Pada tahun 1996, Blur menulis lagu “Ernold Same”, sebuah perlambang yang bagus tentang rutinitas. Dilantunkan dengan ekspresi datar, demikian bunyi liriknya: “Ernold Same awoke from the same dream, in the same bed, at the same time, looked in the same mirror, made the same frown, and felt the same way as he did everyday.“ Ya, mereka bicara soal rutinitas, hal yang sama berlangsung terus-menerus. Adakah kita termasuk golongan si Ernold Same? Adakah tiap pagi kita harus terbangun karena dering jam weker (atau bunyi alarm di handphone) yang sama, menyeret langkah ke kamar mandi di waktu yang tidak jauh berbeda, sarapan dengan menu yang itu-itu saja, sambil membaca koran yang selalu sama, TV yang menyala di channel yang tak pernah berubah? Lirik berikutnya, “Then Ernold Same caught the same train, at the same station, sat in the same seat, with the same nasty stain, next to same old what’s-his-name, on his way to the same place, with the same name, to do the same thing, again and again and again.” Lagu itu seperti menyindir kita, orang-orang berwajah beku yang menjalani hari-hari ajeg yang luar biasa membosankan. Tiap hari kita berangkat ke tempat yang sama (kerja, sekolah, atau apapun) dengan rute dan ritual yang sama; menyetir kendaraan pribadi dengan pemandangan serupa tiap kali kita melongok ke luar jendela, atau menunggu bus yang sama di halte yang sama, berdesak-desakan dengan penumpang sama antara kemarin, hari ini, dan esok. Senin tak jauh berbeda dengan Selasa dan Rabu dan Kamis dan Jumat. Jika kita terus-terusan tenggelam di dalamnya, boleh jadi hal-hal yang sudah mulai kehilangan makna jadi semakin tak bermakna. Film Dead Poets Society (Peter Weir, 1989) barangkali menunjukkan contoh bagus soal itu. Seorang murid sekolah persiapan bernama Todd (diperankan oleh Ethan Hawke yang masih belia) mendapati sekolahnya sebagai sesuatu yang dingin dan kaku. Guru-guru yang keras, sistem belajar yang kuno, peraturan ketat, kamar-kamar asrama yang sempit, dan menu sarapan yang nyaris tak pernah berganti dari hari ke hari. Dan semuanya harus dijalani tanpa hak untuk bertanya. Jadilah Todd dan kawan-kawan sekelasnya sekumpulan Ernold Same yang hampa bagai robot-robot tak berjiwa. Mereka akhirnya mencicipi makna kehidupan yang sesungguhnya dari seorang guru baru bahasa Inggris yang kemudian menjadi favorit mereka, John Keating (Robin Williams). Seisi kelas tercerahkan oleh sihir bernama ‘puisi’. Pak Keating mengubah cara konvensial yang biasa-biasa saja, puisi disulap jadi sebuah élan yang menumbuhkan. Kelas mendadak riuh rendah membahas karya Byron, Frost, apa saja. Anak-anak muda itu menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Semua dipersilakan berekspresi, dibebaskan bereksplorasi; termasuk menulis sebaris puisi pendek yang mungkin terdengar tolol: a cat sat on a mat. Pak Keating yang nyentrik, berselera humor bagus dan dipanggil “O Captain! My Captain!” (dari judul puisi Whitman) bahkan menyuruh para siswanya berdiri naik ke atas meja, untuk “memandang hidup dari perspektif yang berbeda.” Dalam kata-kata Thoreau, “The universe is wider than our views of it.” Ada benang merah di film Dead Poets Society dan lagu “Ernold Same”, betapa rutinitas mesti diterobos dengan kebaruan. Tentu ini butuh keberanian, seperti satu bait di puisi Chairil Anwar, “Aku suka pada mereka yang berani hidup, aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.” Jika merasa hidup ini membosankan, coba tonton film Dead Poets Society, dan jangan ketiduran. Ajaklah Ernold Same, kepalkan tangan ke udara, dan berteriaklah bersama-sama: Carpe diem! Seize the day!
(Ditulis dengan nama lain untuk kolom di sebuah free magazine.)
[LINK] Blur – “Ernold Same” (live)