(cerita pendek oleh Jujur Prananto)
Sugeng benar-benar merasa masygul. Selama sekian tahun berkarier di bidang musik dan dunia tarik suara, baru kali ini ia menghadapi persoalan yang begitu meletihkan. Rasa-rasanya ia lebih senang dibebani pekerjaan memimpin produksi sebuah konser akbar yang melibatkan ribuan pemain sekalian, misal, daripada mengurus cuma beberapa orang, tapi harus berembel-embel perkara pelik yang tidak ada hubungannya dengan soal kesenian ini.
Ah! Awal kesalahan sebenarnya bersumber dari dia sendiri juga kenapa dulu mau menerima pekerjaan itu. Tapi, sudahlah, menyesali yang telah lewat tak akan pernah menyelesaikan masalah. Lagi pula siapa sih yang mau menolak honorarium delapan ratus ribu rupiah sebulan, tanpa kontrak yang mengikat, hanya untuk melatih sebuah paduan suara seminggu sekali?
“Kecuali kalau seumpama mau ada pergelaran, ya saya minta pengertian Dik Sugeng untuk meningkatkan frekuensi latihan. Bisa dua kali seminggu, atau kalau perlu malah tiap hari menjelang hari H-nya,” begitu penjelasan Ibu Gubernur waktu pertama kali memintanya menjadi koordinator sekaligus pelatih tunggal paduan Suara Pemda “Swara Budaya”.
“Bisa, Bu. Bisa saja.”
“Tentu saja nanti akan ada insentif, di samping uang transpor tetap diberikan untuk tiap kedatangan Dik Sugeng.”
“Terima kasih, Bu. Terima kasih sekali.”
“Bukan apa-apa, Dik Sugeng. Sayang kan, kalau potensi-potensi kesenian yang ada di lingkungan pemda mubazir begitu saja. Banyak lho, karyawan-karyawan kita yang diam-diam pintar menyanyi. Tapi itulah, beraninya, ya cuma di kamar mandi, sebab kalau menyanyi di kantor takut dicap indisipliner. Susah, kan?”
“Betul, Bu. Memang susah.”
“Makanya, bakat-bakat seperti itu harus kita himpun ke dalam satu wadah. Nah, wadah yang paling tepat saya pikir paduan suara itulah. Di samping menyalurkan bakat, lewat caranya sendiri paduan suara kan merupakan sarana latihan kedisplinan juga.”
“Persis, Bu.”
“Bandingkan saja dengan baris-berbaris. Seratus orang serentak mengikuti aba-aba belok kanan, tapi ada satu orang yang malah berbelok ke kiri, rusaklah itu barisan. Begitu pula paduan suara. Namanya saja paduan, ya harus terpadu. Seratus orang mulai menyanyi pada hitungan ketiga, tapi satu orang saja melakukan kesalahan dengan memulai pada hitungan kedua, kacaulah itu paduan.”
“Ya-ya-ya, pasti kacau.”
“Jadi, kegiatan paduan suara pada dasarnya ialah melatih kebersamaan secara benar. Dan kebersamaan yang benar adalah salah satu tujuan pelatihan disiplin itu sendiri. Artinya, kalau pemda menyisihkan sebagian dananya untuk keperluan ini sebetulnya tidak akan sia-sia, sebab secara tidak langsung paduan suara bisa menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia.”
* * *
Program latihan “Swara Budaya” benar-benar mulai dari tahap paling awal, ialah pemilihan anggota paduan itu sendiri. Untuk itu Sugeng harus menyeleksi ratusan karyawan-karyawati dan juga para pejabat di lingkungan pemda, ditambah dari kanwil berbagai departemen, berikut anggota keluarga, yang berminat menjadi anggota.
Dan memang, ternyata banyak sekali bakat-bakat terpendam di lingkungan yang boleh jadi dalam kesehariannya sama sekali tidak pernah berhubungan dengan urusan kesenian itu. Walhasil, proses seleksi yang dilakukan secara maraton selama sebulan lebih itu secara mencengangkan menghasilkan sebuah kelompok yang unik sekaligus amat potensial.
Ada—misal—seorang karyawan di bagian penerimaan Pajak Pendapatan Daerah mengaku, waktu di SMP dulu pernah menjadi juara pertama menyanyi solo tingkat kabupaten. Juga seorang karyawati Kanwil Departemen Pertanian mengatakan pernah dikontrak oleh sebuah dealer organ Yamaha untuk menyanyi pada demonstrasi-demonstrasi penjualan produk tersebut di berbagai pusat perbelanjaan, sebelum dia diangkat menjadi pegawai negeri. Ada lagi seorang kepala bagian di Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi yang konon angker di kantor, ternyata bersuara bukan main merdu dan mengaku dirinya pernah menjadi pelatih vocal group karang taruna di kampungnya.
“Benar kan Dik Sugeng, apa yang saya katakan dulu?”
“Benar, Bu. Benar sekali.”
“Seleksi awal yang sudah Anda lakukan saya anggap berhasil.”
“Terima kasih.”
“Cuma…, kalau boleh saya kepingin memberi sedikit catatan.”
“Silakan, Bu.”
“Setelah saya bicarakan dengan anggota pengurus yang lain, jumlah anggota yang enam puluh ternyata dianggap terlalu besar.”
“Saya rasa tidak ada masalah, Bu. Angka enam puluh cuma untuk mempermudah dalam pembentukan kelompok. Tadinya saya membayangkan kelompok sopran, alto, tenor dan bas masing-masing lima belas orang. Tapi itu tidak mutlak. Seperti kelompok bas, misal, nantinya memang tidak akan sebanyak ini, sebab kelompok pria bersuara rendah kalau jumlahnya sama dengan kelompok-kelompok lain akan cenderung dominan.”
“Mungkin secara keseluruhan bisa dikurangi menjadi lima puluh, begitu?”
“Bisa, Bu. Bisa.”
“Nah, dalam pengurangan nanti, tolonglah dipikirkan juga faktor-faktor yang bagi di Sugeng mungkin tidak berarti, tapi bagi kami bisa menjadi…. Apa, ya? Dibilang ganjalan sebenarnya kurang tepat juga.”
“Maksud Ibu?”
“To the point sajalah, ya? Coba kita lihat daftar yang Anda buat. Nah, seperti Pak Yadi ini. Dia kan… pesuruh kantor. Saya dengar juga masih honorer. Bukan maksud saya mau membeda-bedakan status, lho, tapi saya berpikir untuk kepentingan dia juga. Maksud saya, setelah seharian bekerja secara fisik, apa dia masih punya sisa tenaga untuk tarik suara?”
Saat itu ada desir halus menyentuh perasaan Sugeng.
“Juga si Umi ini. Saya tahu suaranya memang bagus. Tapi suami dia juru ketik yang masih golongan I-a. Apa nantinya dia tidak kerepotan kalau harus bergaul dengan ibu-ibu yang lain? Dia masuk kelompok sopran, ya? Wah, di kelompok ini ada Bu Kun, lagi. Padahal Pak Kun suami Bu Kun itu kepala bagian di tempat kerja suami Umi. Artinya suami Umi itu bawahannya-bawahannya-bawahan Pak Kun. Kasihan Umi, kan, kalau harus berbincang-bincang dengan Bu Kun? Coba, mau ngomong apa dia nanti.”
Sugeng tak berkomentar apa-apa.
“Nah, kalau Pak Krisno ini jangan ditarik. Kasihan dia, dari dulu kepingin sekali ikut. Dik Sugeng memberi nilai terendah, ya? Memang sih, suaranya tidak bagus-bagus amat. Tapi biarlah. Lagi pula dia kasir pemda. Kalau ada urusan apa-apa bisa lancar.”
Sugeng mengangguk-anggukkan kepalanya, semata-mata karena tak tahu lagi perbuatan apa yang paling pantas dilakukannya selain itu.
“Oh, ya! Sebelum lupa saya mau titip. Nanti ada yang namanya Bu Monda. Belum masuk daftar, kan? Dia memang tidak ikut seleksi, tapi sebenarnya suaranya bagus sekali. Lima tahun yang lalu dia pernah masuk bintang radio.”
“Memperoleh nomor?”
“Nggak, sih…, tapi dari situ saya melihat keberanian dan semangat dia yang luar biasa. Untuk itu saya minta pada Dik Sugeng, tolong deh, sepupu Bapak itu dimasukkan.”
Begitulah, setelah melalui proses perampingan yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan jabatan, status, pangkat, pengaruh maupun hubungan kekerabatan, jumlah anggota Paduan Suara “Swara Budaya” sempat berkurang menjadi empat puluh delapan orang. Atas pertimbangan-pertimbangan yang sama pula, maka—kali ini setelah melalui proses “peninjauan kembali”—jumlah tersebut pada minggu pertama membengkak menjadi lima puluh delapan, dan selewat bulan kedua menjadi delapan puluh orang!
“Saya mohon Dik Sugeng bisa memahami perkembangan yang begitu dinamis ini,” demikian Ibu Gubernur berujar. “Menghadapi keadaan seperti itu kita harus pandai-pandai bersikap, dengan tetap mengingat, bahwa bagaimanapun kita ini oarng Timur. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan di kita masih tinggi. Maka ketentuan yang kita buat pun harus tegas tapi tetap manusiawi, tidak perlu menjadi kaku. Apalagi kalau cuma soal jumlah anggota. Yang penting kan kekompakannya. Nah, soal mengatur kekompakan ini kan sudah menjadi keahlian Dik Sugeng.”
Dan nyatanya sampai dengan tahap ini Sugeng masih sanggup membentuk formasi yang cukup kompak. Anggota-anggota yang memang bervokal kuat diperselang-selingkan sedemikian rupa dengan anggota-anggota titipan yang giliran harus menyanyi kadang harus ikut membuka mulut kadang tidak, dan yang waktu membuka mulut pun kadang bisa mengeluarkan suara kadang tidak.
“Nah, satu hal lagi. Kalau ini saya benar-benar cuma ingin membantu Dik Sugeng. Pergelaran perdana kita pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti ada lagu Hamba Menyanyi, kan?”
“Ya, Bu.”
“Ada bagian nyanyi tunggalnya?”
“Ada, Bu.”
“Sudah ditentukan solis-nya?”
“Baru saya seleksi.”
“Tidak makan waktu terlalu lama? Nanti tidak keburu, lho.”
“Sudah ada beberapa calon.”
“Kalau begitu biar si Eti sajalah.”
“Eti yang… banyak bekas jerawatnya?”
“Iya, itu anak saya.”
* * *
Bagaimana Sugeng tidak merasa masygul!
Selama ini Eti dia kenal sebagai anggota yang “lebih pantas menjadi pemain sepak bola saja daripada menyanyi.” Kualitas vokalnya di bawah standar, kecantikannya pun pas-pasan. Kalau distimulir secara khusus sebenarnya dia bisa bersuara lantang, tapi nada dasarnya selalu meyimpang dari intro. Kalaupun tidak menyimpang—ketika harus masuk dengan nada C, misal—maka nada C yang dinyanyikannya bisa satu oktaf lebih tinggi dari yang seharusnya, hingga terdengar melengking di luar kendali.
Dan ternyata anggota yang satu itu adalah putri Ibu Gubernur! Telah ditentukan harus menjadi solis pula!
Sempat terlintas dalam benak Sugeng untuk menghentikan semua ini. Bubar! Tapi apa kata orang nanti tentang dirinya? Tanggung jawabnya? Lagi pula kenyataannya ia sudah menerima bayaran lumayan besar. Atau dikembalikan saja uang itu? Ah, berat juga mengumpulkan lagi dua setengah juta rupiah lebih jumlah total honornya selama ini. Kalau toh uang itu masih ada, rasa-rasanya sayang pula melepasnya lagi.
Akhirnya Sugeng memutuskan untuk jalan terus. Tidak bisa tidak ini harus diselesaikan. Minimal sampai dengan pergelaran perdana pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti.
Tak urung ia menderita stres teramat berat. Semua ia berniat cuek, main tak peduli, tapi nyatanya tetap saja ia peduli dengan suara Eti yang tak kunjung beraturan itu.
Satu-satunya jalan ialah: latihan habis-habisan. Atas permintaannya sendiri—yang tentu saja sangat didukung oleh Ibu Gubernur—Sugeng menyelenggarakan les privat bagi Eti. Maka tiadalah hari yang berlalu tanpa latihan vokal. Di ruangan, di lapangan, di pantai, di tempat sunyi. Tak henti-henti. Hah! Hah! Hah! Hah! Do-re-mi-fa-sol-la-si-do do-si-la-sol-fa-mi-re-do!
Hasilnya?
Ternyata tak ada kemajuan. Sugeng pun pasrah. Kualitas pergelaran terbayang sudah. Paduan suara yang sebenarnya tidak terlalu buruk itu bakal kandas oleh suara solis yang serak-serak-pecah.
* * *
Menit-menit terakhir menjelang pergelaran Sugeng tak bisa bertahan lagi. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Dan persis giliran Paduan Suara “Swara Budaya” tampil di panggung, ia bersembunyi di kamar kecil. Samar-sama terdengar alunan lagu pertama… lagu kedua… Dan begitu masuk lagu Hamba Menyanyi, buru-buru ia menutup sepasang telinganya, gentar untuk mendengar lengkingan Eti. Tapi celaka! Suara dari panggung itu tetap saja bergaung. Lebih-lebih gemuruh teriakan yang membahana itu! Pastilah pekik kekecewaan! Pastilah kegaduhan! Pastilah pelecahan!
Tapi bukan… Ternyata itu suara tepuk tangan! Gemuruh suara pujian! Begitu meriahnya! Ya, suara tepuk tangan yang terdengar seusai Eti menyanyi! Mimpikah ini? Halusinasikah? Bukan. Yang didengarnya adalah kenyataan yang senyata-nyatanya.
Sugeng lari ke tempat pertunjukan. Melongok ke arah penonton. Ya! Mereka benar-benar berdiri memberikan tepuk tangan! Sementara di panggung sana Eti dan anggota paduan suara yang lain berkali-kali membungkukkan badan!
Begitulah, berangsur-angsur gemuruh tepuk tangan mereda pula. Sugeng menghembuskan napasnya keras-keras, lalu ikut duduk di samping seorang penonton. Ia pun mengambil sebatang rokok, menyalakannya hati-hati, mengisapnya pelan, mengepulkan asapnya penuh kenikmatan. “Bagus ya, Pak, paduan suaranya?”
“Yah, bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah. Anak Pak Gubernur yang menyanyi, masa kita teriaki suruh turun.”
Sekonyong-konyong Sugeng tersedak, mirip orang baru belajar merokok.
Yogyakarta, 1 Februari 1994
Diketik ulang dari buku Parmin (kumpulan cerita Jujur Prananto, terbitan Kompas, 2002) halaman 131-139. Ilustrasi saya ambil dari sampul piringan hitam 10″ koleksi saya.
>> Untuk melihat arsip Cerpen Favorit lainnya silakan klik di sini.
Wah pantas sepertinya saya pernah baca ini. Saya punya bukunya! Hahaha.. Senang sastra Indonesia juga mas? Favorit saya: Umar Kayyam & Remy Sylado. 🙂
Lumayan 🙂 Salah satu cerpen Pak Kayam favorit saya ada di sini. Kalau Pak Remy saya lebih suka lagu-lagunya ketimbang tulisan-tulisan fiksinya, hehe
Saya lebih ngeh Jujur sebagai penulis skrip AADC dibanding sebagai penulis cerpen. Cuma pernah baca satu cerpennya di Kompas Minggu duluu banget, berkesan sih. Budi pernah baca cerpen Jujur Prananto “Nasib Seorang Penggemar Setia”, nggak? Rasanya sama seperti cerpen yg ini, bacanya bikin depresi, udahannya bengong. Btw, saya suka cerpen Sony Karsono, juga Joni Ariadinata yg di-link di atas. Baru tahu mereka ya pas baca di sini. God bless you! 🙂
Hahahahahah, pas terakhirnya aku ketawa2 sendiri. Agak kesel juga. Tapi 100 jempol dah. Keren