Bapak pernah sangat marah padaku, dan tak sengaja beliau menjatuhkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang luar biasa tebal dari rak bukunya, tepat mengenai luka yang belum terlalu kering di lutut kananku. Beberapa hari sebelumnya lutut kananku memang cedera parah gara-gara jatuh dari pohon belimbing di halaman depan, setelah menaiki kursi dingklik bikinan Bapak yang tentu saja tidak sempurna konstruksinya sebab beliau memang bukan seorang tukang kayu. Luka itu kemudian terbuka lagi, tertimpa ratusan halaman kata-kata, dan darah segarnya mengucur. Merembes ke bawah, terus ke bawah, melewati betisku, menyelusup di antara jari kaki, berakhir membasahi lantai. Aku ingat bagaimana Bapak kemudian mengelap basah yang amis itu dan membungkus lututku dengan perban baru, merawatnya dengan obat-obatan. Bapak melakukannya dengan penuh rasa sesal, bercampur kasih sayang yang tersamar, dan muka keras yang murung. Beliau menangis. Aku, masih sangat kecil waktu itu, sibuk menggigiti bibirku, badanku gemetar menahan supaya tangis tak ikut pecah. Antara rasa pedih akibat luka itu, penglihatan atas raut wajahnya yang tua dan lelah, dan terutama pengetahuan bahwa hidup beliau memang tidak mudah. Aku mengerti.
Di Ruang Itu
Leave a reply