Aku senam, maka aku ada.
Mengenang kembali Senam Kesegaran Jasmani (SKJ), senam wajib yang sempat populer di era Orde Baru, sejatinya adalah mengulang pengalaman olahraga empat menit yang absurd. Atas nama nostalgia, saya mengunduh file musik pengiring SKJ ’88 dari internet, berdurasi 04:19, lalu menyetelnya keras-keras di kamar. Mendapati intro lagunya berupa bunyi peluit yang bersahut-sahutan di antara hentakan drum, saya baru menyadarinya sekarang, langsung muncul prasangka di kepala saya: jangan-jangan itu semacam perlambang obsesi Orde Baru atas ketertiban dan stabilitas, karena bukankah itu gunanya peluit? Pak Polantas meniupnya di jalan raya demi menyetop sepeda motor yang melanggar lampu merah. Wasit sepakbola memakainya di lapangan untuk menyemprit bek kiri yang terlalu keras mengganjal penyerang lawan. Dan bagaimana mungkin saya lupa guru olahraga di SD dulu, yang setelan baju training dan wibawanya terasa kurang afdol jika tanpa kalung peluit di lehernya? Dialah yang biasa berteriak-teriak lewat pengeras suara setiap Jumat pagi, sambil sesekali membunyikan peluit saktinya, gusar karena murid-muridnya susah sekali untuk sekadar berjejer rapi di halaman sekolah. Setelah barisan dirasa cukup solid dan enak dipandang dari bawah tiang bendera, barulah semuanya—guru, murid, karyawan Tata Usaha, tanpa terkecuali—dengan semangat “tiada hari tanpa olahraga” tunduk patuh pada mini compo butut yang gagah mengumandangkan komposisi karya N. Simanungkalit (SKJ ’84) dan Januar Ishak (SKJ ’88) itu.
Namun ketika sampai di menit kedua dari sesi mendengar file unduhan tadi, yang kemudian berkelebat di pikiran saya justru kenangan-kenangan masa kecil yang langsung meruntuhkan prasangka tentang obsesi ketertiban tersebut. Adegannya seperti ini: setelah berjalan di tempat selama 2 x 8 hitungan untuk pemanasan, menurut aturan baku, peserta senam seharusnya bergerak serentak berbalik menghadap ke kanan. Tapi selalu saja ada di antara kami, namanya juga anak SD, yang malah sengaja menghadap ke arah sebaliknya. Jadilah beberapa muka saling berhadap-hadapan, dan kami pasti tertawa cekikikan karenanya. Juga di gerakan-gerakan selanjutnya, sengaja mendorong tangan ke samping secara berlebihan sampai menyenggol bahu teman di sebelah, serta seabrek adegan slapstick lainnya. Kepatuhan ternyata tak selalu berjalan dengan semestinya. Di negeri yang penuh bakat pelawak ini, kepatuhan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan lelucon. Mungkin SKJ memang bukan soal kepatuhan, melainkan tentang bersenang-senang. Jumat pagi bisa berarti kesempatan emas melihat kecengan di luar kelas. Meski hanya bisa menatapnya dari jauh, itu pun dari belakang, tapi pemandangan sang pujaan melompat-lompat lucu mengikuti irama lagu tak jarang bikin hati ini ikut melompat-lompat. Tak kalah mengasyikkan, mendapati guru Matematika berkacamata tebal yang biasanya tampil menakutkan dengan penggaris besi di depan kelas, tiba-tiba melenggak-lenggok jenaka ke kanan dan ke kiri. Menengok sejarahnya, bisa jadi SKJ memang lahir dari keinginan untuk lebih bersenang-senang. Ia semacam koreksi dari senam massal sebelumnya, Senam Pagi Indonesia (SPI). Masyarakat mulai mengenal SPI ketika Presiden Soeharto menyebutkannya dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR, 16 Agustus 1975, “[…] sangat besar manfaatnya bagi pembinaan raga, juga agar kita tetap sehat dan lincah, serta untuk menggerakkan dan menggelorakan lagi semangat berolah raga.” Sejak itulah pemerintah mewajibkan sekolah-sekolah melakukan senam pagi sebelum pelajaran dimulai. Gerakannya diramu dari jurus-jurus silat asli Indonesia (konon beberapa pengurus Ikatan Pencak Silat Indonesia banyak terlibat di perumusannya), dengan sedikit banyak pengaruh taisho, yakni senam khas Jepang yang biasa dilakukan pagi-pagi dengan menghadap ke arah matahari sebelum beraktivitas sehari-hari. Tapi masalahnya, meski ada siaran petunjuk gerakan SPI di TVRI setiap hari Minggu pagi, bagi beberapa kalangan gerakan senam ini tetap dirasa sulit. Salah satunya, Ismail Marahimin, di majalah TEMPO, 2 April 1983, menuliskan kritiknya, “Gerakan-gerakannya sangat tidak sederhana. Dalam satu hitungan terdapat dua, tiga, bahkan empat gerakan, yang jika dilaksanakan dengan baik memang akan menghasilkan sederetan gerakan indah. Namun sangat rumit, sehingga akan menimbulkan perasaan kikuk pada orang awam.” Ismail yang kebetulan sempat mengalami masa wajib taisho di zaman pendudukan Jepang, bahkan menilai urutan gerakan SPI tak memenuhi standar dalam melatih otot-otot tubuh secara nyaman. Dia mengusulkan perlu adanya senam baru yang lebih sederhana, logis, dan populer. Jika perlu, imbuhnya, ajak artis terkenal untuk ikut kampanye, seperti Bob Tutupoly atau Gepeng. Maka lahirlah SKJ, yang pertama kali diperkenalkan pemerintah pada 11 Maret 1984 (perhatikan tanggalnya, keramat ala Orde Baru), di era Menpora legendaris Abdul Gafur. Berhasilkah usaha SKJ ini, terutama dalam “memasyarakatkan olahraga, dan mengolahragakan masyarakat”? Seorang ibu dari Cilacap cukup serius menulis surat pembaca di harian Kompas, 8 Mei 1984, “[…] kami menghimbau agar TVRI juga menyajikan peragaan dan petunjuk untuk SKJ secara gerak lambat. Sehingga seluruh lapisan masyarakat yang berminat dapat belajar sendiri.”
Sementara dari obrolan dengan teman-teman sebaya saya yang mengalami olahraga semi-didaktis ini, hampir semuanya tersenyum ketika mengingat kesan mereka tentang SKJ: kocak, fun, seru! Beberapa menjawab: nggak penting, sambil tetap cengengesan. Rupanya bagi beberapa siswa, empat menit yang harus rutin dilalui tiap pekan itu bukanlah beban. Itu hanya formalitas santai layaknya jadwal piket kelas yang penuh dengan lempar-lemparan kapur, penghapus, bahkan sapu. Kalau Warkop DKI saja sampai merasa perlu memasukkan adegan senam nasional ini di salah satu film mereka—peraganya Eva Arnaz, berkaos yukensi dengan pameran bulu keteknya—bukankah itu kian menegaskan kekocakan senam ini? Mungkin Anda juga tahu tebak-tebakan garing ini, yang sempat beredar luas di pergaulan, “Tank apa yang bikin sehat?” Jawabannya menyebalkan, “Tank, teng, teng, teng, teng, teng…” yang harus diucapkan sesuai nada SKJ ’84. Boleh jadi tak semua orang tertawa karenanya. Tapi guyonan itu, selain jahilnya yang khas Indonesia, juga bisa dibaca sebagai pengakuan kolektif bawah sadar kita bahwa SKJ memang bikin sehat. Sampai hari ini, tiap kali mau berolahraga dan harus melakukan gerak pemanasan sebelumnya, disadari atau tidak, yang saya pakai adalah langkah-langkah SKJ ’88. Rupanya, setelah sekian tahun, seri gerakan itu tetap bersemayam di ingatan. Mengenangnya kembali, kali ini dengan lebih serius dan dahi berkerut, berat hati saya musti mengakui, jangan-jangan ucapan Soeharto tentang “agar kita tetap sehat dan lincah” itu benar adanya. Karena setiap beres ber-SKJ-ria, saya yang termasuk cukup serius menjalaninya langsung merasa lebih bersemangat dan lincah di kelas sepanjang hari. Bisa jadi itu cuma efek psikologis dari menatap si pujaan hati atau tertawa karena tingkah konyol teman-teman ketimbang kesehatan jasmani, tapi bukankah jiwa dan raga saling berhubungan? Jargon paling beken di dunia olahraga ini rasanya harus sedikit dipelintir: mens senam in corpore sano. Dalam senam yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.
[Budi Warsito]
* * *
Tulisan ini dimuat di rubrik Olahraga majalah Bung! edisi perdana, Oktober 2011, hlm. 77-78.
>> Yuk, unduh musik SKJ ’88 untuk memulai pagi-pagi Anda dengan lebih semangat!
membacanya di versi majalah dan versi online, sama memuaskannya! Wuah.
Trims Brur! Mungkin kita harus bikin majalah, namanya: Brur! ya. Piye?
sayang sekali, waktu SKJ populer, saya belum lahir. (lihat di youtube, nampak seru hahaha).
Untung ada teknologi ya. Arsip-arsip online semacam ini menurut saya harus lebih diperbanyak lagi
di SMP masih SKJ gak ya??? lupa bud… wkwkwkw
Seingatku sih udah nggak ada ya Ton. Eh atau sempat ngalamin pas SMP kelas 1 tapi cuma bentar ya? Terakhir yg masih kuinget SD kelas 6, tahun 1992. Nama senamnya ya SKJ ’92. 🙂
Saya sejak sekolah masih sempat Senam Kesegaran Jasmani, tapi di saat jaman sekarang ini, apakah masih ada senamnya atau kaset VCDnya atau yang lain, karena itu merupakan senam yang termurah dan praktis.