Seorang kawan di status Facebook mengunggah foto jepretannya, satu mulut gang di Bandung, tembok bergambar lidah merah terjulur dan bertuliskan “Gg. Stones”. Teman lain menanggapi foto itu dengan rasa penasaran, “Kenapa orang-orang di Bandung jaman dulu segitu sukanya sama The Rolling Stones? Terus kenapa juga orang yang paling garang dipanggil [sic] ‘Jegger’, padahal dia asa teu garang?” Si penanya tumbuh remaja di Bandung era ‘90-an. Bahasa Sunda “asa teu garang” di situ artinya “perasaan kok nggak garang”, dan penanda waktu untuk “Bandung jaman dulu” itu saya rasa maksudnya sekitar era ’70-‘80-an. Karena saya turut dijawil di kanal komentar, saya ikut urun pendapat. Apa sebetulnya barometer kegarangan? Di atas panggung, di kehidupan sehari-hari, atau bagaimana? Orang boleh terus berdebat siapa yang lebih garang, Mick Jagger atau Keith Richards. Anekdot klasik yang sering diulang-ulang: walau suka mabuk-mabukan dan mengaku pernah mencoba semua jenis obat-obatan, Keith Richards tetap bakal hidup lebih lama ketimbang kecoak, bahkan ketika bumi luluh lantak oleh bom nuklir sekalipun. Di sebuah wawancara tahun 2002 dengan David Fricke di majalah Rolling Stone, ‘Keef’ Richards mengenang dirinya sewaktu muda, saat dia harus melamar kerja ke sebuah biro iklan dan malah ditanya, “Kau bisa bikin teh yang enak?” Jawabnya singkat sebelum angkat kaki dari tempat itu, “Oh, tentu. Tapi bukan untukmu.” Tak pernah ada “Yes, Sir” di kamus hidupku, ujar Keef. Karakter si kepala perompak di film Pirates of the Carribean, kapten Jack Sparrow, oleh kreatornya dibayangkan sebagai gabungan sosok Keith Richards dengan seekor sigung dari kartun Looney Tunes. Lucunya, manajer awal The Rolling Stones menghapus huruf ‘s’ dari nama belakang si gitaris menjadi Keith Richard, supaya terkesan lebih pop. Majalah Aktuil di salah satu edisi 1968 pernah mengangkat liputan konser mereka di Berlin, “Keith Richard mendapat giliran untuk lagu “Happy”, dan lagu-lagu rock lainnja…” Keef baru mengembalikan huruf ‘s’ ke nama belakangnya di sleeve piringan hitam album Some Girls (1978). Bisa dimengerti jika media-media lokal di Indonesia setelah 1978 masih belum konsisten menyertakan huruf ‘s’ itu, kadang ada tetapi sering juga tidak. Soal porsi pemberitaan media di awal kejayaan mereka, lampu sorot untuk si frontman Mick tentu lebih banyak. Mereka bukan band instrumental dan pusat perhatian penonton pastilah si penyanyi. Itu wajar karena dunia memang tak adil, meski sound definitif Blur tercipta dari gitar Graham Coxon, misalnya, orang lebih mengingat gaya pecicilan sok flamboyan Damon Albarn di atas panggung. OK, analogi itu mungkin tidak terlalu pas, harusnya Gallagher bersaudara karena konon Blur adalah The Beatles dan Oasis adalah The Rolling Stones? Hehe. Mengenai istilah “jeger” untuk “orang paling garang” yang dipertanyakan tadi, saya amati beberapa kawasan di Indonesia memang punya sebutan khas masing-masing untuk anak muda ugal-ugalan, semacam padanan lokal untuk istilah londo “straatjongen”, atau “cross boy” kalau istilah sok keminggrisnya. Misalnya, “jenggo” di Jakarta dan sekitarnya. Atau “jegger” (atau “jègêr”) di wilayah Jawa Barat, terutama Bandung. Ada juga “gêntho” di sekitaran Jateng-DIY, atau yang lebih jauh lagi konotasi maknanya sampai menjurus ke aksi premanisme, “gali”, semacam gentho versi lebih keras. Di daerah Jatim ada sebutan “korak”. Istilah “cross boy” sendiri pertama kali muncul di Bandung, setidaknya menurut artikel di majalah Minggu Pagi edisi 13 April 1958 yang saya dapatkan dari arsip seorang kawan, bahwa sudah sejak permulaan tahun 1957 di Bandung terlihat banyak anak muda “jang senang mengenakan tjelana mretjetnja, atau lebih terkenal dengan sebutan tjelana Cow Boy”. Gerak-gerik mereka meniru “lagak Cow Boys Mexico di Amerika”, yang mana jika “ada jang melihatnja maka oleh mereka itu diadjaknja berkelahi.” Anak-anak muda Bandung berperangai semacam itu mulai dikenal dengan sebutan “Cross Boys”, karena “pekerdjaan mereka sehari-harinja hanjalah mondar-mandir didjalan2 dengan tidak tertentu arah dan tudjuannja.” Rentetan kejadian meresahkan di Bandung itu memuncak di bulan September-Oktober 1957, ketika terjadi banyak perkelahian secara bergerombol yang tidak hanya memakai tangan kosong tetapi “djuga mempergunakan sendjata tadjam dan rantai”, sehingga aparat mulai melakukan razia terhadap pemuda-pemuda “jang mengenakan tjelana Cow Boy dan djaket James Dean”. Dari situ, lanjut artikel ini, istilah tersebut mulai menyebar ke beberapa kota besar di Indonesia. Saya memeriksa beberapa surat kabar lain dari masa itu, termasuk De Preanger, koran berbahasa Belanda di Bandung yang pada tahun itu masih terbit. Di edisi 12 September 1957 ada artikel berjudul “Cross Boys in Actie”, memberitakan peristiwa keributan di Medan, dengan beberapa korban jiwa akibat penusukan. “Naar de redenen van deze vechtpartij tast men in het duister”, sebab musabab perkelahian masih belum diketahui. Sementara di Yogyakarta, menurut artikel “Actie tegen Cross Boys” yang termuat di koran lain, Java Bode edisi 1 Oktober 1957, empat orang “Cross Boys” ditangkap polisi karena sebuah bentrokan yang melibatkan “een groep jongelieden, gekleed in Yankee broeken”—sekelompok anak muda bercelana Yankee. Celana Yankee ini, atau kalau lidah lokal sering menyebutnya celana jengki, adalah istilah waktu itu untuk menyebut celana à la Barat dengan potongan pipa bawah cenderung sempit, sehingga tampak lebih ketat dibanding kebanyakan celana lokal. Buntut dari kericuhan itu, menurut artikel tersebut, tukang-tukang jahit di sana dilarang menerima pesanan celana Yankee lagi. Saya jadi ingat satu lagu di film Krisis (Usmar Ismail, 1953) tentang celana Yankee yang dianggap sebagai lambang kemajuan saat itu, karena “model kuno djauh dibuang/ djika tidak, ah, ketinggalan djaman!” Reff-nya berbunyi, “Tjelana Yankee, aksi dansa-dansi/ Seradak-seruduk seperti babi tjari ubi!” Lalu, “Tjelana Yankee, dojan boogie-boogie/ Kosrat-kosret bak kutjing mabuk terasi!” Kocaknya, bioskop Metropole sempat menolak memutar film Krisis karena dianggap tidak layak. Usmar Ismail marah dan melayangkan bogem mentah ke muka si pengelola bioskop elite itu. Waduh, Cross Boy Menteng ini namanya! Istilah “jenggo” muncul sekitar satu dekade kemudian, diambil dari nama si koboi jagoan di film klasik spaghetti western Franco Nero, Django (1966), yang populer di bioskop-bioskop sekitar akhir dekade ‘60-an hingga awal ’70-an. Perhatikan kemiripan polanya dengan obsesi para “Cross Boys” pada dekade sebelumnya: sama-sama gila koboi. Karena itu saya yakin istilah lokal “jenggo” bukan dari Django Reinhardt, walau dari arsip siaran RRI Djakarta dan Bandung yang saya telusuri, lagu-lagu dari gitaris jazz kenamaan Prancis itu sudah mengudara di sini pada era 1950-an. Django si pemain gitar tidak cukup “jenggo” untuk disebut “jenggo”, Django si koboi jelas lebih “jenggo”! Tenarnya film koboi Django itu banyak memunculkan respons kreatif. Hans Djaladara di komik Pandji Tengkorak (1968) misalnya, menggambarkan jagoannya menyeret peti mati berisi jenazah sang kekasih ke mana-mana, mirip yang dilakukan si koboi Django di film. Industri musik pop ikut bereaksi dengan merilis lagu-lagu berdasarkan theme song bikinan Luis Bacalov di film itu, dengan berbagai variannya. Misalnya, cover version “Django” oleh Lilis Surjani dalam bahasa Italia pada tahun 1968. Lilis membikin pula versi bahasa Indonesianya. Ada juga yang sekadar terinspirasi oleh tema liriknya, seperti lagu pop Minang “Kudo Djanggo” (dieja dengan dua ‘g’) di piringan hitam Elly Kasim. Di plat kompilasi Aneka 12 Vol. 6, Yanti Bersaudara ber-garage rock-ria dengan nama Janti Sisters lewat “Sang Django” diiringi band The Pro’s, “Mangkanye aye nodong-nodong orang/ Lebih baik dari bunuh orang!” Busyet. Versi lain lagu Yanti Bersaudara itu muncul di kompilasi Varia Malam Eka Sapta, dan salah dieja sebagai “Sang Bango” di keping platnya! Di piringan hitam yang sama, Trio Parsito mengcover “Django”-nya Bacalov dalam lolongan bahasa Inggris, “Once you loved her, whoa-oh/Now you’ve lost her, whoa-oh-oh-oh/ But you’ve lost her for-ever, Djangooo!” Favorit saya ada di duet kocak Oma Irama & Elvy Sukaesih di album Django (1971), yang sampai terbit dalam dua versi piringan hitam, LP 12-inch berisi 11 lagu dan EP 7-inch berisi 4 lagu. Di lagu pembuka berjudul “Django” itu Oma berusaha membujuk Elvy bertamasya naik kuda dengannya, “Let’s go!/ Lihatlah aku bergaya/ Beraksi di atas kuda/ Seperti ‘Django!’ lagaknya/ Tidakkah kau terpesona?” Di dunia sinema, muncul film Benyamin S. berjudul Tiga Janggo (1976) oleh Nawi Ismail, sutradara film-film terbaik Bang Ben selain Sjumandjaja. Kalau istilah “gali” dan “korak” saya kurang paham asal-usulnya. Ada yang bilang itu singkatan dari “gabungan anak liar” dan “kotoran rakyat”, tetapi saya meragukannya, istilah di bahasa Jawa kok singkatannya malah berbahasa Indonesia? Soal itu perlu penelusuran serius tersendiri. Sementara istilah “jeger” memang berasal dari Mick Jagger. Meski teman saya tadi meragukan kegarangan Mick Jagger, apa boleh buat dari sononya The Rolling Stones sudah selalu dicitrakan sebagai band urakan dan berbahaya, dengan sasaran audiens yang lebih macho dan nihilistik, antitesis dari anak-anak manis The Beatles yang identik dengan jeritan histeria gadis-gadis remaja. Anehnya, ketika The Beatles dilarang di Indonesia era Sukarno karena musik Barat dianggap penjajahan bentuk baru, The Rolling Stones malah ‘lolos’. Saat Dara Puspita musti wajib lapor ke aparat setelah ketahuan bersama Koes Bersaudara memainkan lagu ngak-ngik-ngok di sebuah pesta pertengahan 1965, selama di kantor polisi mereka disuruh untuk terus-menerus memainkan secara bergantian lagu yang dilarang dan lagu yang tidak dilarang. Sampai suatu ketika, seperti yang pernah dituturkan Titiek Hamzah pemain bass Dara Puspita, mereka sengaja memainkan di depan aparat lagu The Rolling Stones “(I Can’t Get No) Satisfaction”, dan ternyata dibolehkan. Rupanya di pemahaman aparat hanya musik Bitel saja yang dilarang. Dara Puspita mengenang momen absurd itu dengan menyelipkan riff “Satisfaction” ke intro lagu “Mari-Mari” (ciptaan Titiek Puspa), track pembuka untuk debut fenomenal mereka, Jang Pertama, direkam oleh sound engineer Dick Tamimi. Lebih dari sekadar menjiplak atau aksi homage, itu justru sindiran Dara Puspita atas larangan kagok ngak-ngik-ngok di masanya. Sementara di negeri asalnya, The Rolling Stones sempat masuk penjara karena pemakaian drugs, dikecam dan dikritik para orangtua di Inggris, gitaris mereka ditemukan tewas tengkurap di dasar kolam, dan penonton mereka mati ditusuk di sebuah konser di Amerika. “The Beatles want to hold your hand,” kata penulis Tom Wolfe, “but the Stones want to burn down your town.” Kenapa band tersebut bisa sepopuler itu di Bandung Lautan Api, menurut saya adalah kombinasi dari sejarah panjang “Cross Boys” di kota ini dengan gelombang pengaruh dari apa yang kini lazim disebut dengan “key opinion leaders” alias KOL. Dengan lirik-lirik membakar seperti “I was born in a cross-fire hurricane” dan “I was crowned with a spike right thru my head” tapi “It’s all right, I’m Jumpin’ Jack Flash! It’s a gas! Gas! Gas!”, Mick Jagger adalah koboinya koboi. Semua polah tingkahnya cocok dengan spirit “hirup aing kumaha aing”—hidup saya terserah saya. Bayangkan berapa banyak anak muda yang penuh resah dan amarah, merasa tercerahkan hidupnya karena mendapati muka-muka teler dengan bibir dower dan rahang mirip binatang buas ternyata bisa juga menguasai dunia! Majalah Aktuil, salah satu agen persebaran pop culture terbesar di kalangan anak muda kala itu, termasuk gencar memberitakan The Rolling Stones dan bukan kebetulan kantor pusat mereka ada di Bandung. Di edisi 1972, misalnya, sampulnya memuat judul bombastis “Mick Jagger: Masih Seorang Revolusionerkah Dia?” Tak hanya menerjemahkan artikel-artikel dari majalah musik Barat, di edisi Desember 1975 muncul reportase ‘otentik’ bertajuk “1975 Stones in the U.S.A.”, yang disusun oleh staf redaksi Aktuil cabang New York. Mereka menuliskan upaya keras mereka mendapatkan dua puluh tiket konser The Rolling Stones, untuk melayani penggemar-penggemar majalah Aktuil yang “berebutan memesan via kantor di New York”, dan akhirnya mereka cuma kebagian empat karcis. Salah satu yang berhasil masuk ke konser di Madison Square Garden itu, seseorang bernama Deden Suherlan, ikut menulis di artikel, “[…] musik mereka cukup memikat dan menyaksikan mereka di atas panggung show adalah impian bertahun-tahun sejak saya masih di Bandung.” Key opinion leaders lainnya, dan boleh jadi ini amunisi terbesar di semesta kegandrungan anak-anak muda Bandung dan sekitarnya, adalah figur-figur macan panggung dari Kota Kembang seperti Deddy Stanzah dan Bangun Sugito (alias Gito Rollies), ditambah pria asal Sukabumi yang kemudian malah bermusik di Malang, yaitu Mickey Merkelbach (alias Micky Jaguar, nantinya dijuluki Mick Jagger-nya Indonesia). Remy Sylado menulis naskah Orexas, cerita kontroversial yang dimuat bersambung dari tahun 1971 sampai 1972 di majalah Aktuil “karena terilhami oleh nyentriknya Gito.” (Kompas, 2 Maret 2008.) Audiens majalah itu juga terpapar reportase tentang aksi-aksi panggung rock lokal yang teatrikal dan terkadang menjurus brutal, seperti band Ternchem dari Solo dengan ularnya, dan Mickey Merkelbach yang saat menjadi vokalis band Bentoel tampil menenteng kelinci ke atas pentas lalu ditikam dan dihisap darahnya, sehingga pertunjukan harus distop panitia. Sementara piringan hitam debut Troublemaker (1976) dari Superkid—supergroup asal Bandung bikinan Denny Sabri pendiri Aktuil, dengan formasi trio Deddy Stanzah, Deddy Dores, dan Jelly Tobing—dibuka dengan lagu gado-gado dari beberapa hits luar negeri termasuk The Rolling Stones (“Jumpin’ Jack Flash”), bahkan kata “Jagger” dan “The Rolling Stones” dimasukkan pula ke dalam lirik. Lagu “Honky Tonk Woman” (ditulis dengan huruf ‘a’ di keping platnya) malah dibawakan penuh di side B track ke-2, dan sering mereka tampilkan live di atas panggung. “Honky Tonk Women” adalah lagu wajib para penggemar Stones di Bandung. Superkid di awal kemunculannya terkenal dengan aksi panggung yang dahsyat, termasuk kebiasaan Deddy Dores membanting gitar double-neck sampai hancur berkeping-keping. Saking ngetopnya The Rolling Stones di Bandung, sampai ada ungkapan bernuansa Sunda, “A’, Setun, A’…!”, artinya “Bang, Stone, Bang!”, yaitu ekspresi penonton meneriakkan request supaya lagu-lagu Setun saja yang dimainkan oleh siapa pun band yang sedang tampil di atas panggung. Sosok-sosok Jagger-wannabe makin menjamur di Indonesia di dekade ’80-an; kita tahu di Jakarta ada Rico Korompis dari Acid Speed Band (yang tampil cameo di film Anunya Kamu Sersan Prambors, 1986, menyanyikan sepotong lagu “Backstreet Girl”) dan Bimbim dari Cikini Stones Complex (cikal bakal Slank). Gola Gong, pengarang serial novel Balada Si Roy asal Serang, Banten, pernah bercerita di blog-nya, dulu saat kuliah di Bandung tahun 1982 dia sengaja memilih indekos di daerah Cikaso, sekitar Jalan Supratman, hanya supaya bisa dekat dengan tempat tinggal idolanya, Deddy Stanzah. Kaset-kaset bootleg lokal berisi katalog panjang The Rolling Stones juga banyak bertebaran di pasaran ketika itu dan laku keras. Kegandrungan nasional ini kian memuncak ketika Mick Jagger datang ke Jakarta, akhir Oktober 1988, untuk konser solonya. Meski itu bukan konser The Rolling Stones (mereka sedang tidak akur ketika itu, periode yang oleh Keith Richards disebut “World War III”), para penggemar Setun tetap membanjiri stadion utama Senayan dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan ada fans dari Jateng yang sengaja berkemah di sekitar venue dan rela tidur di tenda selama berhari-hari menjelang hari-H. Dari foto-foto di media massa, terlihat beberapa rocker Indonesia seperti Ahmad Albar dari God Bless juga hadir. Majalah Nona memuat foto Jagger mengayuh sepeda di Kebun Raya Bogor, dengan Ria Irawan membonceng di belakangnya. Seperti yang sudah diperkirakan banyak kalangan, konser Mick Jagger dengan 70.000 penonton itu berakhir rusuh. Seorang kawan yang tinggal di kawasan Kebon Pisang, Bandung, pernah menyimpan foto dekade ’80-an dari orang-orang yang kerap disebut “jeger” oleh lingkungan sekitar, dan dia bercerita betapa di foto itu jeger-jeger Bonpis itu memang berpakaian à la Mick Jagger di atas panggung. Stiker (alias gambar tempel) bermotif lidah melet, ikon Setun, juga populer dan banyak dijual tukang-tukang stiker di pinggir jalan. Di buku Stiker Kota (2008) terbitan ruangrupa, stiker-stiker The Rolling Stones bikinan lokal itu turut diarsipkan, dan dari penelitian di buku itu saya baru tahu pabrik stiker terbesar di Indonesia salah satunya ada di Bandung! Majalah Aktuil dari paruh pertama dekade 1970-an memang sudah biasa menyisipkan bonus-bonus menarik untuk pembacanya berupa stiker macam-macam band, juga poster ukuran besar dan gambar setrika untuk dicetak sendiri di kaus-kaus. Bahwa kemudian ada yang mengartikan “jeger” sebagai singkatan dari “jelema gering”—dalam bahasa Sunda artinya “orang sakit”, makna konotatifnya semacam “agak nyentrik”—saya rasa itu hanyalah singkatan yang diada-adakan, yang baru dimunculkan belakangan seperti “gali = gabungan anak liar” tadi itu, atau “preman = prei mangan” alias makan gratis kalau di warung-warung, sejenis metode othak-athik gathuk yang dalam khazanah bahasa Jawa dikenal sebagai “jarwodosok”. Contoh klasik jarwodosok: “kodhok” = “teko-teko ndhodhok“ (katak, datang-datang langsung jongkok), “garwo” = “sigaraning nyowo“ (istri, belahan jiwa), “keris” = “mlungker ra iso nggo ngiris“ (berkelok-kelok tak bisa dipakai mengiris), dsb. Bukti lain betapa kepopuleran Mick Jagger dkk di Bandung saat itu sudah sampai ke titik yang lebih jauh, di era ’70-’80-an ada seorang pemusik buta yang sering mangkal di Jalan Braga, membawakan lagu-lagu The Rolling Stones dengan instrumen kecapi, dan karena itu dia terkenal dengan julukan Braga Stone. Menurut artikel di tabloid Mutiara edisi 26 Februari 1986, yang mula-mula memberi julukan itu adalah mahasiswa-mahasiswa ITB angkatan 1973-1974 yang sering lewat Jalan Braga dan berteriak memanggilnya, “Halo, Braga Stone!” Tawaran manggung pertama juga datang dari seorang mahasiswa ITB jurusan Elektro, sekitar 1974. “Saya sempat dibeliin sepatu sama dia,” ujar Braga Stone. Di panggung perdananya itu Braga Stone diberi honor Rp1.350. Sebagai gambaran, harga majalah Aktuil ketika itu Rp150. Pria bernama asli Supeno ini juga sempat tampil di luar Bandung seperti Jakarta, Jateng-DIY, sampai di luar Jawa seperti Medan (tanah kelahirannya), Bali, dan Kalimantan Barat. Dia juga pernah tampil bersama Bimbo dan Bonnie Rollies, bahkan masuk dapur rekaman. Album rekaman Braga Stone dijuduli Kecapi in Pop (1978), berisi cover version instrumental dia atas lagu-lagu hits dari Bob Dylan sampai Bob Tutupoly. Kasetnya dirilis oleh Yess, label bootleg lokal ternama di Bandung. Biasanya Yess hanya merilis album-album dari musisi luar negeri bergenre prog-rock, experimental, fusion jazz, beserta segala variannya. Braga Stone adalah satu-satunya artis lokal di katalog panjang mereka. Ini menegaskan bahwa Supeno memang fenomena tersendiri. Kaset itu kini cukup langka dan lumayan diburu oleh para kolektor musik. Untunglah saya masih menyimpannya. Pertengahan 2003, di Bandung muncul band noise rock/experimental postpunk/perfomance art bernama A Stone A, yang dimotori seniman (alm.) Andry Moch dan teman-teman kuliahnya dari Universitas Pendidikan Indonesia, dengan aksi panggung kumaha aing yang sangar dan penuh kejutan. Di akun MySpace mereka tertulis keterangan di About [sic], “Read in Indonesian accent “Ah stoon Ah”. The name is taken from the scene of The Rolling Stones fanatic fans’ shout, in freestyle translation “A Stone A” means “play the Stones dude!” or “you like the Stones dude” or “you’re stoned dude!”” Sekarang rilisan-rilisan mereka sudah sangat sulit ditemukan. Sekitar tahun 2009, kepada Akbar dari A’ Stone A’ saya sering bercanda bahwa muka dia mirip banget vokalis The Decemberists di sampul majalah Paste terbaru waktu itu, tetapi Akbar selalu bersikukuh dia lebih mirip vokalis Modest Mouse. Ketika kaset mereka dirilis khusus oleh Omuniuum Records untuk perayaan Record Store Day 2015 sebanyak 100 kopi, para personel A’ Stone A’ membubuhkan tanda tangan mereka di sleeve kaset yang saya beli, dan di situ Akbar menulis namanya “Akbar Modest Mouse”. Hahaha, kumaha maneh we lah Bar! Di akhir obrolan Facebook yang membahas foto “Gg. Stones” tadi itu, seorang teman ikut meninggalkan komentar menarik: menurut dia, bisa jadi “jeger” itu berasal dari “Jäger”, sebuah istilah di dunia militer dalam bahasa Jerman. Setelah memeriksa artinya di Wikipedia, silakan direnung-renungkan sendiri apakah pendapat itu masuk akal atau tidak. Lagi pula, apa sih yang tidak mungkin di negeri kita yang serba lucu ini?
[Budi Warsito]
_____
Foto oleh Widyarani, sebuah gang bernama Gang Stones di Jalan Pelesiran, Bandung, medio 2017.
Pagi Mas Budi, saya ijin share tulisan ini di timeline Facebook saya, Mas Budi, jika diperbolehkan. Hehehe.
Tulisan ini keren! Bisa menjawab rasa penasaran saya, tentang istilah ‘jeger’ yang identik sama ‘wong kuat’. Bapak saya bilang, di kampung saya di pelosok selatan Jawa Tengah, ungkapan ini juga pernah populer, hahaha.
Halo Akmal, silakan 🙂 Wah, di Jateng selatan juga sempet populer ya istilah ini? Menarik. Mungkin persebarannya memang sampai ke beberapa penjuru Pulau Jawa kali ya? Saya penasaran apakah nyampe Jateng itu mulanya dari mulut ke mulut saja, di percakapan verbal informal sehari-hari; ataukah sempat muncul juga di media massa seperti di siaran radio setempat, misalnya. Coba ditanyakan ke bapaknya Akmal 🙂