Cerpen ke-12 di buku Muslihat Musang Emas (2017), “Bangsawan Deli dan Delia”, menurut saya memang terlihat sengaja mencampurkan fakta dan fiksi, sebuah teknik kreasi yang tujuannya cukup benderang yakni menulis kisah yang meyakinkan pembaca dan syukur-syukur berterima. Caranya antara lain dengan membubuhkan penanda waktu di awal cerpen, “—Jakarta, 1950”, lalu menjejalkan hal-hal faktual dari sekitar era itu. Misalnya, salah satu karakter digambarkan sedang mendengarkan lagu “Juwita Malam” di radio. Di dunia nyata, lagu itu memang diciptakan oleh Ismail Marzuki sekitar era itu. Satu karakter lain diceritakan sedang berada di lokasi syuting sebuah film berjudul Inspektur Rahman. Menurut buku Katalog Film Indonesia 1926-1995 (J.B. Kristanto, 1995), di tahun 1950 memang betulan ada film berjudul itu, dengan ejaan nama sedikit berbeda. Tokoh-tokoh insan perfilman di semesta cerpen tersebut—penulis naskah Nawi Ismail, sutradara Moh Said H.J., dan aktor Chatir Harro—seperti sengaja tidak ditukar-tukar posisinya dari dunia nyata. Bahkan plot cerpen “Bangsawan Deli dan Delia” sendiri didasarkan pada kejadian nyata tenggelamnya kapal Belanda bernama SS Ourang Medan secara misterius di perairan Selat Malaka, sekitar 1947-1948. Sebuah nama majalah disebutkan di dalam cerpen itu, Starship Weekly, dengan mudah bisa kita tebak itu plesetan dari Star Weekly, majalah sungguhan yang populer di dasawarsa 1950an. Hal-hal semacam itu memang mengasyikkan, namun sekaligus menuntut kecermatan. Oleh sebab itu, ketika di draft awal cerpen yang dikirim ke email saya oleh pengarangnya, Yusi Avianto Pareanom, termuat frasa “piring terbang”, saya langsung mengutarakan keraguan saya: benarkah sudah ada istilah itu di Jakarta tahun 1950? Diucapkan oleh Brigadir Yayat, seorang polisi yang di cerpen digambarkan kurang cemerlang otaknya dan sering membuat gemas atasannya, Inspektur Hamid, begini kalimat lengkapnya, “Jadi benar dong mereka mati ditelan siluman laut? Atau malah diserang piring terbang?” Si pengarang saya kenal sebagai penulis yang meyakini bahwa fiksi, seajaib apa pun premisnya, dalam dirinya sendiri harus logis. Dari situ saya merasa perlu untuk melacak kapan frasa “piring terbang” mulai dikenal di bahasa Indonesia, dan apakah cocok dengan titimangsa yang dibangun sebagai setting di cerpen tersebut? Para penghayat UFO (singkatan dari unidentified flying object, atau “res volans ignota” dalam bahasa Latin) tentu sudah hapal di luar kepala, bahwa di Barat sono istilah “flying saucer” muncul pertama kali pada pertengahan 1947, ketika seorang penerbang Amerika bernama Kenneth Arnold mengaku melihat benda-benda terbang tak dikenal, berkilauan dan melesat sangat cepat di atas pegunungan Rainier di Washington. Surat kabar langsung memberitakan klaim menarik itu, dan koran Chicago Sun di edisi 26 Juni 1947 termasuk salah satu yang mula-mula mencetuskan istilah tersebut di judul beritanya, “Supersonic Flying Saucers Sighted by Idaho Pilot”. Pertanyaannya, apakah berita tersebut sampai ke Indonesia saat itu juga? Jika iya, apakah padanannya dalam bahasa Indonesia sudah langsung “piring terbang”? Saya memeriksa beberapa koran dan majalah terbitan lokal Indonesia di kurun waktu 1947-1950 yang ada di rak saya, dan yang mula-mula saya temukan malah frasa “piring-hitam” di caption foto iklan alat pemutar gramofon berkecepatan 78 rpm di majalah Mimbar Indonesia edisi pertengahan 1948. (Sebagai perbandingan, majalah Hoakiao terbitan Soerabaia edisi 25 Maret 1932 masih menyebut keping bundar gelap dari bahan shellac berisi rekaman musik itu sebagai “plaat-gramofoon”. Novel Belenggoe (1940) karya Armijn Pane memakai istilah yang kurang lebih sama, “Pikirankoe pikiran jang dipindjam sadja, selamanja pikiran orang lain jang koepoetar. Akoe tiada bedanja dengan grammofoonplaat, Tono!”) Fenomena UFO di dunia Barat kian populer setelah diangkat ke dunia film, seperti Flying Disc Man From Mars (1950), Flying Saucers (1950), The Day The Earth Stood Still (1951), Forbidden Planet (1956), dan sebagainya. Apakah di masanya film-film tentang benda terbang tak dikenal itu sempat masuk bioskop Indonesia, dan jika iya, bagaimana masyarakat waktu itu meresponsnya? Lewat bantuan beberapa teman, saya memeriksa beberapa arsip lama di tempat lain dan menemukan beberapa. Java Bode, koran berbahasa Belanda tertua di Batavia yang sudah terbit sejak 1852 dan sempat vakum selama masa pendudukan Jepang lalu muncul lagi setelah kemerdekaan, di edisi 14 Maret 1953 memuat info bahwa Flying Disc Man From Mars diputar hari itu di bioskop Roxy, Jakarta, dengan jadwal pemutaran tiga kali sehari. Koran yang sama beberapa bulan kemudian mengabarkan pemutaran film tersebut di bioskop Indra di Sukabumi, 18 Agustus 1953. Pemutaran di Bandung bisa kita ketahui dari koran De Preangerbode, 4 Juni 1952, bahwa film itu nongol di bioskop Capitol, pada hari yang sama dengan film Third Man (1949) yang dibintangi Orson Welles sedang tayang di bioskop Varia. The Day The Earth Stood Still juga sempat diputar di Bandung, salah satunya di bioskop Luxor (De Nieuwsgier, 17 Juli 1952). Saya bahkan pernah menemukan film The Day The Earth Stood Still itu dalam format seluloid super 8 dari seorang penjual barang loak di Garut beberapa tahun lalu, tapi saya masih belum tahu apakah itu berarti sesuatu. Semua film tadi berbahasa Inggris dan saya tidak yakin sudah ada Indonesian subtitles di layar-layar bioskop Indonesia saat itu, jadi kapan persisnya orang sini mulai mengartikan istilah asing “flying saucers” menjadi diksi lokal “piring terbang”? Dalam penelusuran lebih lanjut, saya menemukan di koran De Nieuwsgier edisi 25 Agustus 1952, sebuah tulisan pendek kiriman pembaca yang menceritakan pengalaman dia menonton tonil, di mana seseorang berteriak dalam bahasa Indonesia di sebuah pertunjukan Lutung Kasarung, “Ati-ati, nanti piring terbang datang!” Tidak terlalu jelas apakah kalimat itu muncul dari atas panggung ataukah di barisan penonton. Namun dari situ kita jadi tahu bahwa “piring terbang” sudah ada di percakapan verbal bahasa Indonesia setidaknya di tahun 1952. Dari dunia komik, saya kemudian mendapati penerbit Melodie asal Bandung pernah merilis komik sci-fi berjudul [sic] “1500 Km Diatas Bumi, Rahasia piring terbang” dalam seri Kissah Bergambar. Ada pula penerbit Cosmos, juga dari Bandung, dengan komik berjudul “Piring Terbang”, digambar oleh Oerip. Tidak diketahui kapan persisnya dua komik tersebut terbit, tapi bisa diperkirakan itu sekitar 1954-1955. Temuan paling menarik sejauh ini justru sebuah cerpen berjudul “Piring Terbang?” oleh penulis bernama A.L. Roring, dimuat majalah Terang Bulan edisi 1 Agustus 1954. Majalah ini saya dapatkan dari lapak penjual barang bekas di Facebook. Cerpen sepanjang tiga halaman itu berkisah tentang si aku, orang Indonesia, sedang berburu burung betet di sebuah lembah dengan senapan angin dan kamera foto, tapi dia malah bertemu dengan [sic] “sebuah benda putih mengkilap diangkasa diiringi dengung dan suaranja jang keras gemuruh memekakkan telinga.” Si aku terkaget-kaget dan berkata, “Ja Allah… apakah itu Piring Terbang???” lalu dijawabnya sendiri, “Jah, memang benar. Benda putih jang mengkilap tadi tak lain dan tak bukan sebuah Piring Terbang.” Ketika benda terbang menyilaukan itu mendarat di hutan, angin puyuh yang ditimbulkan mesinnya menghancurkan semak dan pepohonan di sekitarnya. Setelah itu, “dua orang machluk jang adjaib keluar dari dalamnja.” Dua makhluk itu berjalan pergi meninggalkan kendaraan canggihnya, masing-masing sambil menenteng “sebuah alat radioactief pentjari uranium zat atoom jang terdapat didunia ini.” Si aku kemudian menyelinap masuk ke dalam piring terbang tersebut, mengoperasikan peralatan canggih di dalamnya (sebuah panel kemudi yang dilengkapi “knop jang berhuruf” A sampai Z”, dengan huruf F untuk menembakkan revolver sinar, dan sebuah “pemantjar radio televisi”), menerbangkannya ke langit, lalu menyerang makhluk-makhluk ajaib tadi itu! Baku tembak yang seru terjadi di sepertiga terakhir cerita. Yang juga asyik adalah gambar ilustrasi untuk cerpen itu, yang digambar sendiri oleh penulisnya. Sosok makhluk luar angkasa itu seperti kombinasi dari superhero Phantom, Aquaman, dengan logo bintang delapan di dadanya. Sinar panas yang memancar dari matanya bisa jadi terinspirasi dari karakter Klaatu di film The Day the Earth Stood Still. (Si penulis dan penggambar cerpen itu kelak menjadi seorang delivanit, pelukis uang kertas, dan bekerja di Perum Peruri. Karya A.L. Roring ini antara lain gambar “Pengrajin Asah Intan” di uang kertas Rp 5000 keluaran 1980 dan “Raja Sisingamangaraja XII” di uang kertas Rp 1000 keluaran 1987). Tokoh si aku di cerpen itu mengaku terbawa pikirannya oleh film The War of the Worlds (1953), sebuah adaptasi dari novel H.G. Wells, yang baru saja dia tonton di bioskop Rex. Terlepas dari plot twist yang sangat klise di penghujung cerpen “Piring-Terbang?” itu, informasi penting muncul dari kalimat terakhirnya, “Jah semua ini terdjadi karena gara2 ,,PIRING TERBANG’’ jang ramai dibitjarakan orang pada achir2 ini.” Artinya, di tahun 1954, fenomena itu sudah (atau sedang) merebak di Indonesia. Rentang waktu “achir2 ini” itu cocok dengan kisaran waktu munculnya komik-komik sci-fi lokal bertema piring terbang seperti terbitan Melodie dan Cosmos tadi. Beberapa iklan di surat kabar terbitan 1954-1955 juga tercatat sudah memakai istilah yang sedang menjadi buah bibir masyarakat itu. Misalnya, tepung kelapa merk Sudesco di koran De Nieuwsgier, 30 Maret 1954, mencantumkan kue kering “Piring Terbang” sebagai terjemahan dari “de Vliegende Schotels koeker” untuk nama-nama produk turunannya selain serundeng dan sagon. Sementara di koran De Locomotief edisi 11 November 1955, muncul iklan toko mainan di Jl. Bodjong, Semarang, “Telah Sedia Lengkap, Matjam2 Mainan: Piring-Terbang – Oto Sedan […] Spoor – Sepeda Balap – Torpedo – […] Ajunan – Bal – dan 1001 matjem lain-lainnja.” Sambil mengetik itu semua, saya membatin, ini bahkan cuma urusan padanan kata, alias terjemahan dari istilah luar. Belum kalau istilah ‘baru’, yang tercipta secara ‘otentik’, seperti “dangdut”, misalnya. Siapa sebetulnya yang pertama kali memunculkan istilah “dangdut”—sebuah onomatope dari bunyi gendang—untuk menamai genre musik goyang yang sangat populer di Indonesia itu? Apakah itu dari artikel Putu Wijaya tentang Ellya Khadam di majalah TEMPO edisi 27 Mei 1972, yaitu lagu-lagu Melayu “[…] jang sering memadukan Irama Padang Pasir dengan Dang-Ding-Dut India…”? Ataukah itu Remy Sylado alias Yapi Tambayong di tahun 1971, seperti yang dia tulis di buku 123 Ayat tentang Seni (2017) bahwa yang mula-mula memakai istilah “dangdut” secara lisan adalah Billy Silabumi, seorang pemusik dari group Young Crescendo di Bandung yang juga merangkap wartawan majalah Aktuil saat mengomentari kian kencangnya tren musik “irama melayu” waktu itu dengan “[…] melewekkan mulutnya mengucapkan ‘dang-dut, dang-dut’…” dan kemudian dipopulerkan oleh “redaktur yang lain dari majalah itu […] dalam sebuah tulisan main-main”? Ataukah justru dari celetukan di lagu Orkes Melayu Pengabdian berjudul “Emma Pola” di piringan hitam vinyl 12-inch Oom Senang (dirilis Serimpi Records di sekitaran era itu), “Papi tidak bisa lagu-lagu India yang pakai ‘dang-dut, cik-cik, dang-dut’…”? Atau dari mana sebenarnya? Setiap pihak bisa membuat klaim dengan argumentasi masing-masing, semua bisa diuji kembali, dan itu hal biasa dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Begitu pula soal benda terbang. Pada tahun 1960, muncul buku berjudul Menjingkap Rahasia Piringterbang. Penulisnya, Letkol Udara Jacob Salatun, adalah seorang perwira AURI yang pernah sekolah di Amerika, yang kemudian mempelopori berdirinya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan disebut-sebut sebagai Bapak UFO Indonesia. Buku setebal 350 halaman itu diterbitkan oleh Pustaka Rakjat dengan teks meyakinkan di sampul belakang, “RAHASIA PIRINGTERBANG jang telah 14 tahun lamanja dipersoalkan dunia internasional achirnja tersingkap didalam buku ini, jang dengan demikian mendjadi buku jang pertama didalam bahasa apapun djuga, jang mendjawab pertanjaan2…” Blurb-nya pun tak kalah mentereng, ada kata sambutan dari Ir. H. Djuanda, Jang Mulia Menteri Pertama Ketua Dewan Penerbangan, “Djikalau ia telah terbukti, ia sudah pasti akan membawa konsekwensi2 jang djauh sekali!”, beserta kutipan surat kabar yang menyebutnya “mengindjak taraf internasional.” Di buku ini mulai diusulkan padanan istilah lokal untuk UFO, yaitu BETA, singkatan dari “Benda Terbang jang Aneh”. Tercatat di situ, ternyata sudah ada penampakan “piringterbang” ketika usia republik masih sangat muda, yakni 19 Mei 1952 di Yogyakarta, selama 23 menit! Catatan tersebut dilengkapi dengan penuturan dari para saksi, namun masih tidak terlampau jelas apakah kesaksian yang menyertakan kata “piringterbang” di situ benar-benar secara verbatim terucap di tahun 1952, atau baru dinamakan seperti itu setelahnya ketika buku itu sedang dalam proses penyusunan selama lima tahun sebelum terbit pada 1960? Termuat pula di situ, catatan dari masa pra-kemerdekaan bahwa di Indonesia ternyata sudah ada penampakan BETA pada tahun 1944, di atas pabrik penyaring minyak di Palembang. Catatan tersebut didasarkan atas laporan seorang pilot tempur yang sedang menerbangkan pesawat pembom waktu itu, namun kesaksian tersebut baru dibuka untuk umum pada 1960. Buku Menjingkap Rahasia Piringterbang ini saya dapatkan dari seorang penjual buku bekas di Bandung, yang sejak itu jadi rajin menawarkan buku apa pun yang dia anggap bertema UFO, termasuk misteri-misteri kenampakan yang sebetulnya lebih berbau mistis. Demikianlah, semua temuan dari arsip-arsip lama yang saya telusuri memperlihatkan bagaimana istilah “piring terbang” tercatat setelah tahun 1950, mulai dari 1952 di majalah sampai tahun 1960 di buku. Bisa jadi ada informasi lain entah di mana, masih menunggu untuk ditemukan. Kembali ke perbincangan Brigadir Yayat ke Inspektur Hamid di draft awal cerpen “Bangsawan Deli dan Delia” tadi itu, memang mungkin saja istilah “piringterbang” itu ternyata sudah ada di percakapan sehari-hari pada tahun 1950, seperti latar waktu di semesta cerpen tersebut. Toh sesuatu yang tidak tercatat belum tentu berarti tidak ada, bukan? Namun sepanjang spekulasi itu belum bisa dibuktikan, sang cerpenis rupanya memilih mengikuti saran saya di email, ujarnya ringkas, “Terima kasih, soal UFO bisa dipangkas.”
__
#nowplaying: Daniel Johnston – “Space Ducks”