(cerita pendek oleh Asrul Sani)
Cerita ini mulai sebulan yang lalu, yaitu waktu saya memperoleh sebuah kamar baru. Kamar itu baik. Agak besar, cukup luas untuk tempat tidur dan rak-rak buku saya. Hawanya pun baik. Kalau hari siang ia amat panas dan kalau hari malam ia amat dingin. Sekiranya angin tidak ada, terbau bau tengik yang mesti saya atasi dengan bau obat nyamuk. Selain dari itu, ada lagi tikus. Tikus-tikus ini berusaha untuk hidup dan untuk dapat beranak-bercucu. Jadi mereka tidak lebih dari kaum proletar. Saya juga seorang proletar. Dan karena proletar seluruh dunia harus bersatu, maka akan dapatlah kami sekiranya hidup rukun dalam kamar itu. Tetapi kawan-kawan serikat saya ini, suka berpesta. Kalau kegembiraan mereka sudah naik marak, maka dimakannya buku-buku saya. Sehingga tak mengherankan, jika saya pagi-pagi harus menemui de Maupassant tak berkepala atau Dos Passos tak berpunggung.
Suatu hari datang seorang anak muda bersepatu putih, bertopi hitam, bajunya belang-belang dan ia memperkenalkan diri kepada saya sebagai: C. Darla. Ia tidak mengatakan apakah ia seorang Indo-Spanyol, atau Manila ataupun orang Indonesia yang berasal dari pulau Enggano (saya mendengar kabar, bahwa orang-orang Enggano masih memakai nama-nama Spanyol). Ia beroleh kamar yang letaknya lebih dekat ke kamar mandi. Bahasa Indonesianya langgam-langgam Singapura bercampur bahasa Inggeris sedikit-sedikit. Demikian ia bercerita tentang “British nébi yang léndid di Singapure.” Saya tertarik kepadanya, karena ia pandai berbicara tentang macam-macam pengalaman yang didapatnya di Singapura. Tentang bajingan-bajingan, “geng” katanya, tentang kaum komunis dan sebagainya. Waktu ia menyusun buku-bukunya, diberikannya buku “Atlantic Charter” kepada saya. Saya makin kagum. Tetapi kemudian hari dikatakannya, bahwa buku roman yang sebagus-bagusnya, ialah buku “Elang Mas” karangan Jusuf Sou’yb. Segera hilang kagum saya. Sungguhpun demikian kami tetap bersahabat.
Pergaulan kami amat rapat, sehingga banyaklah yang berkecil-kecil yang diceritakannya kepada saya. Ia menceritakan, bahwa ia mempunyai darah Spanyol, tetapi ia telah lama tinggal di Indonesia. Sebelum ia datang ke mari, ia berdiam di Singapura. Kedatangannya ke Jakarta membawa kisah sedih. Ia harus meninggalkan kekasihnya seorang gadis Pilipina di Singapura. Sesudah menceritakan itu ia mengetik ucapan-ucapan pernyataan-cinta dalam bahasa Inggeris yang tunggang-balik, lalu ditinggalkan di kamar saya. Tentang pekerjaannya ia tidak pernah berbicara. Hanya ia berangkat pukul 9 dari rumah dan pukul 1 telah ada pula. Tetapi rupanya pekerjaannya amat banyak, sehingga setiap sore ia meminjam mesin ketik, lalu mengetik terus-menerus. Sesudah itu lalu dibakarnya segala kertas yang diketiknya tadi. Lalu ia bersungut-sungut. Kemudian ia datang kepada saya untuk mengatakan, bahwa mesin ketik saya kurang “enak”. Kalau boleh ia hendak membawanya ke bengkel supaya diminyaki. Ini saya izinkan. Lalu ia hendak membelikan saya pita mesin ketik yang berwarna merah-hitam. Itupun saya setujui dengan hati yang tulus-ikhlas. Demikian ia melakukan perbuatan-perbuatan yang ganjil-ganjil dan yang penuh simbolik, sehingga menarik perhatian segala isi rumah. Ia menjadi pusat perhatian. Entah memang itu maksudnya, saya tidak tahu. Tetapi ia berhasil benar, sehingga tiada lagi orang yang menghiraukan keluhan-keluhan saya setiap pagi tentang pengarang anu yang kehilangan kepala atau yang kehabisan punggung ataupun yang pecah-pecah kulit. Demikian saya tinggal dengan teman-teman serikat saya yang menjadi musuh saya dan saya C. Darla yang mengalahkan saya.
Pernah Darla bertanya tentang cinta kepada saya, dan apakah telah banyak pengalaman saya tentang hal ini. Rupanya sangat tertarik benar hatinya akan pokok percakapan ini, sehingga kadang-kadang sampai sekerat malam kami bercakap-cakap. Katanya, ia masih muda, masih ingin melihat dunia dan belum mau kawin. Tetapi ia sekarang sedang tersangkut pada suatu perkara yang sulit. Perkara itu, ialah perkara kasih-sayang juga.
Sekali ia pulang membawa sebuah gelang rantai perak, seperti yang biasa saya lihat dipakai oleh serdadu-serdadu India atau Australia. Gelang itu diperlihatkannya kepada saya. Di sana tertulis: Cordiaz Darla. Jadi sahabat saya itu ialah: Cordiaz. Bukan nama Indonesia. Saya tidak tahu berbahasa Spanyol, tetapi kalau mendengar-dengar bunyinya, ada juga mengarah-arah sedikit. Sama enak kedengarannya, seperti perkataan Ortega dalam buku Ortega y Gasset dan perkataan Fernando dalam nama Fernando Poe. Percakapan kami malam itu dimulainya dengan ketawa besar. Sesudah itu ia berbicara tentan Arni. Saya tidak kenal Arni. Katanya, Arni, ialah “bekas” kekasihnya, dan sekarang gadis itu sudah kurus kering, karena ia tidak pernah datang lagi ke rumahnya. “Tidak ada orang yang dapat menggantikan saya,” katanya. “Huh!! Awak kire awak punya negeri! Ayahnya mesti datang kepada saya, minta ampun, baru saya datang ke sana. Ia mesti mendapat ajaran sedikit.”
“Jadi, menang lagi?” tanya saya.
“Siapa bilang kalah,” katanya.
Saya ikut tertawa karena sahabat saya menang. Tapi, Arni panjang umurnya di rumah kami, karena sahabat saya itu, mempercakapkan Arni saja kerjanya. “Ia tidak dapat bercerai dengan saya. Hatinya hancur luluh,” katanya. “Semua salah bapaknya. Sekarang anaknya makan hati.” Ia makin hari makin tidak senang diam. Surat-surat yang diketiknya makin lama makin banyak. Tetapi sebanyak itu yang diketiknya, sebanyak itu pula yang dibakarnya. Kalau ia tidak menyeterika celananya, ia mengetik, kalau ia tidak mengetik, ia ke luar rumah. Perginya terburu-buru. Tetapi secepat itu perginya, selekas itu pula kembalinya. Kalau sedang makan ia bercerita tentang saya-kasihan-sama-Arni.
Suatu malam ia pulang bergegas-gegas. Terus ke kamar saya.
“Ia mencari dukun,” katanya. “Saya mau diberi guna-guna. Bangsat! Saya juga ada dukun.”
Entah dari mana ia mendapat kemauan untuk pergi kepada dukun, entah dari ibunya, entah dari neneknya orang Spanyol, saya tidak tahu. Pendeknya—ia pergi kepada dukun. Sore-sore itu ia mengirim surat dan suatu bungkusan kepada Arni. Surat dan bungkusan itu kembali malam itu juga. Sesudah menerima itu, rupanya runtuh segala pasak-pasak tubuhnya. Dengan terbungkuk-bungkuk ia masuk ke kamarnya, lalu dikuncinya pintu erat-erat. Esok harinya, waktu saya kembali dari berjalan-jalan, saya lihat kopornya tidak ada lagi. Di atas meja saya ada surat. Di dalamnya tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Rumah ini terlampau ribut buat saya.” Kasihan! Rupanya banyak juga tikus-tikus dalam kamarnya. Dan kawan-kawan serikat saya ini rupanya bertindak sebagai kaum kapitalis, sehingga sahabat saya yang sama proletarnya dengan saya, tidak dapat bersatu dengan mereka—lalu pergi.
Sangka saya selesailah riwayat Cordiaz Darla. Tetapi minggu yang lampau saya mendengar kabar, bahwa ia telah kawin dengan seorang janda yang beranak lima. Saya pergi ke rumahnya. Agak merumuk ia sedikit waktu saya temui. Saya tanyakan bagaimana mereka kawin. “Bagaimana orang Indonesia kawin,” kata istrinya. Perempuan ini peramah betul dan ia lebih berpengalaman dari Darla, sehingga tak dibiarkannya Darla banyak cakap. Ia memperlihatkan surat kawin mereka kepada saya. Saya baca di sana nama: Chaidir Darla, jadi huruf C itu tidak berarti Cordiaz. Namanya memang Chaidir, karena istrinya memanggil, “Dir, Dir!” Jadi ia bukan orang Spanyol atau Pilipina. Waktu saya mau pergi saya katakan kepada Darla, bahwa saya ikut berbesar hati. Saya berjanji akan mendoa-doakan supaya mereka lebih banyak mendapat anak. “Ingat,” kata saya, “Orang tua-tua bilang: banyak anak, banyak padi!” Istrinya tersenyum berseri-seri.
Dua hari yang lalu saya menerima surat dari Darla. Dalam surat itu tertulis: “Saya tidak tahan lagi tinggal di sini. Tolonglah saya!”
Saya maklum sudah. Bagaimana ia akan tahan, kalau hatinya keras untuk jadi orang Spanyol atau orang Pilipina, sedang orang menganggap dia orang Indonesia. Lagi pula apalah salahnya. Bangsa saya banyak sudah yang menjadi orang Belanda, mengapa pula tidak akan diberi kesempatan kepadanya untuk menjadi orang Spanyol. Orang Indonesia belum banyak yang jadi orang Spanyol. Sebab itu saya kirimkan uang 50 rupiah dan saya tulis pada surat pengantarnya: “Untuk ongkos menjadi orang Spanyol.” Surat ini tidak berbalas. Menurut kira-kira saya sudah berhasil kehendaknya.
Tapi tadi pagi, saya lewat bersepeda di depan rumah Darla. Kebetulan saya bertemu dengan bujang perempuannya, lalu saya tanyakan kalau-kalau ia tahu tentang amplop berisi uang yang saya kirimkan.
“Ya, saya sendiri yang kasih sama nyonya,” jawabnya.
“Sama nyonya? Jadi…?”
“Nyonya terus beli kebaya baru.”
“O, bagus, bagus.” (Hati saya berkata, celaka tiga belas).
“Tuan sekarang di mana?”
“Katanya, kerja di bagian distribusi. Masuk dulu tuan!”
“Ndak, ndak. Lain kali saja.”
Saya pergi.
Ah, kandas. Tragis betul. Belum juga rupanya sampai cita-cita Darla untuk bernama: Cordiaz Darla. Tetapi tidak apa, siapa tahu ia besok menjadi orang Jerman atau orang Amerika.
* * *
Diketik ulang dari buku kumpulan cerita pendek Asrul Sani, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (Pustaka Jaya, cetakan pertama 1972). Sepengamatan saya, buku ini tidak pernah dicetak ulang, padahal sangat bagus. Asrul Sani juga menulis beberapa naskah film Indonesia yang kemudian menjadi klasik. Salah satu di antaranya adalah, yang juga dia sutradarai, film Indonesia dengan judul paling magis sepanjang sejarah perfilman nasional: Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969).
Tengok arsip Cerpen Favorit lainnya di tautan ini.
> ikhti[ar]sip.003
Baru mampir kali ini. Rupanya, inilah cerpen yang tokohnya dijadikan nama anak oleh Bapak saya seorang penyuka syair dan drama. Lama saya telah tahu bahwa ada cerpen karya Asrul Sani yang memiliki tokoh senama dengan saya. Tapi baru kali ini saya membacanya tuntas. Terima kasih Sdr Budi Warsito…
Salam kenal, Bung Cordiaz. Senang rasanya hasil salinan saya ada manfaatnya.