hiburan murah meriah di taman kota pada hari kesekian dari days of doing nothing di masa liburan panjang: memancing ikan plastik di kolam palsu. meski ada banyak kail berumpan magnet di situ, si kecil malah memilih pakai jala, karena menurutnya, “lebih gampaang, papaaa…” waduh. baiklah, buat apa bersusah-susah kalau ada yang lebih mudah? sambil kecipak-kecipuk menjala ikan bo’ongan sepuasnya, cuma bayar lima ribu rupiah dapat ikan dua ember. sebelum pulang, ibunya si kecil beli kumang, bukan kumang plastik tapi kumang sungguhan. penjualnya sama, si pemilik kolam semu, lima ribu rupiah dapat dua ekor kumang kecil-kecil. “hah, hah…” demikian kumang-kumang itu dihembus angin surga dari congor tuannya, supaya mau nongol dari cangkangnya. waduh, siapa sih kita ini, memaksa-maksa mereka keluar dari comfort zonenya? dasar manusia. barangkali bisnis kumang masih dirasa kurang mencukupi, si pemilik kolam palsu tadi punya ide brilian dengan merambah ke dunia properti: bisnis rumah kumang. saya rasa ini tanda-tanda kemajuan zaman karena waktu saya kecil dulu yang namanya kumang cuma ditaruh begitu saja di dalam ember, atau paling di baskom. ada beberapa tipe rumah ditawarkan, tanpa perantara, lengkap dengan fasilitas masing-masing. si kecil mantap menunjuk satu tipe, rumah dua lantai berpagar rendah dengan sertifikat hak milik, dilengkapi satu buah perosotan dan satu buah tangga yang mirip… perosotan. mungkin diharapkan bahwa si pemilik rumah adalah mereka yang menikmati hidup dan tahu betul cara bersenang-senang; misalnya dengan bermain perosotan sepanjang hari. harga rumah tersebut lima belas ribu rupiah, saya tidak sampai hati membayangkan bagaimana perasaan dua ekor kumang tadi kalau tahu calon tempat tinggal baru mereka dihargai enam kali lipat harga diri mereka. sambil membereskan transaksi yang dibayar tunai di tempat, si penjual kumang memberitahu kami apa saja makanan kesukaan kumang: bengkoang, melon, semangka, atau food combining dari ketiganya. jadilah kami meluncur pulang sambil celingukan mencari tukang rujak. sesampainya di rumah (kami), dua ekor kumang tadi saya taruh di rumah baru (mereka). saya tidak tahu di mana persisnya letak wajah mereka dan seperti apa ekspresi raut mukanya, tapi dari bahasa tubuh saja sudah kelihatan mereka kurang bahagia. buat apa tinggal di hunian dua lantai dengan perosotan dan tangga mirip perosotan kalau kebebasan hakiki direnggut dari mereka? ketika saya mau memotret mereka, salah satu kumang mengambil keputusan berani dengan mengendap-endap keluar meninggalkan sangkar emasnya, mungkin sambil berteriak, “aku muak dengan semua ini!” saya mengerti dan membiarkannya pergi, memendam kembali mimpi saya melihat dua kumang itu hidup rukun bersama sampai tua, membina keluarga bahagia sejahtera sambil beranak-pinak sebanyak-banyaknya. to love is to let go.
___
postscriptum: ketika tulisan ini selesai diunggah, ternyata si kumang satunya lagi pun sudah ikutan kabur. saya mulai khawatir rumah kumang yang ditinggalkan penghuninya ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak abandoned houses di dunia fana ini. *keluh*
Pingback: Bobo Papa, Toko Mama – Larashati