis”—dan mencitrakan diri sebagai kugiran cadas dengan aksi panggung yang sangar dan banyak diliput Aktuil, tapi di piringan hitam debutnya malah menyertakan lagu-lagu yang oleh Alice disebut “centil-kemayu merengek2” dengan “syair2 sentimentalisme yang ,,infantil” sekali”.16 Halaman surat pembaca di edisi berikutnya langsung penuh sesak dengan opini-opini pembaca saling memperdebatkan isi artikel itu, dan silang pendapat ini awet hingga beberapa nomor sesudahnya. Aktuil sering mengangkat perihal definisi musik “underground” yang memang simpang siur itu dalam beberapa edisi. Ketika pembaca dari Palembang bertanya serius kenapa Aktuil disebut “madjalah underground”, redaksi santai menjawab: itu cuma gurauan Odang Danaatmadja (redaktur kelahiran 1950), karena “kebetulan pertjetakan jang mentjetak Aktuil terletak dibawah tanah.”17

Di edisi lain, Alice yang sama juga mengulas film terbaru Kubrick ketika itu, dirilis pada 1971 dan sudah dia tonton pada 1972 di Paris—dalam tulisan berjudul “A Clockwork Orange: Film yang Bikin Heboh”.18 Dengan caranya sendiri, Aktuil memang kosmopolitan di masanya. Penulis dan pembacanya sama-sama tersebar dari pelosok negeri (distribusi majalah Aktuil juga mencakup luar Pulau Jawa) hingga ke mancanegara. Para redaktur cukup privileged bisa mengakses majalah-majalah dari luar negeri,19 dan beberapa artikel soal musik internasional mereka terjemahkan mentah-mentah dari situ. Orde Baru di awal kekuasaannya memang membuka kembali kran Barat, sehingga piringan hitam dan film-film dari sana pun masuk lagi membanjiri pasaran dalam negeri. Radio-radio amatir marak bermunculan, memutar lagu-lagu Barat yang dulunya sempat dilarang mengudara di RRI pada masa Orde Lama.20 Seorang pembaca Aktuil dari Sidoarjo pernah iseng mempraktikkan hasil kursus steno yang diikutinya: dia dengarkan siaran RRI Surabaya, dicatatnya menjadi sebuah transkrip, di-mashup dengan catatan siaran radio amatir milik tetangga sebelah yang diputar bersamaan. Transkrip tumpang-tindih itu dikirimkan ke redaksi, dan dimuat. Ide-ide eksentrik macam begini banyak mendapat tempat di Aktuil.

Sebaran geografis manusia-manusia di Aktuil juga patut dicermati. Dari Jerman, Denny Sabri menulis reportase tur Dara Puspita di Eropa. Beberapa tahun kemudian Maman Sagit (redaktur kelahiran 1944) malah menjadi manajer Dara Puspita ketika mereka tur keliling Indonesia. Billy Silabumi (redaktur kelahiran 1945) mewawancarai idolanya, Benyamin Sueb di tahun-tahun awalnya sebagai penyanyi, lalu mengutip pendapat Bing Slamet, “Hanja ada satu Benjamin…”21 Pembaca dari Italia pernah menulis surat (yang dimuat di Aktuil adalah terjemahannya) menanyakan film-film Indonesia. Seorang pelaut Indonesia mengaku melihat orang Norwegia menenteng majalah Aktuil di sebuah bar di Hong Kong. Pembaca di California berkisah soal kaset-kaset musik yang diposkan dari Jakarta. Nidya Sisters berkirim kabar dari Swedia tentang beberapa show mereka di sana. Pembaca di Malang menulis surat, di kotanya telah lama beredar piringan-piringan hitam dari band luar yang menurutnya bagus, seperti Lucifer’s Friend, Chilliwack, Budgie, Leaf Hound, dll., tapi karena dia “ndak bisa berbahasa Inggris” dan di sampul piringan hitam itu “ndak ada keterangan apa2 mengenai group2 tsb”, maka “sudilah kiranja kak Red memperkenalkan group2 tsb pada para pembatja.” Redaksi menanggapinya dengan singkat dan padat, “Just wait and see. Akan kami usahakan.”22 Begitulah majalah pada masa itu: mereka adalah internet sebelum internet.

Sebagai majalah bertajuk “untuk kaum muda dan mereka yang berhati muda”, Aktuil fokus menggarap pangsa pasar itu dan mereka berhasil memunculkan demografi pembaca yang unik. Di edisi awal, Aktuil 4 (1967) misalnya, sempat muncul kalimat “Madjalah Hiburan Satu2nja Chusus untuk Para Remadja” namun tidak pernah mereka pakai lagi sepanjang 1968; dan pada tahun 1969 tepatnya di Aktuil 32, mulai muncul di halaman masthead dengan huruf kapital, “madjalah untuk generasi muda dan mereka jang berhati muda, menjadjikan musik–film–humor–dll.” Kalimat “musik, film, humor” itu kemudian dihilangkan (dan tentunya penghapusan itu sempat diprotes pembaca). Istilah ‘remaja’, yang oleh Shiraishi disebut “jinak secara politik”,23 konon adalah akal-akalan Orde Baru untuk menggembosi istilah ‘pemuda’ yang dirasa lebih revolusioner. Menariknya, Aktuil sedari awal justru sudah menghapus kata ‘remadja’ itu di slogannya, lalu menggantinya dengan ‘muda’, untuk selanjutnya mulai awal Februari 1972 kata “generasi” [muda] di situ diubah jadi “kaum” [muda]. Belakangan di atas tagline itu ditambahkan “majalah pop Indonesia”. Meski pada awal kelahirannya Aktuil diuntungkan dengan citra penguasa Orde Baru yang tidak anti-Barat, bahkan para redakturnya mengaku sebagai “propagandis musik rock Barat”,24 toh mereka kemudian juga bersikap kritis terhadap otoritas, dengan cara tersamar (kolom “Sexy Chuap”25 misalnya, rajin mengomentari isu-isu publik terkini lewat komentar-komentar usil yang tampak disengaja supaya terkesan naif), maupun secara terang-terangan.

Sewaktu TVRI melarang musisi berambut gondrong tampil di layar kaca, Aktuil justru lantang merayakannya: sampul depan dan belakang majalah ini hampir selalu memajang foto penyanyi/band berambut panjang atau kribo, lokal dan internasional. Begitu pula halaman-halaman iklannya, dari celana jeans, jaket, sampai kaos oblong, semua mempertontonkan sosok-sosok berambut gondrong. Para Aktuilers tidak hanya membaca apa yang mereka lihat, tapi juga menirunya. Komentar yang sering muncul soal ini, “Rasanya belum menjadi anak muda kota kalau tidak menenteng Aktuil.”26 Mengonsumsi Aktuil adalah sepaket gaya hidup. Album-album musik luar yang diulas di situ dicari-cari pembaca ke toko-toko musik, dan kaset-kaset bootleg-nya muncul dari label-label rumahan seperti Fly, Diamond, Mona Lisa, Yess, Apple, dsb.27 Sementara untuk musik-musik lokal, menurut Bens Leo yang banyak menulis di Aktuil sebagai koresponden dalam negeri, “Musisi atau penyanyi cita-citanya masuk Aktuil.”28 Sepanjang perjalanannya, majalah ini merekam sejarah band-band yang kelak menjadi cult dan terus dibicarakan hingga hari ini seperti Shark Move dan Guruh Gipsy, tapi banyak pula yang tidak terdengar lagi namanya seperti Yap Brothers dari Solo atau Young Generation asal Salatiga.

*

Sorotan media cetak atas masalah-masalah budaya pop dan selingkar wilayahnya sudah marak pada akhir dekade ’60-an dan terutama paruh awal ‘70an. Majalah Ekspres umpamanya, di sebuah edisi pada 1970 menulis tentang agak sulitnya mendefinisikan musik pop yang sebenarnya, terutama bagi orang awam, “Pokoknja, mereka bilang, jang djreng-djreng adalah musik pop.”29 Lebih lanjut, musik pop disimpulkan sebagai “musik remadja, hangat, ramah dan nakal-manis—kalau tidak kurang adjar”. Lucunya, artikel tersebut menganggap tidak ada majalah musik di Indonesia. Begini lengkapnya, “Madjalah musik? Mana ada madjalah musik dalam negeri? Dulu ada Musika, tapi sekarang kembali madjalah-madjalah dengkul, jang membikin berita-berita gossip (sekedar laku).”30 Wah, apakah majalah Aktuil tidak masuk dalam perhitungan mereka?

Sementara itu, selain di Aktuil, Remy Sylado juga menulis di beberapa majalah lain dalam kurun waktu yang sama, baik dengan nama asli ataupun nama samaran yang silih berganti dan ditukar-tukar. Di edisi perdana majalah POP misalnya, terbit Agustus–September 1973, Remy Sylado menulis (dengan nama pena 23761), “Pop dalam Peradaban Modern”. Esai ini dibuka dengan sebuah kutipan, penggalan lagu Mick Jagger di film Performance (1970), “You’re the man who squats behind the man who works the soft machine/ Come now, gentleman, your love is all I crave/ You’ll still be in the circus when I’m laughing, laughing in my grave…” Remy salah mengira bait itu “dari lirik William Burroughs”, mungkin karena ada frasa “soft machine” di situ, yang memang adalah judul novel William S. Burroughs pada 1961.31 Yang lebih menarik ketimbang kekeliruan itu ialah pandangan Remy soal generation gap, sesuatu yang menurutnya selalu ada sepanjang masa, dan “mudah-mudahan musik pop ini yang menjembatani persoalan gap itu.” Tulisan itu dibuat untuk menyambut acara Summer 28, sebuah pertunjukan musik besar-besaran di Pasar Minggu, Jakarta, pada 18 Agustus 1973—semacam Woodstock versi Melayu—di mana pemilik majalah POP adalah salah satu penyelenggaranya. Tampil di situ nama-nama besar (atau yang lantas jadi besar) di blantika musik pop rock seperti Koes Plus, The Rollies, Trio Bimbo, God Bless, The Gang of Harry Roesli, dsb.

“Apabila Bach, Mozart, atau Beethoven ternyata tidak bisa lagi berkomunikasi dengan kaum muda,” demikian tulis Remy, “maka adakah orang yang demikian bijaknya untuk suka berkata bahwa klasik adalah musik bagi kaum muda?” Acara Summer 28 diharapkan bisa menjawab pertanyaan itu, karena pesta musik pop semacam ini “dengan sendirinya sudah mengundang kaum muda untuk datang melibatkan diri dengan bahasanya”. Musik klasik dianggap tidak mampu bercerita tentang dunia apa-adanya ini, sementara bahasa pop hampir boleh dikata ialah bahasa kaum muda. Selain itu, “Pop sendiri bukan lagi harus diartikan sebagai sinisme akan bobot. Di awalnya ketika orang masih suka berilusi, kata ‘pop’ memang bisa jadi semacam hantu bagi seniman-seniman serius.”32 Bagi Remy, pemandangan pop adalah pemandangan yang sangat panjang karena manusia memang melingkar-lingkar dengan hidupnya. Atas “gejala sosial akibat teknokrasi kemudian membuat orang jadi keras dan resah”, mereka yang kebanyakan berusia belia lewat musik pop menyatakan dirinya, “memprotes, menangis atau diam menyerah pada takdir.” Remy lalu mengutip lagu ciptaan Bob Dylan, musisi folk Amerika yang bahkan masih berusia 21 saat menggelontorkan lirik sedalam ini, “How many years must some people exist/ before they’re allowed to be free?

Jika musik klasik adalah “kebudayaan tinggi” dan musik pop dianggap selera rendahan, maka seperti itulah Remy Sylado datang melawan dengan puisi mbeling-nya. Majalah sastra satu-satunya kala itu, Horison, dianggap sebagai barometer kepenyairan, dengan kaidah estetik tertentu yang seolah-olah menjadi standar mutlak keberhasilan sebuah puisi. Padahal menurut Remy, bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan dari yang dianggap jorok sekalipun, karena “dalam kamus gerakan puisi mbeling tidak ada istilah major art dan minor art.”33 Sikap mbeling (yaitu nakal nanging sembada, nakal tapi konsekuen) yang menolak establishment ini terpampang jelas di esai pengantar nomor perdana “Puisi-Puisi Mbeling”, di Aktuil 104 (1972), ditulis oleh Remy, “Bentuk2 kesenian underground: musik, puisi, teater atau film, jang dikelaskan dalam bobot jang pop, adalah seninja kaum-muda. […] Seni kaum tua terlalu dindjelimetkan dengan teori2 jang sudah tidaktjotjok. Se-akan2 puisi itu barang sutji jg turun dari surga. Padahal apa puisi djika bukan sekedar pernjataan apa-adanja?”

Bandingkan antara penggalan puisi di Horison berikut ini dengan puisi-puisi di Aktuil:

Sementara langit menatap beku
Sementara musim berajun di-puntjak2 gunung
Ada angin bertiup tanpa muara. Pagi membuka
siangpun mendjemput dan kelam menunggu
(Pesu Aftarudin, 1968; Horison)

Satu botol bir besar
gelas kosong tanpa es
Satu porsi mi-bakso
dengan sumpit cat putih
Minta cepat.
(Jeihan, 1972; Aktuil)

Poppa adalah musik dan topeng-topeng plastik
Jang menawarkan dansa dan wodka, wanita dan kota
Salon, djiwa dan tjinta, Rock dimainkan
(Abdul Hadi W.M., 1972; Aktuil)

Atau, penggalan “Kwatrin tentang Sebuah Poci” dari Goenawan Mohamad:

Apa yang berharga pada tanahliat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
(Horison, 1973)

Dan puisi utuh “Kwatrin Penggemar Cassette” dari Remy Sylado:

A

    B

        C

            merek baterei.

(Aktuil, 1972)

Respons publik beraneka ragam. Sebuah surat pembaca menyebut puisi mbeling sebagai “kegenitan yang belum mendapat pasaran”, “keriaan ekstra” yang tak berbobot dan cuma main-main, meski sekaligus mengakui “punya besar pengikut adanya”. Puisi-puisi mbeling terus bermunculan, termasuk yang meledek figur-figur ternama di kancah sastra ketika itu seperti W.S. Rendra dan H.B. Jassin. Salah satu puisi mbeling bikinan Remy yang menyebutkan alat kelamin laki-laki bahkan sempat membuat majalah Aktuil hampir dicabut surat izin terbitnya.34

Dengan pesona absurdnya, kemunculan rubrik puisi mbeling menambah satu lagi aroma ganjil di semesta Aktuil. Isi majalah pop ini makin “gado-gado”, kali ini dengan sambal lebih pedas: rubrik puisi-puisi pemberontak dibarengi artikel-artikel tentang keganasan musik rock yang porsinya terus digeber, menjadikan kaum muda pembaca Aktuil sebuah kombinasi unik tersendiri—penggemar musik keras yang juga membaca35 dan menulis; mereka ini “muda, beda, dan berbahaya”—yang tidak ditemui pada segmen pembaca majalah lainnya saat itu. Sebetulnya rubrik cerpen dan cerbung sudah tersedia untuk mewadahi segala karnaval pikiran itu, tapi format puisi terbukti lebih ringkas dan efektif dalam mengekspresikan imajinasi liar yang riuh rendah. Setiap bulannya, redaksi Aktuil menerima kiriman sekitar 300 surat berisi puisi mbeling.36

Setelah memakan sembilan edisi (diselingi satu edisi yang lowong, diisi lirik-lirik lagu protes Yoko Ono dan John Lennon), rubrik “Puisi-Puisi Mbeling” berakhir di Aktuil 113 (1973) dengan esai pengantar Remy Sylado yang lebih panjang daripada biasanya, dan terbaca seperti gerundelan yang brilian, “[…] apa boleh buat, berhubung tak ada yang sanggup memuji kami, maka atas inisiatif sendiri kami terpaksa memuji diri sendiri sebagai avant-garde dalam puisi kiwari Indonesia.” Remy merasa penyair-penyair tua yang dilawannya itu “frustrasi dan mati kutu” dan karenanya rubrik puisi mbeling dia hentikan, demi memberikan kesempatan mereka “untuk belajar lagi agar dapat mengejar kami”.

Barangkali karena puisi-puisi kiriman pembaca terus berdatangan, seiring tiras Aktuil terus melonjak di masa itu,37 rubrik puisi akhirnya terlahir kembali, malih rupa sebagai “Puisi-Puisi Lugu”, muncul perdana di Aktuil 119 (1973). “Jika orang bilang puisi2 ini ‘tak berbobot’ atau ‘tak beri pesan’ apa2,” ujar Remy di pengantarnya, “kami pun tak berminat membantahnya.” Rubrik ‘baru’ ini dibuka dengan puisi Remy Sylado berjudul “Mayapada”, yang hanya berupa kotak kosong tanpa kata-kata.38 Sekali waktu, Remy bermain-main bentuk dengan concrete poetry, seperti pada puisi “Koni Jaya Tak Tahu Menahu” yang huruf-hurufnya disusun menyerupai pohon cemara, atau puisi “Marketing Manager” yang bentuknya mirip lambang hati.39 Pernah pula ditampilkan karangan anak umur sebelas tahun. Puisi siswa kelas 6 SD di Bandung itu diawali dengan kalimat polos yang memukau, “Petruk yang terhormat, apa kabar hai?/ Sehat-sehat atau leles-leles.”40

Menariknya, di era itu sempat muncul pula apa yang Remy Sylado sebut “prosa mbeling” di rubrik cerpen. Aktuil 144 (1974) memuat satu cerpen berjudul “Rambut Pacarku”, yang menurut esai pengantar Remy, cerpen itu ditulis secara keroyokan oleh beberapa pengarang sekaligus: bagian awal dimulai oleh satu pengarang, lalu dilanjutkan pengarang lain di bagian tengah, dan diakhiri oleh pengarang lainnya lagi.41 Eksperimen yang sama pernah dicoba sebelumnya di majalah POP, oleh empat pengarang, yaitu Wilson Nadeak, Jeihan, Abdul Hadi W.M., dan Remy Sylado.

Sementara di Aktuil 150 (1974), rubrik “Puisi-Puisi Lugu” memuat karya Jeihan berupa “puisi-puisi guntingan koran”. Di teks pengantarnya, Remy membeberkan proses kreatif Jeihan itu: “Bagaimana caranya? Kolom koran dibikin garis puntir2 ke bawah. Dan kata2 dan kalimat2 yang katut di dalam garis itu lantas dipisahkan sendiri. Setelah disusun kembali, jadilah puisi2 ini.” Metode semacam ini tentu saja mengingatkan kita pada cara Tristan Tzara, “To Make A Dadaist Poem” (1920).42 Seno Gumira Ajidarma, yang memulai karir kepenulisannya dengan mengirim puisi-puisi ke majalah Aktuil dan dimuat, mengaku pernah bereksperimen dengan cara kurang lebih sama; memakai lingkaran, segi empat, segitiga, dst.43 Teknik cut-up ini banyak dikembangkan oleh William S. Burroughs dan Brion Gysin dalam tulisan-tulisan mereka, dan beberapa musisi pun memakainya—dengan berbagai variasi—untuk mengulik musik ataupun lirik; seperti The Beatles di track sepanjang delapan menit lebih berjudul “Revolution 9” (1968), juga David Bowie, Kurt Cobain, Radiohead dan Zeke Khaseli.44

*

Nah, yang tidak bisa dipandang remeh adalah gambar-gambar ilustrasi di rubrik “Puisi-Puisi Lugu”. Mereka mengerumuni teks, atau sebaliknya, dikepung teks. Gambar-gambar itu agaknya padu-padan dari kreasi grafis oleh redaktur Aktuil dengan, lagi-lagi, beberapa kiriman dari pembaca. Halaman “Puisi-Puisi Lugu” biasa bermain-main dengan tipografi nama rubrik dan tata letak teks, yang tampilannya nyaris selalu berbeda tiap edisi. Sepertinya inilah yang mendorong redaksi untuk memecah rubrik itu menjadi dua, mengisi kekosongan yang ditinggalkan Remy Sylado setelah dia keluar dari Aktuil pada sekitar Juni 1975.45 Di Aktuil 171, terbit awal Juli 1975, muncul dua slot baru: “Puisi-Puisi Awam”, dengan esai pembuka oleh desk editor Sonny Suriaatmadja, dan “Galeri Pop Art”, berisi gambar-gambar kiriman pembaca—ketika itu masih tanpa teks pengantar.

Tahun itu, 1975, memang tahun yang menarik. Lukisan Rembrandt Penjaga Malam di Rijksmuseum disayat-sayat orang, personal computer pertama diciptakan, dan Muhammad Ali vs. Joe Frazier bertarung untuk ketiga kalinya di Manila. Di dalam negeri, Harry Roesli tampil di Gedung Merdeka, Bandung, membawakan Rock Opera Ken Arok, manusia perahu dari Vietnam pertama kali masuk ke Indonesia akibat perang saudara, Aktuil bikin pesta musik Kemarau ‘75 di Gedung Sate yang dihadiri 150 ribu penonton, dan Indonesia mulai menginvasi Timor Timur. Di kancah seni rupa, hanya beberapa bulan setelah pernyataan Desember Hitam 1974, muncul Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) yang membuka jalan bagi beberapa kesadaran estetis baru, sekaligus menandai bergabungnya “mazhab Jogja” dan “mazhab Bandung”. Pada awal Agustus 1975, GSRB melangsungkan pameran Seni Rupa Baru Indonesia ‘75 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan esai pengantar pameran oleh Sanento Yuliman (kelahiran 1941), seorang kritikus dan dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung. Di situ, antara lain, Sanento menyorot soal ‘kekonkretan’. Dia menulis, “Ada semacam dorongan untuk melihat ke sekitar, memungut benda-benda dari lingkungan yang amat sehari-hari, dan membuat konstruksi.” Di halaman akhir katalog tertulis ucapan terima kasih, salah satunya untuk “Majalah Aktuil, Bandung, yang telah mencetakkan katalog pameran ini.”

Menurut penuturan Jim Supangkat (kelahiran 1948), salah satu eksponen GSRB, katalog pameran itu dirancang oleh Man HS (juga kelahiran 1948), seorang redaktur Aktuil yang kuliah arsitektur di ITB. Ketika itu Man HS juga bertanggung jawab atas desain dan tata letak majalah Aktuil, dan salah satu ide cemerlangnya adalah menyisipkan bonus ke pembaca Aktuil berupa poster, sticker, dan gambar setrika. Setelah beberapa edisi pertama “Galeri Pop Art” di Aktuil muncul tanpa pengantar, Sanento Yuliman mulai menggawangi rubrik itu dari edisi 177, yang terbit pada Oktober 1975. “Galeri ini memanggil kepekaan baru, mata baru,” demikian esai pembuka Sanento di Aktuil, “Mata yang lugu, yang segar-bugar, yang terbelalak oleh tampang dunia sekeliling, […] dunia dengan rupa serba-neka, dengan serba-jumlah-banyak.”

Kalau kita amat-amati kembali rubriknya, karena semestanya di majalah musik, “tampang dunia sekeliling” itu rupanya tidak jauh-jauh dari gitar, tuts piano, terompet, wajah-wajah superstar. Gambar gitar dan segala variasi bentuknya cukup mendominasi. Dengan mudah kita dapati di gambar-gambar itu: gitar yang sangar dan yang melar, yang tegak atau yang letoi, yang tidak cuma double-neck tapi gagang tiga. Malah di gambar kiriman Moelyono dari Tulungagung, gitar itu ditenteng gagah oleh Hanoman bersepatu lars mirip rocker. Di pojok kiri atas tertulis “Superstar”.

Begitu pula parade artis gondrong seperti Iggy Pop, Ahmad Albar (beberapa kali), Rendra, dan Brian May (tentu bersama gitar), silih berganti di beberapa gambar. Laki-laki yang tergambar di situ nyaris semuanya berambut panjang, kecuali jika dia anak kecil, orang uzur, atau yang sudah keburu jadi tengkorak. Tapi bahkan ada satu tengkorak ditampilkan masih berambut panjang, berkibar-kibar menunggang motor besar. Imaji-imaji atas tengkorak itu mungkin saja menyelinap dari sampul-sampul piringan hitam (Black Sabbath misalnya, album Sabbath Bloody Sabbath), atau gambar-gambar di majalah Aktuil yang dikonsumsi pembaca (bonus gambar setrika pernah bergambar tengkorak), atau pergumulan personal para penggambar dengan maut—tema abadi di semua ranah seni. Maut itu diekspresikan, salah satunya lewat gambar jarum suntik (ada gambar kiriman yang membayangkan narkotika sebagai pembawa ajal, dengan muka separuh tengkorak), pistol dan senapan (satu gambar menyandingkannya dengan sosok bayi), juga moncong meriam dan rudal-rudal pemicu perang. Sementara Bing Slamet, berkumis dan berambut klimis, dijejerkan dengan enam buah apel. “Six Apples, Not Wayne”, judul gambar hitam putih Gendut Riyanto itu, oleh Sanento dilihat peluangnya sebagai permainan kata-kata “Not Wayne” yang terdengar mirip “not wane”, yakni tak memudar, tak berkurang. Itu tafsir yang menarik, karena yang saya pikirkan jauh lebih simpel: alih-alih menghadirkan cowboy impor John Wayne, Gendut memilih cowboy lokal; yaitu Bing Slamet si koboi cengeng—film populernya pada 1974 bersama Ateng, Iskak, dkk.

Yang juga menarik selain ketekunan Sanento mengamati, menyeleksi gambar-gambar dan menulis pendek esai-esai pengantar, adalah upayanya ‘meluruskan’ pemahaman orang-orang atas nama rubrik “Galeri Pop Art”, karena istilah ‘Pop Art’ di situ adalah sebuah misnomer. Sebagai majalah pop, Aktuil memang terbiasa menamai rubrik-rubrik mereka dengan imbuhan kata ‘pop’, seperti “Pop Ads”, “Pop Quiz, “Indo Pop”, bahkan pernah ada sayembara “Kamar Pop”. Kamar pop! Satu edisi dari 1972, di sampulnya tertulis “Pop Art Poster”, yaitu poster bonus di halaman tengah, bergambar Jimi Hendrix menjulurkan tangan dengan jarum suntik di telapaknya, dikerumuni figur-figur kecil mirip manusia, iblis, dan lagi-lagi tengkorak. Sementara pada awal 1976, bonus poster besarnya adalah gambar Semar mengacungkan dua jari (“peace sign”, salam perdamaian) sembari berseru “Aku Iki Ngepop Lho Mas!”46 Namun istilah “Pop Art” sendiri, kita tahu, dalam sejarah seni rupa ketika itu sudah punya definisi khusus tersendiri. Karena itu Sanento berusaha mengoreksi lewat esai-esai pengantarnya, dengan mengutip wawancara Roy Lichtenstein dari tahun 1963, memajang kaleng sup Andy Warhol, menerangkan soal kipas raksasa mblekenyek dari Claes Oldenburg.

Sebagai akademisi, langkah Sanento itu sudah sewajarnya; tapi bahwa kuliah seni rupa ternyata bisa muncul lewat majalah pop, dengan bahasa pengantar yang juga pop, kepadanya kita perlu angkat topi. Sanento memang satu dari sedikit kritikus seni rupa Indonesia, sampai hari ini, yang mampu menulis masalah-masalah seni rupa yang rumit dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Dia kemudian memajang karya silkscreen dari T. Sutanto (Decenta, Bandung) berupa gambar-gambar pabrikan seperti bungkus korek api yang diperbesar dan comotan dari etalase tukang gigi, yang ketika itu baru saja dipamerkan di empat kota lewat Pameran Cetak Saring MCMLXXV (1975).

Para pembaca merespons dengan menggambar barang-barang mass-production, seperti yang dilakukan Harris Purnama (Yogyakarta) dengan gebyar merek jeans, penyedap rasa, elektronik, otomotif; atau Arie Poernomo (juga dari Yogyakarta) atas kotak rokok, dan masih banyak lagi. Muncul pula kolase-kolase dari guntingan iklan di surat kabar (seperti Eddie Supriatno dari Karawang dengan parade artis ciliknya), berita-berita di koran, tumpukan lotre “Undian Harapan” kiriman Ron Haharhara dari Medan, manipulasi sampul majalah, bungkus obat, gambar kalender, dsb. Tetap ada aroma “gado-gado” khas Aktuil, dari surealisme di gambar Kok Hin (Bandung), gambar relax yang justru kelam dan tidak rileks dari Gunawan Pertiwi Putra asal Solo setelah lepas dari gaya vignette di nomor-nomor awal, goresan kuas Loesie dari Bandung yang bikin saya penasaran ingin menatap langsung karya aslinya, sampai folk art di dagelan Petruk Gareng oleh Gendut Riyanto (Yogyakarta). Sanento menantang pembaca, “Mampu bikin yang lebih pop dan lebih jitu? Nah, bikin.”47

Selain menulis esai pengantar di beberapa edisi untuk rubrik “Puisi-Puisi Awam”, Sanento juga mendorong ‘kekonkretan’ pada karya-karya rupa di Aktuil dengan menyarankan “[…] ambil benda, barang, atau bahan apa aja, cari alat yang tepat, lalu bikin barang baru, tiga dimensi. Lantas dipotret.”48 Di edisi berikutnya, Sanento kembali mengingatkan pembaca supaya lebih bermain-main lagi, untuk melampaui sekadar “gambar pada secuil kertas”. Dia menulis begini, “[…] karya Pop yang sesungguhnya mestilah lebih “hebat” dari itu. Diperlukan kerja yang “betulan” pada kanvas atau apa, yang bila ditaruh dalam ruang galeri yang betulan, sungguh mampu memberi kesan yang kuat.”49 Galeri di Aktuil memang bukan “galeri betulan”, tapi “realitas” yang dimunculkan di sana sangat layak diamati. Seperti karya Henky dari Malang misalnya. Idenya sederhana, sebuah televisi dipotret, lalu pada hasil fotonya (yaitu tepat di layar televisinya) ditempel guntingan foto rocker Mickey Bentoel sedang bernyanyi di atas panggung. Pesannya jelas dan langsung mengena: bahwa di dunia aktual, musisi gondrong dicekal; tapi di realita Aktuil, mereka bebas tampil.

Esai-esai pengantar rubrik, sebagaimana surat pembaca dan teks-teks lainnya, selalu bisa menjadi penanda zaman. Di edisi Maret 1976, Sanento sudah mengendus adanya potensi “conceptual art”. Bernardus Subekti S. dari Malang menggambar sebuah board game dengan imbuhan teks berupa aturan main dari “Dinas Simpan Pinjam”: satu celana Levi’s yang sama—dibeli lewat iuran beberapa orang di satu lingkaran pertemanan—dipakai bergiliran selama seminggu, sesuai urutan nama yang tertera dalam diagram permainan. Begini komentar Sanento, “Agaknya bukan gambarnya yang harus dinikmati, melainkan gagasannya: “Seni gagasan” alias “Seni konsep”? Wah, ini wilayah kesenian baru lagi yang boleh coba-coba dijelajahi.”50

Sementara esai di edisi tahun baru 1976 menyinggung sekilas situasi mutakhir seni rupa dan puisi, bahwa tahun 1975 telah ditutup dengan diskusi-diskusi riuh di TIM. Ketika tidak sedikit seniman memproklamasikan “antiseni”, demikian tulis Sanento, mereka memproklamasikan kematian seni itu sendiri, tapi sekaligus kematian bisa berarti kelahiran. Di edisi berikutnya, Aktuil 187 (1976), nama “Galeri Pop Art” berubah menjadi “Galeri Aktuil”. Puisi dan gambar dilebur menjadi satu di situ (sehingga rubrik “Puisi-Puisi Awam” ikut tamat), meski sebetulnya langkah itu tidak sepenuhnya baru. Sejak “Puisi-Puisi Lugu” di era Remy Sylado pun dua komponen itu sebetulnya sudah saling bercampur. Mulai dari Aktuil 198 (1976), Jim Supangkat mengawal rubrik “Galeri Aktuil” menggantikan Sanento Yuliman yang harus berangkat ke Paris meneruskan studinya. Di nomor itu, nama Sonny Suriaatmadja menghilang dari halaman masthead majalah Aktuil.

Di esai pengantar perdananya, Jim menegaskan kembali betapa Galeri Aktuil adalah gambaran semangat zaman “yang nongol dari kesehari-harian, yang aktuil”. Di edisi lain, Jim menulis esai “Seni Rupa Aktuil?”,51 merangkum apa-apa yang selama ini dia amati dari situ. “Tentang corak, ada beberapa gaya (kalau bisa dikatakan begitu) yang bisa dicatat,” demikian tulis Jim, “yaitu gaya ‘fantasi’, gaya ‘tempel’, gaya ‘hias’, dan gaya ‘corat-coret’.” Soal kejanggalan pemakaian istilah “Pop Art” di nama rubrik terdahulu, Jim sepakat dengan Sanento. Di masa-masa itu Jim sudah banyak terpapar buku-buku referensi terbaru tentang seni rupa dari sanak familinya yang tinggal di luar negeri, termasuk soal Pop Art. Sekali waktu, dia memuat di Aktuil karya Allen Jones, seniman Pop Art dari Inggris, yakni gambar siluet perempuan dan “potret kayak Ida Royani dan korset”. Jim menulis, “[…] di masa sekarang, di mana perempuan sadar akan kehadirannya […] brenti jadi obyek, mereka ‘strike’ sebagai subyek yang pegang rol.”52 Gambar itu dia sandingkan dengan foto Patty Hearst dari sampul Newsweek, bersama potret relief hidung berdarah dan bunga di majalah Art International dari Swiss.

Di beberapa edisi, barangkali untuk variasi, Aktuil memuat puisi-puisi kiriman pembaca menjadi bentuk visual yang oleh Jim disebut “sajak-sajak rupa”,53 dengan catatan itu harus “diperbedakan dari Puisi kongkrit”. Di situ dibahas perihal krisis “menulis indah” dan “kaligraphie ringsek”. Ketika saya sodorkan salah satu edisi kepadanya, Jim tersenyum, “Itu saya yang menggambar.” Bahkan dia juga merasa perlu menggambar beberapa lirik lagu yang beken ketika itu, karena dia merasa lirik-lirik itu bagian dari pernyataan dan bukan sekadar tempelan; seperti lagu-lagu Trio Bimbo, “Renjana”-nya Guruh Sukarnoputra, dan “Putri Mohon Diri” ciptaan Adji Bandy dari band Contrapunk.

Di kurun waktu yang sama, ada pula rubrik puisi “Soliloquy”54 di majalah TOP, yang dikawal oleh Remy Sylado (setelah keluar dari Aktuil, Remy menjadi redaktur TOP), sesekali bersama Jeihan dan Abdul Hadi W.M. Majalah yang pernah mengiklankan dirinya sebagai “majalah remaja ultra-pop” dan bermarkas di Jakarta itu juga memunculkan rubrik “Senirupa Bazar” (lalu berganti nama, ”Pasar Seni”)55 yang memuat karya-karya seni rupa. Beberapa nama yang puisi atau gambarnya pernah dimuat di Aktuil, tercatat mengirimkan juga karya-karya lain mereka ke majalah TOP. Kedua majalah itu sempat bersaing sengit pada masanya, masing-masing penggemar saling menyindir melalui surat pembaca, begitu pula para redaktur di artikel-artikelnya, namun rubrik-rubrik puisi dan seni rupa di situ agaknya sama-sama dirayakan oleh para pembacanya ketika itu. Ada juga rubrik “Sajak-Sajak Rusak” di majalah humor Astaga era Arwah Setiawan: di sebuah edisi pada awal 1975 misalnya, tertulis pengantar begini, “Pertemuan Sasterawan akhir 1974 mengeritik penyair-penyair mapan dan Horison. Melihat gelagat tak enak, Sapardi cepat banting stir dan mengirim Sajak-Sajak Rusak.” Di situ dimuat dua puisi yang katanya “dipermak oleh Sapardi Djoko Damono & co.” dengan bahan-bahan dari karya Ogden Nash dan Lewis Carroll.56

Dan di atas semuanya, yang bisa digarisbawahi adalah semangat perlawanan yang kurang lebih sama di antara mereka. Semua menuntut kebaruan dengan meninggalkan yang lama. Bandingkan, misalnya, kata-kata Sanento bahwa “Galeri Pop Art” adalah dunia yang terlewat oleh “pelukis tua yang cepat kunang-kunang kalau tidak lihat perahu, gunung-gunung dan pemandangan…” (Aktuil 177, 1975), dengan pernyataan Remy soal puisi mbeling melawan para penyair tua “yang ter-pusing2 disekitar itu2 wungkul: bunga, awan, kuda, cacing, gunung, sawah, laut…” (Aktuil 107, 1972). Atau, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang menentang sikap pengajaran cantrikisme di mana murid-murid harus mengikuti gaya gurunya.

Dalam kata-kata Jim Supangkat, “Galeri Aktuil itu in-between Seni Rupa Baru dan post-Seni Rupa Baru.”57 Memang ada salah satu eksponen GSRB angkatan pertama, yaitu Nanik Mirna (sebelumnya sudah ikut pameran Seni Rupa Baru Indonesia ’75 bersama Jim, Harsono, Hardi, dkk.) yang mengirimkan gambar tiga perempuan bertopi ke redaksi Aktuil dan dimuat; tapi Jim juga ingat bahwa nama-nama seperti Gendut Riyanto dan Harris Purnama justru pertama-tama muncul dari rubrik ini. “Yang mengirim gambar ke Aktuil itu kebanyakan anak-anak Jogja, dari STSRI/ASRI,” kata Jim. Kita tahu, Gendut kemudian turut tergabung di pameran Seni Rupa Baru Indonesia IV (1979) dan Harris ikut terlibat di pameran Seni Rupa Baru: Proyek I “Pasaraya Dunia Fantasi” (1987). Di antara nama-nama yang pernah masuk Aktuil, gambar Gendut dan Harris memang paling banyak dimuat. “Man HS bangga Aktuil bisa menumbuhkan generasi post-Seni Rupa Baru,” ujar Jim.

Rubrik “Galeri Aktuil” muncul terakhir kalinya di Aktuil 227, pada Agustus 1977, menampilkan gambar-gambar Priyanto Sunarto: sosok-sosok grotesk yang seperti dikerubungi belatung abadi, kelak jadi ciri khasnya di kartun opini majalah TEMPO. Ketika itu kiriman puisi dan gambar ke Jalan Lengkong Kecil sudah mulai sepi.58 Oplah Aktuil juga terus menyusut dan senjakala membayang di depan mata. Di penghujung 1978 tirasnya makin anjlok. Pada 1979 urusan redaksi mulai dipegang oleh seorang wartawan ibukota bernama Sondang P.N. (kelahiran 1941), dan Aktuil diterbitkan dari Jakarta. Namun Aktuil periode Jakarta ini pun tidak bertahan lama. Majalah legendaris itu akhirnya tamat. Dihitung dari kelahirannya di Bandung, 1967, usia majalah Aktuil bahkan tidak sampai dua puluh tahun; jauh sekali dari ramalan Mr. Computer yang membayangkan tahun 2222.

*

Demikianlah, kecuali beberapa nama, nyaris tidak ada alumni “Galeri Pop Art”/”Galeri Aktuil” (1975–1977) yang terdengar kiprahnya lebih lanjut di arena seni rupa Indonesia. Tapi narasi keindonesiaan memang tidak melulu tersusun dari kisah-kisah besar; melainkan juga riak-riak kecil yang lekas jadi buih semacam ini, yang pada masanya pernah meletup-letup di lingkaran tertentu tapi sekaligus sunyi senyap dalam semesta lebih luas. Semuanya harus dicatat, semuanya dapat tempat. Semoga kita pun tidak lupa bahwa istilah magazine dalam bahasa Inggris berakar dari bahasa Arab makhaazin (bentuk plural dari makhzan), artinya “gudang penyimpanan”. Majalah, sebagaimana buku—bahkan yang sedang Anda pegang ini; buku tentang satu rubrik kecil di majalah pada suatu waktu—memang dapat dilihat sebagai sebuah gudang. Masih banyak yang bisa dibongkar lagi, ditata ulang, disusun-susun, dikaji kembali. Lagi pula, kalau majalah-majalah tua dibiarkan teronggok begitu saja tanpa ditengok, makna yang timbul malah jadi konyol: mosok gudang disimpan di gudang? Barangkali itulah kenapa buku ini terbit, ikhtiar membundel dan mengekstrak sebuah peristiwa kebudayaan yang asyik, karnaval gambar yang pepat dalam 170 x 252 mm, supaya pembaca bisa menghadirkan galeri di kamar pop masing-masing dan menilainya sendiri. Kali ini tidak perlu tanya Mr. Computer.

* * *

Bandung, 16 November 2021
Budi Warsito

Catatan Kaki:

  1. Lagu ciptaan Jessy Wenas ini ada di side A track 2 dari piringan hitam vinyl 10-inch album Semau Gue, rilisan Remaco (RL-070). Di sampul, nama band pengiringnya salah dieja “Electrika”. ↩︎
  2. Majalah dwimingguan Aktuil nomor 30, tahun 1969, halaman 44. ↩︎
  3. Kata ‘razia’ di masa itu memang dieja ‘razzia’, seperti pada judul dan isi artikel “Lagi-lagi Datang Musim Razzia Rambut Gondrong” di Aktuil 17, 1968, hlm. 12, oleh Ibing. ↩︎
  4. Lihat John Marmysz, Laughing at Nothing: Humor as a Response to Nihilism (State University of New York, 2003), hlm. 138. ↩︎
  5. Ada fakta menarik yang tidak tercantum di Diskorina hlm. 24, karena saat itu memang belum terjadi: beberapa tahun kemudian, muncul lagu “I’ll Be There” (1970) dibawakan oleh Jackson 5, yang terdengar mirip sekali dengan lagu “Surat Undangan”. Mus Mualim lalu membahasnya di artikel yang dia tulis, “Serupa Tapi Tak Sama”, dimuat di Aktuil 157, 1974, hlm. 32–33. ↩︎
  6. Aktuil 45, 1969, hlm. 50–51. ↩︎
  7. Jonathan Crow, “In 1964, Arthur C. Clarke Predicts the Internet, 3D Printers and Trained Monkey Servants”, https://www.openculture.com/2014/06/in-1964-arthur-c-clarke-predicts-the-internet-3d-printers-and-trained-monkey-servants.html, diakses terakhir pada 7 Oktober 2021. ↩︎
  8. Aktuil 40, 1969, hlm. 51–52. ↩︎
  9. Aktuil 9, 1968, hlm. 40. ↩︎
  10. “Mengenang Orexas”, majalah mingguan TEMPO, 27 Januari 2013, hlm. 65. ↩︎
  11. Aktuil 29, 1969, hlm. 55. ↩︎
  12. Ada dua versi tahun, kapan Remy Sylado mulai bekerja di majalah Aktuil: 1970 dan 1971. Versi 1971, muncul di artikel “Who’s and Who versi Aktuil: Dirty Dozen plus One” di Aktuil 91, terbit 10 Februari 1972, hlm. 41–43. Di situ ada foto profil dan biodata tiga belas orang “redaktur pop dari madjalah pop Aktuil”, dan tertulis Remy Sylado “Mulai di Aktuil: Medio ’71”. Sementara versi 1970, ada di jurnal Prisma no. 6 Tahun VI, Juni 1977. Di situ Remy Sylado menulis esai “Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa” (hlm. 23–31), dan di profil penulis tertera informasi “1970 menjadi redaktur majalah Aktuil, Bandung”. Yang jelas, nama Remy Sylado mulai tercantum di halaman masthead sejak Aktuil 68, terbit akhir Januari 1971. ↩︎
  13. Remy Sylado, “Gito Rollies: Nu Bogana Bandung”, harian Kompas, 2 Maret 2008. ↩︎
  14. Wawancara dengan Remy Sylado, oleh saya bersama AMwave di Bogor, 28 November 2019. Menurut Remy, Ucok AKA sampai membuat lagu khusus berjudul “Orexas”, dan nomor itu selalu ditunggu-tunggu penonton di Surabaya. ↩︎
  15. Aktuil 91, 1972, “Who’s and Who versi Aktuil: Dirty Dozen plus One”. Disebutkan di situ peran besar Gunadi Harjanto (kelahiran 1946) sebagai “photoeditor, reprographer”, yaitu “dia inilah jang menemukan colour separation di Aktuil, dan mengerdjakan sekian banjak cover madjalah jang terbit di Bandung, seperti Mimbar dan Mangle, dsb.” Termuat pula profil fotografer Tony Marthenas (kelahiran 1943) dan penanggung jawab Aktuil, Bernard Jujanto (kelahiran 1941). ↩︎
  16. Aktuil 112, 1973, hlm. 36–37. Lagu yang dimaksud adalah “Bukan Mesiu”, ada di side A track 4 dari piringan hitam vinyl 12-inch album pertama AKA, Do What You Like, rilisan Indra (AKL-018), yang liriknya antara lain: “’ku hanja seorang seniman/ djanganlah diganggu/ ‘ku hanja punja tjinta/ bukan mesiu bukan peluru.” ↩︎
  17. Aktuil 94, 1972, hlm. 6. Di edisi yang sama, ada surat dari pembaca yang mengaku mengamati Aktuil sejak dari format kecil hingga kini besar, “salut atas modernisasi Anda”, lalu mengkritik, “madjalah Saudara isinja minus, tidak ada. Mulai omong kosong tentang musik, membual dan mem-besar2-kan segala matjam musik, lagaknja udah seperti achli champion music. […] sebagai seorang penganut underground, saja suka tertawa geli jang tidak lutju membatja madjalah Saudara.” Redaktur menjawab pendek, “Ampun pak!!!” ↩︎
  18. Aktuil 115, 1973, hlm. 36–37. ↩︎
  19. Aktuil 91, 1972, “Who’s and Who versi Aktuil: Dirty Dozen plus One”. Di situ para redaktur menyebutkan majalah-majalah favorit mereka, seperti Mad, Rolling Stone, Melody Maker, Playboy, Reader’s Digest, National Geographic. Redaktur perempuan menyebutkan Simplicity dan Vogue. Dari majalah lokal cuma muncul dua nama: Aktuil dan Kuntjung. ↩︎
  20. Lihat Jennifer Lindsay, “Making Waves: Private Radio and Local Identities in Indonesia”, jurnal Indonesia nomor 64 (1997), Cornell University, hlm. 105–123. ↩︎
  21. Tentu frasa ini merujuk pada kalimat “hanja ada satu…Oslan Husein” di sampul depan piringan hitam vinyl 12-inch album Tahu Tempe dari Oslan Husein, rilisan Irama Records (LPI. 175083) yang sangat populer pada paruh pertama dekade 1960-an. ↩︎
  22. Aktuil 98, 1972, hlm. 6. ↩︎
  23. Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (Jakarta: Penerbit Nalar, 2009), hlm. 237–238. ↩︎
  24. Soleh Solihun, “Menunggu Matinya Majalah Musik” (2007), diunggah ke situsweb pribadinya: http://www.solehsolihun.com/2008/01/15/menunggu-matinya-majalah-musik/, diakses pada 7 November 2021. ↩︎
  25. Salah satu edisi terbaik dari kolom ini muncul di Aktuil 104 (1972), saat dipegang oleh Remy Sylado, mengomentari pemberlakuan ejaan baru (Ejaan yang Disempurnakan) ketika itu. Sindiran kocak yang dijuduli “Ini Ejaan Baru/Ini Baru Ejaan” itu dibuka dengan pelesetan teks proklamasi. Usulnya, “[…] supaja betul2 Indonesia terbasmi dari pengangguran, maka biarlah soal ganti-mengganti edjaan dilakukan lima tahun sekali.” Lebih lanjut, “Dalam edjaan baru sekarang, huruf-huruf jang baru mendapat kerdjaan jang lumajan dari pertjetakan-pertjetakan, barulah huruf2 c dan y. Ini harus dipikirkan lagi setelah lima tahun, agar pertjetakan2 bisa memainkan pula huruf2 q dan x. Dan setelah itu huruf2 v dan z djuga harus sibuk.” Di kolom ini tercatat Remy memakai kata ‘kiwari’ sebagai padanan ‘kontemporer’. ↩︎
  26. Agus Sopian, “Putus Dirundung Malang”, di majalah Pantau, 6 Agustus 2001, mengutip kesaksian Yusran Pare, penanggung jawab harian Metro Bandung, yang pada 1980-an menjadi penjaga gawang rubrik kebudayaan di Bandung Pos. Yusran di awal 1970 “sudah biasa merengek pada ayahnya untuk dibelikan Aktuil.” ↩︎
  27. Lihat “Hikayat Mona Lisa, Apple, dan Hidayat Recording” dan “Kisah Yess dan Idealisme Kaset Rumahan” di TEMPO, 7 April 2014. ↩︎
  28. Agus Sopian, “Putus Dirundung Malang”. ↩︎
  29. Majalah mingguan Ekspres, “Musik Pop Indonesia: Hanja The Djreng-Djrengs?”, 15 Agustus 1970, hlm. 12–16. ↩︎
  30. Majalah Musika terbit pertama kali pada September 1957, dengan tagline “madjalah musik bulanan, pembina selera musik jang baik”. Ada kalimat begini di halaman masthead, “Diterbitkan untuk orang jang muda dihati dan suka musik: apa sadja, dimana sadja.” Barangkali ada benarnya, di masanya memang cuma mereka satu-satunya majalah yang berfokus pada musik saja. Di edisi Agustus 1958, Wienaktoe (pemimpin umum Musika) mengumumkan: redaksi yang sama akan dialihkan ke terbitan lain yang juga dia kelola, yakni mingguan Olahraga dan Hiburan, dengan bahasan musik akan diselipkan di sana. Wienaktoe banyak menulis liner notes di piringan hitam rilisan Irama Records, seperti album Sarinande oleh Nick Mamahit (1958), Lagu Untukmu oleh Kwartet Bubi Chen (1962), Bubi Chen And His Fabulous 5 (1962), dsb. ↩︎
  31. Novel The Soft Machine itu mengilhami nama Soft Machine, band psychedelic rock dari Canterbury scene di Inggris. Kevin Ayers (vokalis/pemain bass) bermain di album pertama Soft Machine (1968), kemudian lanjut bersolo karier. Di debut solonya, album Joy of a Toy (1969), ada lagu “Oleh Oleh Bandu Bandong”, yang konon dipengaruhi oleh masa kecil dia di Malaya. ↩︎
  32. Majalah POP edisi 1, 1973, hlm. 14–15. ↩︎
  33. “Sekapur Sirih”, kata pengantar di buku Puisi Mbeling, Remy Sylado (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), hlm. xiii. ↩︎
  34. Wawancara dengan Remy Sylado, oleh saya bersama AMwave di Bogor, 28 November 2019. Dulu, surat izin penerbitan itu disebut SIT (Surat Idjin Terbit), sebelum diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Puisi yang dimaksud adalah “Larangan Ayah Ibu Pada Putranya”, dimuat di Aktuil 108, 1972, hlm. 46. ↩︎
  35. Lihat Emma Baulch, “Genre Publics: Aktuil Magazine and Middle-class Youth in 1970s Indonesia”, di jurnal Indonesia nomor 102 (2016). ↩︎
  36. “Sekapur Sirih”, Puisi Mbeling, Remy Sylado, hlm. xvi. ↩︎
  37. Menurut Maman Sagit, oplah Aktuil menembus angka 126 ribu eksemplar dalam kurun 1973–1974 (Agus Sopian, “Putus Dirundung Malang”). Sementara menurut Bens Leo, “[…] pada masa jayanya Aktuil pernah terbit 83.000 eksemplar”, dikutip oleh A. Tjahjo Sasongko dan Nug Katjasungkana di “Pasang Surut Musik Rock di Indonesia” di Prisma no. 10 Tahun XX, Oktober 1991, hlm. 58. Sebagai perbandingan, menurut buku Janet Steele, Wars Within: The Story of TEMPO, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia (Jakarta: Equinox, 2005), tiras TEMPO sampai 1976 atau 1978 adalah sekitar 25.000 atau 40.000 eksemplar. ↩︎
  38. Di tahun yang sama, 1973, Danarto membuat pameran Kanvas Kosong, pameran tunggal dengan sejumlah kanvas putih kosong berukuran besar dalam beberapa bentuk geometris, tanpa pigura. Lihat Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru – Sebuah Pengantar (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), hlm. 41. ↩︎
  39. Bandingkan dengan tulisan Bambang Bujono “Puisi? Konkret?” di TEMPO, 29 Juli 1978, yang juga termuat di buku Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969–2019 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Penerbit Gang Kabel, 2019), hlm. 238–242. Lihat juga tulisan Priyanto S. “Puisi Kongkret = Seni Rupa = Seni Bunyi” di buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1979), hlm. 81-83. ↩︎
  40. Aktuil 132, 1973, hlm. 42. ↩︎
  41. Di edisi berikutnya, Aktuil 145, 1974, baru diinformasikan siapa saja pengarang yang menggarap ramai-ramai cerpen “Rambut Pacarku” itu: Sri Indarti Sulistiawati (yang sebelumnya juga sering mengirim puisi ke redaksi), Abdul Hadi W.M., dan Remy Sylado. ↩︎
  42. “Take a newspaper. Take some scissors. Choose from this paper an article of the length you want to make your poem. Cut out the article. Next carefully cut out each of the words that makes up this article and put the all in a bag. Shake gently. Next take out each cutting one after the other. Copy conscientiously in the order in which they left the bag. The poem will resemble you. And there you are — an infinitely original author of charming sensibility, even though unappreciated by the vulgar herd.” Tristan Tzara, Seven Dada Manifestos and Lampisteries (translated by Barbara Wright, London: Calder, 1992), hlm. 39. ↩︎
  43. Lihat wawancara “Membongkar Sastra bersama Seno Gumira Ajidarma” (2016) oleh Whiteboard Journal di https://www.whiteboardjournal.com/interview/ideas/membongkar-sastra-bersama-seno-gumira-ajidarma/, diakses pada 12 November 2021. Sepenelusuran saya, puisi-puisi itu termuat dengan nama Mira Sato (nama pena Seno Gumira Ajidarma ketika itu) di rubrik “Puisi-Puisi Awam” asuhan Sonny Suriaatmadja di Aktuil 175, 1975, hlm. 26. ↩︎
  44. David Bowie memakainya antara lain di lagu “Sweet Thing” dan “Diamond Dogs” dari album Diamond Dogs (1974). Bowie menyebut the cut-up technique sebagai “a very western Tarot”, yang dicobanya lagi di album 1.Outside (1995), kali ini dengan bantuan komputer. (Lihat Peter Doggett, The Man Who Sold The World: David Bowie and the 1970s, London: Vintage Books, 2011, hlm. 200–202.) Di sebuah wawancara, Kurt Cobain mengakui lirik-lirik Nirvana yang ditulisnya adalah “total cut-up”. Sebagai penggemar berat William S. Burroughs, Cobain bahkan sempat berkolaborasi dengan sang idola merekam single sepanjang hampir 10 menit, berjudul “The “Priest” They Called Him” (1993). Beberapa lirik di album Radiohead Kid A (2000) tersusun atas kata-kata yang dipungut begitu saja oleh vokalis Thom Yorke dari dalam sebuah topi yang sengaja dia isi dengan potongan-potongan kertas bertuliskan kata dan frasa acak, yang dia kumpulkan di sela-sela sesi rekaman di studio. (Lihat Martin Clarke, Radiohead: Hysterical & Useless – Revised & Updated, London: Plexus, 2003, hlm. 146.) Zeke Khaseli menyinggung sekilas proses penulisan lirik lagu LAIN, “Ghost’s Cell” (2001), di kanal YouTube Eka Annash, Diskas!, di episode 49, “Surealis Simbol & Mimpi Zeke Khaseli”. (https://www.youtube.com/watch?v=u6FgQePBINc, diakses pada 29 September 2021.) ↩︎
  45. Ada beberapa versi mengenai alasan Remy Sylado keluar dari Aktuil, namun yang bisa dilihat sebagai versi resmi dari majalah Aktuil adalah pernyataan redaksi di Aktuil 175 (1975), saat menjawab satu surat pembaca yang bertanya, “Kemana 23761?”, yaitu: “[…] mulai Aktuil no.170 sdr. Remy tidak lagi tercantum sebagai Redaksi Aktuil, berhubung mulai nomer tersebut sdr. Remy atas permintaan sendiri telah mengundurkan diri dari Aktuil dikarenakan kesibukan-kesibukannya.” Dengan demikian, rubrik “Puisi-Puisi Lugu” di Aktuil 169 (1975) adalah edisi terakhirnya di majalah itu, memuat puisi-puisi karya Yudhistira ANM Massardi. ↩︎
  46. Di poster jumbo seukuran delapan halaman cetak itu, kalimat seruannya ditulis dengan gaya kaligrafi mirip aksara Jawa. Pantat besar Semar tersusun dari nama-nama band terkenal saat itu: God Bless, Koes Plus, AKA, Led Zeppelin, dan Deep Purple (yang baru saja diboyong Aktuil ke Indonesia untuk konser di Jakarta, 4–5 Desember 1975). Edisi Aktuil 185 (Februari 1976) ini juga memuat laporan lengkap konser Deep Purple itu, mungkin paling lengkap yang pernah ada di media cetak Indonesia, termasuk rincian keuangan acara yang membuat Aktuil merugi. ↩︎
  47. Esai Sanento Yuliman di “Galeri Pop Art”, Aktuil 183, 1976, dimuat juga di buku Galeri Seni Rupa Pop (Jakarta: Penerbit Gang Kabel, 2021), hlm. 182. ↩︎
  48. Ibid. ↩︎
  49. Esai Sanento Yuliman di “Galeri Pop Art”, Aktuil 185, 1976, dimuat juga di buku Galeri Seni Rupa Pop (2021), hlm. 100–101. ↩︎
  50. “Galeri Aktuil”, Aktuil 188, 1976, hlm. 46–48. ↩︎
  51. Esai Jim Supangkat di “Galeri Aktuil”, Aktuil 200, 1976, dimuat juga di buku Galeri Seni Rupa Pop (2021), hlm. 246–247. ↩︎
  52. Aktuil 202, 1976, rubrik “Galeri Aktuil”, hlm. 28. ↩︎
  53. Aktuil 199, 1976, rubrik “Galeri Aktuil”, hlm. 44-47. ↩︎
  54. Rubrik puisi “Soliloquy” yang oleh Remy juga ditasbihkan sebagai “mimbar mbeling” pernah memuat puisi-puisi kiriman Mira Sato, salah satunya di TOP 31, terbit September 1975, berupa kata-kata yang disusun sedemikian rupa sehingga bentuknya menyerupai tangga melingkar dan naik turun, judulnya “Siklus Kontemporer”. Puisi Remy Sylado yang bentuknya mirip, berjudul “Violence”, pernah muncul di Aktuil 106, 1972. ↩︎
  55. Salah satu edisi, dicetak di halaman warna, pernah menjejerkan karya Jeihan, Gendut Riyanto, cukilan lino Haryadi Suadi, dan satu karya Remy Sylado yang dia juduli mirip buku Albert Camus, L’Homme révolté (TOP 42, 1976). Di beberapa edisi lain dimuat seri “Zembarangh” karya Agus Dermawan T. (TOP 51, 1976 dan TOP 75, 1977). ↩︎
  56. Majalah Astaga edisi No.1 Th. II, Februari 1975, hlm. 48-49. Dua puisi itu berjudul “Balada Airin dalam Hutan” dan “Balada Yulia yang Setia”. Sampul majalahnya digambar oleh kartunis Dwi Koen, yang juga menggambar ilustrasi untuk kedua puisi tersebut. ↩︎
  57. Wawancara dengan Jim Supangkat, oleh saya di Bandung, 11 November 2021. ↩︎
  58. Di rubrik “Galeri Aktuil” di Aktuil 222, Jim Supangkat menampilkan beberapa karya dari Max Ernst, René Magritte, Salvador Dalí, dan Curt Stenvert, sambil menulis, “Ini karya-karya orang sono, abis pengiriman gambar menurun. Apa mau pada pensiun?” ↩︎

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *