Selama SMA saya kurang bisa menikmati mata pelajaran Ekonomi, yang ketika saya kelas 2 dulu kok ya jadwalnya malah ditaruh persis di jam setelah pelajaran Olahraga, yang nggak kalah membosankannya. Setelah basah kuyub keringat hasil lari keliling stadion Manahan, kami masih harus belajar neraca pembayaran, jenis-jenis firma, teori uang, perdagangan internasional, dsb., dst. Ada saja alasan yang harus saya cari-cari supaya nggak usah masuk kelas di dua pelajaran itu. Beberapa berhasil, beberapa lainnya nggak. Saat berhasil bolos, saya keluyuran ke toko kaset, biasanya Aquarius Solo di sekitar Singosaren Plaza. Di situ saya menemukan kaset ini, salah satu pengalaman paling awal saya membeli dengan uang sendiri sebuah cassingle, atau kaset single. Ketika itu lagu “D’You Know What I Mean?” sudah berseliweran di radio, dan videoklipnya yang tampak songong (melibatkan adegan helikopter segala) lumayan sering nongol di MTV Asia—channel musik yang sekitar 1996-1997 di Solo hanya bisa diakses melalui antena parabola; saya nebeng nonton di rumah teman saya. [Sementara lagu “Don’t Look Back in Anger”, dari album Oasis sebelumnya, saya ingat saya tonton sekitar akhir 1995 di RCTI, kalau ini cukup pakai antena biasa di rumah sendiri, di jeda sekian menit antara satu program ke program berikutnya.] Saya terheran-heran di depan etalase terbaru di toko kaset, bagaimana mungkin kaset single isi 4 lagu doang bisa dijual dengan harga nggak terlalu jauh berbeda dengan kaset album penuh? Saya curiga jangan-jangan ada pertimbangan lain yang nggak pernah diajarkan di pelajaran Ekonomi. “Ini bener isinya cuma 4 lagu, Mas?” tanya saya berulang-ulang ke penjaga Aquarius sampai mukanya kayak sebel. Khusus album terbaru Oasis waktu itu ada tambahan 3 kaset single yang dirilis lokal oleh Sony Music Entertainment Indonesia, dan dari situ saya paham logika rilisan single: isinya satu lagu hit, ditambah lagu-lagu B-side(s) yang biasanya nggak bakalan ada di album penuh. Sebagai #TeamBlur saya bisa maklum lagu-lagu hits seperti “The Universal” dan juga single-single Blur lainnya nggak pernah dirilis cassingle edisi lokalnya di Indonesia sebagaimana rivalnya. Ketika itu Oasis memang lebih populer ketimbang Blur, dan lagu-lagu mereka jelas lebih radio-friendly. Saya pun masih ingat bagaimana album Oasis (What’s the Story) Morning Glory yang emang enak itu saya puter cukup sering di kamar sampai suaranya mendem dan pitanya loyo; bergantian dengan kaset The Great Escape-nya Blur yang cenderung lebih dingin, yang di track-track cerianya pun tetap terdengar kelam, dan vibes nyinyirnya malah bikin ketagihan. Kehebohan The Battle of Britpop yang dikompori media massa di Inggris itu pertama kali saya tahu dari kawan di bimbel Primagama, dia #TeamOasis banget, yang bapaknya seorang pelaut dan sering bawa oleh-oleh majalah musik tiap kali pulang dari berlayar keliling dunia. Awal 1997, Blur merilis album terbarunya, Blur, dengan sampul kuning, cerah tapi juga misterius; mencengangkan karena musiknya melesat jauh meninggalkan warna Britpop yang bahkan mereka dulu ikut pelopori dan kali ini lebih memilih mengeksplorasi sound American lo-fi ala Pavement, dicampur Sonic Youth dan Dinosaur Jr. yang diperlamban temponya. Saya makin jatuh cinta dengan Blur, menggilai “Beetlebum” dan membenci tapi sulit menghindari “Song 2”, mengagumi gitar Graham di nomor-nomor trippy mengawang seperti “Country Sad Ballad Man”, “Death of a Party”, “Strange News from Another Star”; dan terutama guitar-noise yang mengiringi spoken words Damon membacakan puisi bikinannya di lagu terakhir side B. Beberapa bulan setelahnya, sekitar pertengahan 1997, single terbaru Oasis ini keluar. Bagus memang, lagu “D’You Know What I Mean?” itu terdengar gagah dan meyakinkan, tetap sengak khas Liam dengan aransemen megah Noel, tapi sekaligus dari situ saya langsung tahu secara musikalitas Gallagher dkk ini nggak akan beranjak ke mana-mana. Saya membeli single-single Oasis lainnya dari album itu, menikmati B-side(s) mereka—salah satunya cover version “Heroes”-nya Bowie di kaset single ini, dan “Street Fighting Man”-nya The Rolling Stones di kaset single lain—dan memutuskan untuk nggak membeli album penuhnya, Be Here Now. Pagi tadi saya memutar lagi kaset single “D’You Know What I Mean?” setelah bertahun-tahun nggak. Pitanya sudah berjamur dan bunyinya hanya tinggal sayup-sayup, tapi suara-suara yang tersisa itu masih sanggup menggiring ingatan ke hari-hari yang sudah lama berlalu.
* * *