Suatu sore di bulan Maret 2012, Rahmat Arham tiba-tiba muncul di kantor saya. Tanpa ba-bi-bu dia langsung bilang ingin mewawancarai saya untuk dimuat di sebuah majalah lokal, pada edisi bulan depannya. Saya jarang mengiyakan permintaan semacam itu, tapi entah tersambit angin apa saya mengangguk saja waktu itu. Belakangan ada kabar, wawancara itu pemuatannya diundur hingga waktu yang belum bisa ditentukan, atau malah batal terbit sama sekali. Atas sepengetahuan Arham, berikut ini saya pajang hasil kerjanya:
Kineruku, a backyard for knowledge
Oleh Rahmat Arham
Mungkin belum banyak orang mengenalnya. Sikapnya dingin saat mula berjumpa, namun kian lama kita berada di dekatnya, kian luntur pula sifat pendiamnya. Pria 32 tahun ini gemar memakai jaket merah khas, bergambar Bud Man—memotong satu huruf dari namanya—mungkin kostum itu membuatnya percaya diri bagai superhero. Soal berkeliling bersajian dalam konteks dialog, Budi Warsito piawai menyulap sekelumit perbincangan entah soal buku, musik, ataupun film, menjadi obrolan yang lebih seru dari seharusnya. Minat luasnya pada musik Indonesia lama, khazanah sinema dunia, buku-buku sastra yang seharusnya dibaca namun sayangnya tidak; niscaya membuat kita terlena menghabiskan bercangkir-cangkir teh sambil mendengarnya berfasih-fasih soal itu. Dia curang soal senyum: tak pernah dibiarkannya lawan bicara melemparkannya mendahului dia. Malaikat pencatat amal kebajikan pasti kewalahan menghitung berapa kali dia tersenyum tiap hari. Anekdotnya seringkali tak tertebak, meski dia enggan membicarakan masa lalunya sebagai salah satu otak di balik naskah ratusan episode komedi televisi Extravaganza, menjadi pemimpin redaksi di edisi perdana majalah kehidupan pria Bung!, atau kuliahnya yang akhirnya beres juga meski dengan bersusah payah. Gelak tawanya berderai-derai bercampur haru mengenang itu semua. Kini fokusnya—bersama partnernya, Ariani Darmawan—mengurusi toko buku dan perpustakaan Kineruku di Bandung. Sebelumnya tempat itu bernama Rumah Buku, sekarang Kineruku. Tahun ini usianya genap memasuki angka sembilan. Semisal anak sekolah, Kineruku saat ini duduk di bangku kelas 3 atau 4 SD, sedang mengejawantahkan pelajaran sejarah tentang masuknya Portugis ke Nusantara, belajar menghitung luas lingkaran, menghapal perbedaan angin muson barat dan muson timur. Mulai tumbuh bibit-bibit suka melirik lawan jenis, lihai menangkap peluang tatkala pembagian tugas belajar kelompok, atau sekadar saling bertukar bekal makan siang dari rumah. Kineruku terus menambah rak referensinya dengan semangat anak 9 tahun: disukai segala umur, antusiasme yang selalu terjaga. Saya meyakini Kineruku adalah tempat paling tepat untuk menghabiskan waktu—terutama jika kamu bijak menggunakannya. Membaca buku di halaman belakang, menonton film-film klasik, mencicipi nasi goreng ijo, menyeruput kopi vietnam, melewati senja. Di salah satu senja itulah, saya berusaha mengorek isi kepala “si kepala sekolah” tentang Kineruku yang belajar merangkak dan berjalan di usia balita, mantap berlari di usia sembilan, dan bagaimana caranya tetap melaju dengan koleksi-koleksi ajaibnya.
Seperti apa tahun-tahun awal Kineruku?
Pertama kali saya bikin program pemutaran film, tahun 2004 bareng Ariani, sok serius banget temanya, The Other Side of American Cinema. (tertawa) Ada empat film, pakai VHS semua waktu itu. Salah satunya film Linklater, judulnya Tape. Pemainnya tiga orang, sepanjang film setting-nya cuma satu tempat di kamar hotel. Penonton yang datang nggak lebih dari 10 orang, tapi kami sudah seneng banget waktu itu. Setelah beberapa program tematis di tahun-tahun awal, belakangan mulai berkembang ke film-film Indonesia dibarengi diskusi menghadirkan sutradara, seperti pada tahun 2009 ada film-film pendek Ifa Isfansyah (pra-Sang Penari, tentunya), juga ada Impian Kemarau (tapi Ravi Bharwani sendiri malah nggak dateng!), Eliana, Eliana (ini personal favorite saya dan Ariani), Babi Buta yang Ingin Terbang-nya Edwin, dan lain-lain. Pernah juga muter kompilasi film-film pendek tugas akhir beberapa mahasiswa IKJ.
Koleksi buku/musik/film di koleksi rental Kineruku berasal dari mana?
Awalnya koleksi pribadi dari para pendiri. Ketika buka pertama kali tahun 2003 ada sekitar 400-an buku. Pelan-pelan bertambah.
Ada peningkatan pesat jumlah anggota perpustakaan Kineruku selama tiga tahun terakhir ini. Kenapa?
Banyak faktor, tapi mungkin benar kata pepatah, “Ada gula ada semut”? Masalahnya, kami dulu terlalu lamban mempromosikan gulanya! (tertawa) Saya tercatat menjadi anggota pada tahun 2003 dengan nomor anggota 18. Sekarang jumlah anggota sudah tembus angka 1800 lebih. Berarti sudah seratus kali lipat. Banyak pengunjung mengaku menyesal baru tahu Kineruku belakangan. Misalnya, di tahun-tahun terakhir mereka kuliah dan sudah harus cabut dari Bandung untuk bekerja di kota lain. Karena itu mulai 2010 Kineruku juga buka di hari Minggu, memfasilitasi publik dari luar kota, meski cuma sampai jam 5 sore. Hari Senin-Sabtu sampai jam 8 malam. Tahun 2009, Efek Rumah Kaca pengen manggung akustik di taman belakang perpustakaan kami. Risky Summerbee & the Honeythief (2009), White Shoes and the Couples Company (2010), dan Zeke Khaseli (2011) juga pernah menjajal teras belakang kami. Sedikit banyak itu bikin anak-anak gaul jaman sekarang jadi ngeh ada tempat seperti Kineruku. Apalagi setelah mereka tahu koleksi perpustakaannya. Semua faktor tadi bekerja simultan begitu saja, seperti cara kerja alam semesta yang nggak sepenuhnya kita tahu.
Berarti Kineruku cocok untuk kaum muda yang sedang bergelora?
Sebenarnya nggak terbatas kalangan muda saja. Banyak juga anak kecil hingga orang tua. Di dekat sini ada SD, murid-muridnya sering mampir ke sini setelah pulang sekolah. Kebetulan kami memang punya satu sudut kecil di sebuah rak yang isinya buku anak-anak. Saya pernah menyapa satu anak paling kecil yang semangat banget buka-buka buku cergam, “Udah bisa baca, Dek?” Jawabnya penuh semangat, “Belum, Kak! Tapi bentar lagi bisa!” (tertawa) Siapa yang nggak terharu, coba? Ada juga bapak-bapak tua berambut putih yang selalu datang jalan kaki untuk meminjam buku. Tapi kebanyakan sih memang anak muda. Nggak sedikit juga pengunjung yang mengaku sangat terbantu oleh buku-buku di Kineruku dalam menyelesaikan salah satu masalah klasik terbesar sepanjang sejarah anak muda: skripsi. Kalau kalian galau melulu gara-gara judul skripsi ditolak terus sama dosen pembimbing, datanglah ke sini dan temukan sendiri solusinya di rak referensi. Juga rerumputan hijau di taman belakang, suara cericit burung di rindangnya pepohonan, itu terbukti obat stres paling mujarab hari-hari ini. Percayalah, kicau burung asli jauh lebih menenangkan ketimbang kicau burung Twitter. (tertawa)
Selain bekerja mengelola Kineruku, hobi apa yang sering menghabiskan waktu?
Pekerjaan dan hobi saya beda-beda tipis. Sebelas duabelas lah.
Piringan hitam juga termasuk hobi? Koleksi plat pertamanya album apa?
Beberapa tahun belakangan ini piringan hitam tiba-tiba naik lagi. Entah kenapa banyak orang seperti berlomba-lomba mengoleksinya. Beberapa teman dekat menangkap tren itu, lalu bikin acara muter plat bareng dan ngobrol di Kineruku. Nama acaranya Dheg Dheg Plat. Orang-orang suka nama itu! (tertawa) Plat pertama yang saya beli, album Oslan Husein warna kuning yang ada lagu “Es Mambo”, waktu itu harganya masih sepuluh ribu perak.
Berapa banyak piringan hitam yang dikoleksi sekarang? Dari koleksi itu, apa yang bisa mendeskripsikan Kineruku secara keseluruhan?
Hmm, sebenarnya hidup ini terlalu kompleks untuk digambarkan dengan hanya satu dua album. Mungkin saya pilih album-album Adikarso dan Jimmy Giuffre. Mau yang digarap musik gambus, keroncong, lagu anak-anak, apapun, semua komposisi jadi terasa hangat, damai, di tangan Adikarso. Ringan tapi tetap elegan. Dia bisa berdendang santai soal segarnya sirup markisa, faedah makan pepaya, cuek menghilangkan punchline ‘Dor!’ di lagu “Balonku”, atau malah bikin biografi seorang tukang solder. Kalau Giuffre saya tahunya dari koleksi plat Ariani yang kebanyakan jazz tua dan world music. Saya langsung jatuh cinta pada pendengaran pertama. Tiupannya maut, lembut tapi tengil. Pernah ketika tampil sendirian meniup klarinet, kakinya dihentak-hentakkan di lantai. Ada twist di sana-sini, langsung membekas di hati. Pengennya Kineruku bisa seperti itu. Luwes, bergizi, ngangenin.
Piringan hitam musisi Indonesia dan luar negeri yang akhir-akhir ini sedang on heavy rotation?
The Fugs First Album. Ini band favorit saya! Bentukan penyair Beat dan pemilik toko buku, direkam tahun 1965 oleh Harry Smith dan mengilhami The Velvet Underground. Mereka pernah sepanggung ketika Lou Reed dkk bahkan masih belum bernama The Velvet Underground. Kamu harus dengar lagu mereka judulnya “Nothing”! (tertawa) Untuk rilisan lokal, selain plat-plat tua berisi lagu tradisional seperti gambang kromong asli, gendhing Jawa, atau musik saluang dari Minang; favorit saya masih Johnny Alexander Sengketa Keraton Demak (1980). Biasanya saya puter di malam hari, pura-puranya relaksasi setelah seharian bekerja. (tertawa) Eh, tapi Soelih Soejatno Vol. 1 mantep juga tuh buat santai-santai melankolik. Kalau pagi-pagi sih seringnya plat Igor Tamerlan Langkah Pertama (1981). Biar semangat! Musiknya seperti menjitak saya.
Mengelola perpustakaan pasti sering dimintai rekomendasi. Buku/musik/film apa yang sebaiknya ditengok pengunjung Kineruku?
Semua koleksi Kineruku! (tertawa) Biasanya sih saya tanya dulu kesukaan mereka apa, lalu dari situ saya sarankan untuk mencoba ini dan itu. Misalnya, suka Kubrick, coba periksa film-film Tarkovsky. Demen Wes Anderson? Harus nyobain film-film Hal Ashby dong. Nge-fans sama Sharon Van Etten, dengerin Sibylle Baier deh. Yah, semacam itu lah. Tapi paling seneng sih lihat ekspresi pengunjung setelah berhasil saya ‘tipu’ nonton Funny Games-nya Haneke yang versi asli 1997. Puas banget rasanya! Dan saya rasa kita harus tetap membaca buku-buku Idrus.
Sembilan tahun Kineruku. Apa harapan ke depan?
Pengunjung perpustakaan makin banyak dan beragam, sekaligus efektif dan efisien. Banyak referensi buku/musik/film kami yang belum pernah tersentuh sama sekali. Mungkin saya dan Ariani harus lebih giat lagi promosinya. Itu masih PR besar buat kami. Sempat skeptis juga sih dengan social media, tapi mungkin harus dicoba. Meski nggak harus segencar itu juga. “If you want to get laid, go to college. If you want an education, go to the library.” Itu kata Frank Zappa.
* * *
Mas budi! Seneng deh baca cerita tentang Kineruku disini! Udah 9 tahun ya? Lama juga.. Kangen pengen kesana lagi. Dulu suka bgt sama homemade sandwichnya. Hihi.. Anw, cerita mas tentang kineruku bikin saya semangat ngerjain apa yang saya suka! Soalnya saya baru ngerjain itu selama 3 tahun dan belum keliatan hasil yg signifikan. hehe.. If it takes 9 years or maybe more to settle, be it! Maju terus pantang mundur! 😀
Hai Ratie! Masih ada lho homemade sandwich-nya. Mau 3 tahun atau 300 tahun, yg penting kamu mengerjakan apa yg kamu sukai dan menyukai apa yg kamu kerjakan. Aduh sok bijak banget nih saya. 🙂
Ah, saya jadi malu dengan pertanyaan saya di komentar sebelumnya. Mas Bud ini ternyata pentolannya Kineruku toch.. Pantas.. Salam kenal ya mas.. Pengen ketemu deh jadinya ngobrol-ngobrol..
Ditunggu kedatangannnya di Kineruku, Titi. 🙂
Salam kenal Mas, lain kalau kalau ke Kineruku saya sapa ah!
Sebenarnya konsep Kineruku ini seperti apa sih? Hal apa yang menjadikan ketertarikan pada perpustakaan ini? Adakah pengaruh untuk perkembangan pendidikan pada anak?