Kemarin sore ketika saya sedang serius mencuci sepatu, seorang penjual buku bekas tiba-tiba datang ke rumah membawa segunung majalah lawas. Benar-benar segunung. Tidak terlalu lawas sebetulnya, kebanyakan terbit pada dekade ’90an, dan atas alasan sentimentil yang tak terlalu jelas, saya sengaja hanya mengambil terbitan-terbitan 1997 saja. Mungkin karena pada sekitar tahun itu saya sedang duduk di kelas 2 SMA di Solo dan itu adalah masa-masa bolos sekolah paling mengasyikkan—pelajaran di kelas teramat membosankan sementara kultur pop (ceileh) tampak begitu menggoda: ya film, ya musik, ya buku, ya barang-barang loak, pokoknya kibul-kibul duniawi semacam itulah. Atau simply karena, jika dihitung dari sekarang, tahun 1997 itu adalah tepat 20 tahun lalu. Bukankah kita diam-diam menyukai angka bulat semacam itu? Saya masih ingat betul, pada masa itu majalah HAI harganya Rp 3.500, sama persis dengan 1 lembar tiket nonton bioskop 21 di Atrium Solo Baru atau Studio 21 di Singosaren Plaza. (Pernah saya menonton Con Air di bioskop sampai sehari dua kali saking sukanya, dan film itu masih menjadi guilty pleasure saya sampai sekarang.) Dengan uang seribu perak kala itu, makan siang di warung langganan anak-anak kosan di dekat sekolah sudah bisa bikin perut kekenyangan. Penunggu warungnya mas-mas berambut gondrong dan suka bermain saksofon untuk menghibur para pengunjung warung. Menunya standar: nasi putih bebas ngambil sepuasnya, sayur daun singkong di kuali, sambal yang pedasnya cuma basa-basi, dan satu ekor ikan lele gemuk yang digoreng alot; kalau lauknya mau diganti pakai tempe/tahu goreng malah bisa lebih murah lagi, cuma Rp 700. Itu memang masa-masa sebelum krismon. Tapi sesungguhnya bukan itu pokok perkara yang mau saya ceritakan. Begini. Dari tumpukan majalah terbitan 1997 tadi itu, acak saja saya comot satu eksemplar. Lalu saya buka-buka serampangan, mata langsung menyisir cepat halaman-halamannya. Ternyata saya masih hapal nama-nama rubrik di majalah HAI tersebut, terekam tak pernah mati, dan kenangan demi kenangan masa remaja berkelebat cepat di kepala, hingga akhirnya saya betul-betul ‘mak tratap’ melihat halaman cerpennya. Astaga, nama penulisnya! Nama yang sekarang tidak asing lagi, sangat akrab malah. Tapi ini kan 20 tahun lalu? Berarti usianya masih belum kepala tiga saat mengirim cerpen ini. Saya ngakak-ngakak bacanya. Jauh betul mutunya dibanding karya-karya mutakhirnya yang khas kita kenal selama ini. Memang sudah ada bibit-bibit menggemaskan (baca: nggapleki) seperti pada dialog berikut ini, saya ketik saja persis plek di sini: “Kau mau duit banyak?” tanya Dawil. “Pertanyaan bodoh,” jawab Rajeg seenaknya. “Sialan, mau tidak?” ulang Dawil. “Pertanyaan bodoh yang diulang, lha tentu saja mau, begitu begitu kok di tanyakan,” jawab Rajek masih cuek.” Selain masih memuat beberapa typo (bisa jadi itu kesalahan redaktur saat mengetik ulang naskah kiriman), ada inkonsistensi ejaan nama karakter, yang pilihan sebutan tokoh-tokohnya kok ya kurang lazim untuk ukuran majalah remaja pria paling pop saat itu. Bayangkan: Dawil Kasut, Rajegwesi, Setiaboma, Durmagati. Beberapa kecanggungan berbahasa di cerpen ini entah memang natural adanya, atau justru disengaja karena (maunya) disesuaikan pasar pembacanya? Halah, mbelgedhes. Lebih baik kita tanyakan langsung saja kepada si empunya cerita. Mas Yusi Avianto Pareanom, apakah sampeyan masih ingat cerpen lawas berjudul “Joki” ini? Jawabnya: cerpen itu dia tulis di Jogja pada sekitar 1989, artinya jauh bertahun-tahun sebelum akhirnya iseng dikirim ke majalah HAI dan dimuat. Dengan temuan menggembirakan ini, saya kira cuma masalah waktu saja saya bakal mendapatkan karangan-karangan awal Mas Yusi lainnya di majalah Kuncung misalnya, atau Ananda, atau Ceria (saya pernah dimuat di situ lho), atau Mop (ini juga legendaris di Jateng era 1980an), atau jangan-jangan pernah di Star Weekly juga? Tunggu update saya berikutnya.
_______
Hampir dua dekade setelah cerpen “Joki’, pada tahun 2008 Yusi Avianto Pareanom menulis cerpen “Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai“.