Goodbye, Dragon Inn

Di satu sudut Taipei, sebuah bioskop tua harus menghadapi kematiannya. Malam itu pertunjukan terakhirnya sebelum gulung tikar. Di luar, gerimis belum juga reda, atap bocor, air menggenang di lantai. Hanya segelintir penonton yang datang membeli karcis. Bioskop lengang, penonton membisu di hamparan kursi-kursi kosong. Sesekali terdengar derak-derak roda proyektor, pertarungan pedang dari film kungfu klasik berjudul Dragon Inn diputar di layar. Tsai Ming-liang, sutradara Taiwan kelahiran Malaysia, menggambarkan kecintaannya pada gambar hidup lewat setting gedung bioskop, masih dengan ciri artistiknya, nuansa kesedihan, perasaan teralienasi, segalanya muram. Adegan demi adegan berjalan lamban, minim dialog, mungkin sama sunyinya dengan perasaan penonton terakhir malam itu; turis Jepang yang kesepian, anak kecil bersama kakeknya, dan perempuan penjaga loket berkaki pincang, terseok-seok mencari tukang proyektor. Bahkan ada cameo dari aktor film Dragon Inn, memerankan dirinya sendiri yang kini sudah tua, datang ke bioskop menatap sosok mudanya di layar. “Movie lovers are sick people,” kata François Truffaut, sutradara Prancis favorit Tsai Ming-liang, dan gedung bioskop, dalam istilah penyair/kritikus Parker Tyler, adalah “psychoanalytic clinic of the average worker.” Joko Anwar membuat Janji Joni (2005) dan Giuseppe Tornatore dengan Cinema Paradiso (1988), sementara Tsai Ming-liang lewat Goodbye, Dragon Inn, soal kematian sinema. “No one comes to the movies anymore,” kata penonton di bioskop sepi itu, tapi seperti lirik lagu di penghujung film, “Year after year, I can’t let go.” Di hati para penggemarnya, sinema tidak akan pernah sepenuhnya mati.

Goodbye, Dragon Inn. 
Tsai Ming-liang, Taiwan, 2003. Color, 82 min. DVD. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *