Dua hal yang paling saya ingat dari cerita-cerita kakak saya tentang kampusnya di Bandung awal dekade ’90an, yang diulang-ulang tiap kali dia pulang kampung ke rumah kami di pelosok Jateng adalah: kaos kaki murah (“Ada pasar kaget tiap Jumat, kaos kaki di situ harganya cuma Rp 500!”), dan bioskop kampus (“Ada meja di tiap kursi penontonnya!”). Ketika itu saya masih SMP, dan selain bahwa kaos kaki di sekolah hanya boleh warna putih polos, atau hitam polos di saat kegiatan Pramuka, agak sulit bagi saya membayangkan apa serunya nonton film di bioskop pakai meja? Saya melanjutkan SMA di kotamadya Solo, dan karena saya sudah berani naik bus malam antarprovinsi sendirian ke Bandung, oleh kakak saya diajaklah saya ke bioskop kampus yang sering dia ceritakan. Ternyata itu ruang kuliah umum, gedung tua dari tahun 1940 dengan ruang khusus proyektor di belakangnya. Karena lantainya berundak-undak, di deretan kursinya jadi ada beberapa level ketinggian, mirip tempat duduk bioskop pada umumnya. Yang tidak umum, di bioskop kampus ini memang ada meja kayu panjang di tiap kursinya, namanya juga ruang kuliah, dan desain meja kursi itu keren juga. Tua, tapi kokoh dan bergaya. Di depan ada papan tulis raksasa yang masih memakai kapur, dirancang sedemikian rupa sehingga bisa digeser ke samping lewat roda-roda di atas rel kecil, menyisakan dinding di belakangnya sebagai layar lebar. Pemutaran film di situ biasanya diadakan dua kali sepekan, tiap Rabu malam (setelah mahasiswa puyeng ujian tengah semester) dan Sabtu malam. Kata kakak saya, nanti begitu lampu dimatikan sebelum film dimulai, terlebih dahulu bakal ada pemutaran lagu instrumental yang menurutnya cukup seru dan interaktif. Saya belum paham apa yang dia maksud dengan interaktif, sampai saya menyaksikan sendiri malam itu dan mata saya terbelalak. Dalam volume sangat keras, alat musik tiup yang mendominasi lagu pembuka itu seperti berkejar-kejaran dengan dirinya sendiri karena slot perkusi seperti sengaja dibiarkan tipis agak lowong, dan bagian perkusi itulah yang direspons penonton. Repetisi nadanya alih-alih mengganggu malah intens membakar semangat, dengan grafik emosi yang perlahan naik, memuncak, berputar ke titik semula, berulang lagi seperti sebuah siklus yang tak pernah habis. Beberapa bagian di lagu itu cocok jadi aba-aba penggerak massa di ruang tertutup, dan memang itu yang terjadi: semua penonton, kompak dan serentak, menggebrak-gebrak meja di depannya dengan tangan! Dalam tempo dan beat tertentu! Bahkan untuk penonton baru seperti saya, tidak sulit untuk bisa langsung mengikuti irama gebrakannya. Sebetulnya itu mirip pola klothèkan di zaman saya SD dulu, tapi ini lebih massal lagi dengan dosis berlipat ganda dan saya merinding. Bioskop kampus itu punya kapasitas 200 kursi, dan di dalam gelap gulita saya seperti terhisap ke sebuah ritual musik tradisi yang guyub dan ingar-bingar; yang kuno sekaligus modern karena di saat bersamaan ada pendar-pendar cahaya sinema di layar besar di depan sana. Film yang diputar waktu itu Dead Poets Society, adegan “O Captain! My Captain!” cukup menggugah anak SMA gamang seperti saya, dan setahun kemudian, 1998, saya diterima kuliah di kampus itu. Tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk saya bergabung di klub filmnya, yang bermarkas tepat di sebelah loket bioskop. Di situlah saya sempat mencicipi rasanya menjadi seorang Joni, karakter pengantar roll film yang diperankan Nicholas Saputra di film Janji Joni. Sekitar 1999-2000, pernah beberapa kali saya harus ngebut di atas motor dari gudang distributor film di Jl. Sudirman ke Jl. Ganesha demi mengejar waktu, membawa setumpuk kaleng bundar gepeng besar berisi roll-roll film seluloid 35mm. Ketika itu saya dibonceng seorang kawan, anak punk yang kuliah IT, dan malam itu kami adalah Joni sekaligus proyeksionis. Kalau tak berhati-hati memasangnya, gulungan seluloid itu bisa tumpah dari roda-roda proyektor ke lantai, dan itu rasanya seperti kiamat kecil: butuh waktu berjam-jam untuk bisa merapikannya kembali, nyaris mustahil, belum lagi kuping dibikin panas oleh makian senior-senior penggerutu. Haha. Sebagai proyeksionis, atau istilah saat itu “petugas teknik”, saya sukses di beberapa film buruk seperti Anna and the King, tapi pernah juga tak sengaja menukar urutan roll seluloid di beberapa komedi romantis ’90an yang saya bahkan sudah tak ingat lagi judul-judulnya, yang mungkin malah berubah jadi “art film” gara-gara plotnya saya acak-acak! Sementara film sebagus Fight Club cuma ditonton segelintir orang, saya lupa itu musim ujian atau malah liburan. Pernah juga terkantuk-kantuk nyaris ketiduran di Ruang Teknik, sebutan untuk ruang proyektor, dan saya telat memasang roll berikutnya. Satu film biasanya terdiri dari enam roll seluloid, diurutkan di dua proyektor bergantian. Atas kelalaian teknis seperti itu, dari dalam bioskop biasanya akan terdengar suara meja digebrak-gebrak, kali ini oleh penonton yang kesal. Saya ingat film Run Lola Run meraup banyak sekali penonton sampai full-house, waktu itu harga karcisnya Rp 1000. Setelah bulan-bulan sebelumnya penjualan tiket cenderung sepi, malam itu penonton kembali membludak dan sebagian datang dengan muka penasaran. Duo proyeksionis di malam bersejarah itu: mahasiswa Matematika si kuncen ruang proyektor, dan kawan baik saya seorang gitaris dangdut yang nyambi kuliah di Teknik Kimia. Saya mondar-mandir sok sibuk, keluar masuk ruangan memastikan semua berjalan lancar. Ruang Teknik yang gerah berdebu makin terasa gerah saat mesin proyektor dinyalakan, lampu sorotnya yang panas dan menyilaukan membuat debu-debu tipis seperti berpendaran dalam gerak lambat. Lewat lubang kontrol saya mengintip ke dalam, siluet ratusan kepala seperti menunggu aba-aba, bersiap membawakan orkestra gebrak meja terbaiknya. Ketegangan mulai merayapi ruang proyektor. Saya familiar dengan perasaan itu. Seseorang menekan tombol Play di tape-deck tua di pojokan Ruang Teknik yang kabel amplinya terhubung ke dua speaker jumbo di dalam bioskop, dan lagu instrumental itu kembali menyalak. Menurut saya volumenya musti dibesarkan. Gemuruh penonton menggila, makin lama makin keras, bahkan sampai tembus ke ruang proyektor. Itu suara gebrak-gebrak meja paling ganas yang pernah saya dengar. Musik techno Jerman yang melatari film Lola Rennt pun semakin menambah aneh suasana. Sudah lama juga penonton tidak disuguhi film-film seperti itu. Setelah penonton pulang dan layar ditutup, kami makan pecel lele sepuasnya di warung depan kampus. Sebetulnya itu bayaran standar untuk para petugas teknik (semua makanan dan minuman yang ada di klub film ini disebut “kesra”, singkatan guyon dari “kesejahteraan rakyat”), tapi malam itu saya mencomot tahu tempe dan kol goreng lebih banyak dari jatah seharusnya.
*
Selama bertahun-tahun, sebagian besar mahasiswa yang tergabung di unit film tersebut—konon berdiri sejak 1960—mengira lagu pembuka bioskop kampus yang terekam di pita kaset C30 tanpa judul itu adalah lagu mars mereka. Kuping dan intuisi detektif saya berkata “Ah, nggak mungkiiin” dan mulai menyelidiki. Kru-kru yang masih aktif (oya, ‘kru’ adalah sebutan bagi anggota klub liga film ini) ternyata tak bisa diharapkan sama sekali. Di beberapa reuni akbar yang saya datangi, saya merapat ke kursi-kursi alumni angkatan tertua dan bertanya soal lagu itu. Beberapa mengaku tidak tahu, bahkan mungkin tak peduli, tapi sempat ada yang bilang lagu itu diambil acak dari koleksi piringan hitam milik kerabat seorang kru lama. Astaga, berarti itu lagu orang! Langsung tergambar di kepala saya, sangat mungkin ini seperti Srimulat di televisi yang cuek mencomot lagu “Whisky and Soda” dari Roberto Delgado and His Orchestra untuk dijadikan lagu pembuka pentas-pentas mereka. Sayangnya apps seperti Shazam atau Soundhound belum ada, jadi saya terus mencari tahu secara manual, mengais informasi sana-sini, seperti arkeolog berharap cangkulnya ketemu fosil. Di reuni kesekian, yang sejujurnya saya datangi lebih karena ingin mengulik lebih lanjut soal lagu itu, seorang kru sepuh dengan rambut beruban menyebut-nyebut judul yang terdengar seperti nama perempuan. Dia sendiri tidak terlalu yakin. Bagaimana pun ini titik cerah. Sepulang dari situ saya langsung begadang di depan komputer sampai subuh, mengerahkan semua googling skills terbaik saya dari info yang cuma secuil itu. Saya masukkan kata kunci mirip nama perempuan itu dengan segala variasi kemungkinan ejaan, dikombinasikan dengan berbagai kata kunci lainnya. Akhirnya ketemu juga infonya! Setelah saya kroscek dengan berbagai referensi, saya yakin memang itu judul lagunya, beserta nama musisinya. Yeah! PR berikutnya, mencari piringan hitamnya. Ini bagian paling seru. Semua penjual musik langganan saya, beberapa sudah kenal baik, saya mintai tolong. Di luar dugaan, hampir semuanya angkat tangan. Bisa jadi nama itu kurang populer di sini? Salah satu dari mereka sempat menemukan vinyl dan kaset dari musisi tersebut, tapi tidak memuat judul lagu yang saya cari. Pasar kaget Jumat di depan kampus yang pada masanya lebih sering saya datangi demi kaset bekas ketimbang kaos kaki baru pun tidak banyak membantu. Setelah bertahun-tahun mengubek-ubek loakan di sepanjang Pulau Jawa, Lombok, dan Bali, mengontak beberapa orang yang suka mengaku-ngaku kolektor, menyambangi bazaar musik lawas di beberapa kota besar, akhirnya saya menyerah juga. Harapan menemukan piringan hitamnya dengan mata kepala dan tangan sendiri kandas sudah. Tapi saya masih pengen dengar lagu itu dalam format otentiknya; seperti ketika pertama kali seseorang mencomotnya dari tumpukan plat, dibunyikan bersama keajaiban sinema ke dinding belakang papan tulis, yang selama puluhan tahun diyakini sebagai lagu mars klub mereka. Bukankah itu kisah yang lucu? Kenapa ujung ceritanya musti begini? Saya akhirnya memutuskan untuk membelinya lewat internet, dengan bantuan Rani istri saya, vinyl 7″ itu dari lapak online seorang penjual piringan hitam di luar negeri. Menghadiahi diri sendiri setelah sekian lama berburu toh bukan ide yang buruk. Maka beberapa tahun lalu di hari ultah saya, sudah saya hitung dengan cermat waktunya, paket kecil dari Italia mendarat di depan pintu. Apakah saya menitikkan air mata atau tidak, rasanya sudah bukan hal penting lagi di sini. Saya membuka bungkusnya dengan tangan gemetar. Piringan hitam ini sudah tua, kondisinya bekas dan entah siapa pemilik pertamanya. Stiker labelnya luntur dimakan usia. Mungkin penjualnya sendiri tidak menyangka bakal ada yang membelinya, dari jarak ribuan mil pula! Untuk mengenang fase tergenting dari masa muda saya di akhir dekade ‘90an, inilah satu nomor instrumental dari pemain terompet asal Inggris tahun 1960. Tuan dan puan sekalian, mari kita sambut Eddie Calvert, dengan lagu berjudul…
“GABBIE”!
[Budi Warsito]