(cerita pendek oleh Kuntowijoyo)
Menurut penglihatan saya, Marie van Straten adalah gadis Indonesia asli. Meskipun dia pasti dibesarkan sebagai gadis Belanda—bahasa Belandanya cas-cis-cus, bahasa Indonesianya compang-camping dan berbau sekolahan—kulitnya yang kehitam-hitaman dan rambutnya yang hitam berombak, menunjukkan bahwa dia orang Timur tulen. Dia lulusan Vrije Universiteit bagian Niet-Westerse Sociologie, dan bekerja di desk Asia. “Aku ingin mengunjungi Indonesia,” katanya kepada saya ketika kami diperkenalkan oleh pimpinan umum. “Itu ide bagus,” kata saya. Saya punya perasaan bahwa saya sudah ketemu orang yang saya cari. Identitas Marie saya temukan ketika saya kerja di bagian personalia. Persis betul dengan keterangan yang diberikan bekas-dosen saya, Pak Abdul Kadir. Karena itu, saya kirim surat kepadanya, “Saya kira saya sudah ketemu. Tunggu saja dengan sabar.”
Pak Kadir baru saja pensiun, uang pensiunnya dimasukkan ke bank. Katanya, untuk berjaga-jaga. Kalau suatu kali bekas-istri dan anaknya bisa dilacak, uang itu akan digunakannya untuk membeli tiket. Ia sudah bertekad akan menjumpai mereka sebelum dia mati. Kawin agak terlambat, sesudah dia binnen, mempunyai rumah dinas di kampus. Istrinya adalah bekas mahasiswanya. Kata orang, menjadi istri Pak Kadir, ibarat kere munggah bale. Ia berpisah dengan keluarganya pada waktu ia dikirim ke Amerika, tepatnya ke Columbia University di New York, untuk belajar jurnalistik. Ia berangkat dengan istri dan anaknya yang baru berumur setahun.
Di New York mereka bertemu dengan Johan van Straten. Seperti biasa, Johan bertindak sebagai the other man dalam rumah tangga Pak Kadir. Dia masih muda dan enerjik. Singkatnya, istri Pak Kadir jatuh cinta pada Johan. Tidak ada cara lain bagi Pak Kadir kecuali mengatakan “ya” ketika mereka berdua merencanakan akan membangun rumah tangga. Hanya ada dua syarat yang diajukannya. Pertama, mereka segera berangkat ke Negeri Belanda. Kedua, bekas-istri dan anaknya diperlakukan dengan baik. Kedua syarat itu disetujui, dan mereka pun berangkat ke Negeri Belanda. Dia memberikan surat cerai, seperti diminta istrinya. Lalu bekas-istri dan anaknya pergi bersama Johan. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Pak Kadir, berpisah dengan keluarga di negeri orang. Lebih mengherankan lagi, Pak Kadir berhasil menyelesaikan sekolahnya.
Tentu saja dia pulang sendirian, tanpa istri dan anak. Komentar kawan-kawannya,
“Darmokusumo saja cuma merelakan istri. Tapi kamu juga merelakan anak.”
“Istri bisa dibeli. Tapi anak susah nyarinya.”
“Sakdumuk bathuk. Saknyari bumi.”
Untuk semua itu dia cuma mengangkat bahu. Katanya,
“Itu sudah takdir.”
“Kok tahunya itu takdir. Kalau cobaan gimana?”
“Ya. Saya tahu betul itu takdir.”
Entah karena apa, ia menolak untuk kawin lagi. Jajan? Tidak, ia juga terkenal sebagai orang alim, semacam sufi-lah. “Terlepaslah beban dari pundak saya,” katanya tentang perkawinannya. Kami biarkan dia menghibur diri dengan menyatakan bahwa perkawinan itu beban yang harus dipikul. Tidak seorang pun pernah membantah, misalnya dengan mengatakan perkawinan adalah pembebasan. Kami tahu ia cukup menderita. Perdebatan hanya akan menambah penderitaannya. Setiap kali orang menanyakan dan “menggugat” kebijaksanaannya, selalu dikatakannya, “Itulah hakikat demokrasi”, atau “Kau hidup di alam kebebasan”, atau “Itu namanya Hak Asasi Manusia”, atau “Itulah Islam”. Namun, orang selalu menangkapnya seolah-olah dia mengatakan, “Cukup, cukup. Jangan ditambah penderitaanku dengan pertanyaan.” Sebagai ganti anak, dia mengangkat keponakan-keponakan. Sebagian keponakan itu sudah “jadi orang”.
Kemudian di kampus dia dikenal sebagai da’i. Pengetahuan agamanya yang resmi hanya sampai tingkat Ibtidaiyah, tapi dengan membaca-baca sendiri dia dipercaya memegang mata kuliah agama di fakultas-fakultas ilmu sosial dan humaniora. Ketika universitas mendapat jatah haji, dialah yang diputuskan untuk berangkat. Satu-satunya pekerjaan dakwah yang ditolaknya ialah memberikan ular-ular perkawinan. Tapi orang akan maklum, karena perkawinannya adalah sebuah kegagalan. Juga ia tidak pernah menghadiri pesta perkawinan. Kepada saya ia mengakui bahwa ia tidak pernah mengunjungi pesta perkawinan karena takut ingat istri dan anaknya.
Saya sedang in job training di Nieuw Amsterdamse Courant. Jadi, dari rumah saya di Den Haag saya harus melaju pakai kereta api. Itu bukan pekerjaan yang menyusahkan karena di Belanda ke mana-mana bisa dicapai dengan kereta api. Kereta api hemat, efisien, dan tepat waktu. Tepat waktu masih membudaya, karena semasa kecil saya dididik dengan jam sepur, bukan jam karet. Jadi, hampir tiap hari saya ketemu dengan Marie. Mudah saja caranya. Saya bisa meneleponnya dan menanyakan pukul berapa dia makan siang. Dan mengatakan kalau saya ingin bergabung.
“Kau seperti orang Jawa saja,” kata saya.
“Apa saja yang mirip Jawa?”
“Kulitmu, hitam rambutmu, dan caramu melirik.” Saya mau mengatakan bahwa bibirnya adalah bibir Pak Kadir, juga rambutnya yang berombak, tapi tidak sampai hati.
Di kantor, saya makin dekat dengan dia. Dia tidak tahu kalau kedekatan saya “ada udang di balik batu”. Ada pesanan khusus dari Pak Kadir.
“Maukah kau suatu kali saya perkenalkan dengan istriku?”
“Dengan senang hati.”
Saya selalu menanyakan kapan ke rumah.
“Ya. Asal jangan hari Minggu. Hari Minggu khusus untuk ibu. Ibu saya ada di panti orang-orang tua. Sebelumnya belum tua benar, tapi karena stroke ia harus selalu di kursi roda. Setiap Minggu saya menjenguk dan membawanya ke plein.” Kemudian mengatakan di mana dia biasa membawa ibunya.
“Ayahmu di mana?”
“Sudah lama sekali dia hidup dengan tweede vrouw-nya. Dengan dia, ia punya anak-anak. Dengan Ibu hanya dapat satu, saya. Bagian dia menjenguk Ibu pada hari Rabu. Itu kalau dia ingat.”
“Apa ayahmu pelupa?”
“Tidak. Kadang-kadang ia sengaja melupakan tanggung jawab.”
Katanya kemudian,
“Aku benci ayah. Ia tidak pernah ke gereja atau balai kota untuk mengawini ibuku secara resmi.”
“Jangan begitu. Dia pasti punya alasan tertentu.”
Betul, suatu hari Sabtu Marie ke rumah. Dia ditemani seorang kawan yang dengan ragu-ragu dikenalkannya sebagai tunangan. Ia masih sekolah di bagian Antropologi, dan baru pulang dari Madura, untuk mempelajari pengobatan tradisional. Ketika mereka berpamitan, kata saya,
“Kalian pasangan yang serasi. Tunggu apa lagi, kawin saja.” Saya tahu mereka sudah hidup bersama, karena alamat mereka sama.
“Kami masih menanti sampai dia lulus,” kata Marie.
“Dapat dapat pekerjaan. Jangan lupa itu.”
“Yalah. Dan dapat pekerjaan.”
Setelah mereka pergi, kata istri saya,
“Tidak salah lagi. Mesti anak Pak Kadir!”
Waktu kami makan siang bersama, Marie berkata,
“Katanya orang Indonesia suka memanjangkan rambutnya. Kok istrimu tidak.”
“Itu zaman dulu. Sekarang tidak.”
“Ibuku dilahirkan di Semarang. Apa ada ballpoint di sana?”
“Indonesia itu modern. Jangan dibayangkan seperti tiga puluh tahun yang lalu.”
“Orang pakai kaos oblong atau T-shirt?”
“Pokoknya, lihat sendiri saja.”
“Memang saya sudah pengin sekali ke Indonesia. Tapi kalau saya pergi, nanti Ibu bagaimana?”
Lain kali dia bilang,
“Saya sudah menyebut namamu, pekerjaanmu, dan tempat tinggalmu di Indonesia pada Ibu.”
“Bagaimana reaksinya?” Sebenarnya yang ingin saya ketahui apakah ibunya masih ingat Pak Kadir.
“Ya, sepertinya dia ingat kampung halamannya. Lama dia termenung. Lalu dikatakannya, ‘Yang akan terjadi, terjadilah’. Saya tidak tahu maksudnya.” Katanya, sejak itu ibunya suka menangis, tetapi selalu menolak menjelaskan kenapa.
“Tentu saja ibumu teringat masa kecilnya.”
“Tidak, ada yang lebih penting dari itu, tampaknya.”
“Ya, orang seperti ibumu pasti sangat emosional.”
“Biasanya dia sangat rasional.”
Saya selalu berusaha menutupi kalau saya tahu masa lalu ibunya.
Saya menyurati Pak Kadir untuk ke Belanda setelah saya haqqul yakin bahwa Marie adalah anak Pak Kadir. Tetapi saya minta dia tidak berbuat apa pun di luar pengetahuan saya. Saya tawarkan padanya untuk tinggal bersama kami. Demikianlah ia ke Belanda.
Hari itu masih pagi di Amsterdam, ketika kami turun di stasiun. Matahari bersinar seperti sungguh-sungguh musim panas. Pada musim panas banyak orang duduk-duduk di lantai emper stasiun. Saya tahu sebagian mereka teler sehabis merokok ganja. Sebuah grup musik mempertontonkan kebolehan, dengan mikrofon dan pengeras suara. Sebuah tempat biola dibiarkan terbuka sebagai tempat orang menaruh uang. Pak Kadir bertanya apakah saya akan melemparkan uang, ia menawarkan koin-koin. Saya katakan bahwa saya mendengar bukan mendengarkan, jadi tidak perlu membayar. Juga saya katakan bahwa kita tak usah khawatir dengan nasib pemuda-pemudi pemusik itu, sebab Belanda adalah sebuah verzorgingstaat dengan jaminan sosial bagi penduduknya. Saya mau mengajak naik bis atau trem, tetapi Pak Kadir minta jalan kaki. Di bangku di tepi jalan ada pasangan sedang berciuman, karena itu pemandangan biasa saya tidak lagi menggubris. Tapi Pak Kadir berkomentar, “Beginilah Belanda. Itu disebut nafsu amarah atau kamadatu atau carpe diem.” “Jangan dikomentari, Pak. Dinikmati saja. Kalau kita takut berdosa ya ucapkanlah subhanallah. Habis perkara!” “Melihat saja itu dosa.”
Saya tahu persis di mana harus jalan dan berdiri supaya Marie dan ibunya tidak melihat. Plein itu semacam tempat terbuka, bata-bata di bawah, ada tempat duduk di sekitar. Banyak orang datang di plein, sekadar jalan-jalan. Di pinggir ada kursi-kursi, di bawah pohon, atau dengan semacam payung. Orang dapat memesan kentang goreng, atau hamburger, atau es krim, atau bir, atau soft drink di warung dengan rumah-rumahan dari kayu bercat hijau. Ada juga orang menjual es Italia, ikang hering, semuanya dijual dengan kereta dorong. Burung-burung dara bebas terbang atau berjalan-jalan di sela-sela orang. Tidak lama kemudian, Marie datang mendorong ibunya. Di tangan ibunya ada remah-remah roti, sehingga banyak burung dara di sana. “Itu mereka!” kata saya. “Ya, saya sudah melihat.” Kemudian kami cari tempat duduk yang terlindung dari mereka, tetapi kami bebas melihat mereka.
“Tidak kukira ini akan terjadi,” kata Pak Kadir. “Sesudah lebih dari dua puluh lima tahun. Ini betul-betul sebuah keajaiban. Ck-ck. Allahu Akbar!”
Ibu Marie tampak tua dan beruban. Di musim panas begini ia pakai sweater. Saya diam saja, saya biarkan Pak Kadir hanyut dalam pikirannya sendiri. Sebentar-sebentar akan terdengar suaranya menyebut-nyebut Tuhan. Semakin siang, semakin ramai plein itu. Setelah satu jam lebih, saya lihat Marie mulai mendorong ibunya pulang. Mata Pak Kadir tak pernah lepas dari mereka.
“Bagaimana, Pak. Kita susul mereka? Saya tahu alamat ibu Marie.”
Saya lihat dia berpikir, katanya kemudian,
“Sudah. Ini lebih dari cukup.”
Pak Kadir mengajak pulang. Tawaran saya untuk mampir di Kentucky Fried Chicken ditolaknya. Sebaliknya dari datangnya, Pak Kadir minta naik trem. Di trem dan di kereta api yang membawa kami ke Den Haag, Pak Kadir diam saja. Ketika kami turun di Den Haag, Pak Kadir minta berhenti sebentar. Kami duduk di kursi plastik. Pak Kadir berkeringat, seperti habis berjalan jauh, dia menghapus keringat di mukanya.
“Saya tidak sendirian. Dulu istri dan anak Nabi Nuh terpaksa ditinggalkan ketika ada banjir yang menenggelamkan negerinya. Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Nuh, setelah saya mengalami sendiri. Saya kira saya dilahirkan untuk mengikuti jejak Nabi Tuhan itu.”
Sesampai di rumah, Pak Kadir bercerita dengan gembira bahwa tugasnya sudah selesai, kalau sewaktu-waktu Tuhan memanggilnya ia sudah siap. Istri saya langsung masuk kamar. Lama dia tak keluar. Ketika saya masuk, saya temukan dia sedang menangis.
“Oh, tidak. Ini terlalu berat,” rupanya ia sedang menggantikan duka Pak Kadir.
“Jangan sedih. Tidak kuceritakan padanya bahwa Johan tidak pernah menikahi ibu Marie, dan bahwa Marie hidup serumah dengan seorang mahasiswa Antropologi.”
Entah apa sebabnya, istri saya mengambil bantal untuk menutupi tangisnya yang semakin keras.
Yogyakarta, 17-5-1996
Diketik ulang dari buku Hampir Sebuah Subversi (Kuntowijoyo, Grasindo, 1999) halaman 105–112. Cerpen ini pertama kali saya baca di majalah Horison edisi khusus 30 tahun (1996) di kamar kos saya di Margoyudan, Solo, sewaktu SMA.
Untuk melihat arsip Cerpen Favorit lainnya silakan klik di sini.
Aku pernah nerjemah cerpen iki mas. Draf-e sik onok, dan rencanane kate tak kirimno nang majalah tapi lali2 terus.