Lagu Anak-anak Lawas

Selalu ada tempat istimewa di relung hati saya yang paling sunyi untuk plat-plat lagu anak-anak jadul Indonesia era akhir 1950an awal 1960an. Ciri khas rekaman-rekaman genre tersebut di rentang era itu: musiknya simpel tapi elegan, dengan vokal polos anak kecil (tak jarang beramai-ramai) yang biasanya memakai teknik satu suara (eenstemmig). Teknik satu suara ini sengaja dipilih karena anak-anak usia 5-10 tahun biasanya belum paham soal do-re-mi dan variannya, tapi justru karena itu polosnya otentik. Orkes pengiringnya profesional, tapi saat beraksi mereka bisa menahan diri, tanpa harus pamer skill yang njlimet—para maestro itu tahu betul porsi utama tetap di vokal bocah-bocah. Paling banter, di jeda pendek setelah reff #1 dan/atau reff #2 akan ada petikan melodi yang sedikit lebih maju ke depan, itu pun cuma sebentar sebelum kembali disambar oleh vokal. Contoh terbaik ada di piringan hitam 12-inch berjudul Tamanku: Njanjian Bersama Anak-anak asuhan Bu Retno. Musisi pengiringnya bukan nama sembarangan, Orkes Gita Kesuma Bangsa di bawah pimpinan sang legenda Jack Lesmana. Favorit saya di situ itu berjudul “Ibu Datang”, sebuah lagu menggemaskan dengan lirik “..ibu datang/ dengan membawa krandjang/ dari belandja tahu tempe dan katjang/ tidak lupa sajur bajam dan kentang/ kita semua mendapat kue pisang..” Dari cara anak-anak kecil itu bernyanyi bisa kita bayangkan suasana di ruang studio saat lagu itu direkam, mulut-mulut monyong anak kecil bermuka polos bernyanyi dengan semangat, ibu-ibu mereka bangga dan terharu dari balik pintu, sementara oom-oom pemain orkes mengiringi musik sambil tersenyum geli menahan tawa. Terasa betul semua bergembira. Contoh lain yang juga tak kalah asyik, Kukurujuk, piringan 12-inch dalam rekaman mono oleh Irama Records. Nomor-nomor legendaris yang mungkin masih populer hingga saat ini diaransemen dengan sangat menarik di situ seperti “Ajam Berkotek”, “Desaku”, “Bintang Ketjil”, “Naik2 Kepuntjak Gunung”, “Betja”, dsb. Seorang guru di Jakarta bernama J. Panggabean membawa siswi-siswi sekolah rakyat di bawah 10 tahun untuk menyanyikan lagu-lagu Pak Kasur dan Ibu Sud dengan diiringi Orkes Empat Sekawan di bawah pimpinan Sariman, gitaris Orkes Studio Djakarta. Selain gitar dan bass, ada macam-macam instrumen seperti akordeon, maracas, bongo, membawakan aransemen yang menurut liner notes di sampul belakang adalah “..irama2 mambo, kalipso, djoget, dll.” Ada lagu kesukaan saya di situ berjudul lucu “Basri Djago Kasti”, dengan lirik yang juga mengundang senyum, antara lain “..pukulannja hebat sekali/ larinja spt kelintji/ tiap anak mengenal Basri..” Sementara piringan hitam 10-inch Lagu Anak2 Asuhan A.T. Mahmud, diiringi orkes pimpinan Mochtar Embut, bisa jadi adalah album-lagu-anak lawas paling muram yang pernah direkam. Auranya sedih, sangat tidak recommended untuk diputar malam-malam saat Anda sendirian. Perhatikan raut muka boneka-boneka kecil di sampul depannya yang seram itu, juga mainan kereta api lengkap dengan relnya, yang sepertinya cocok dimasukkan kelak ke serial horor televisi Friday the 13th di TVRI. Dibuka dengan lagu “Ade Irma Surjani” ciptaan A.T. Mahmud, tentang kematian seseorang dari mata anak kecil. Liriknya terdengar murung bukan main, terlebih jika mengingat tragedi yang melatarinya, “..di fadjar adik terdjaga/ dari mimpi terbangun/ tampak olehnja sinar illahi/ turun bersama embun../ kini dia terlena tertidur kembali/ njenjak di pelukan Tuhannja…/ kini dia berbaring/ di pangkuan Tuhan/ senang dan bahagia hatinja..” Track pembuka ini seperti menelan nomor-nomor lainnya yang sebenarnya berpotensi riang tapi apa boleh buat, sudah terlanjur muram di awal. Album ini juga memuat “Tjitjak” (yak, betul.. ini yang “..hap! lalu ditangkap..” itu), dan “Pelangi” dalam versinya yang sangat ngelangut. Simak momen ketika si bocah sendirian mendendangkan “..merah kuning hidjau/ di langit jang biru..” lalu ditimpali koor teman-temannya. Komposisi terkuat album ini ada di “Anak dengan Daun”, ciptaan A.T. Mahmud di side B track 1. Kebetulan durasinya terpanjang, liriknya simpel tapi berbicara banyak, momen-momen kecil tentang daun, angin, parit, perahu kertas, rasa kehilangan, c’est la vie. Bayangkan hal-hal sederhana yang barangkali justru penuh lapisan-lapisan halus di baliknya diungkapkan lewat pandangan bocah atas bocah lainnya, “..kulihat daun djatuh/ ditiup angin/ dipungut oleh anak/ jang sedang bermain../ diletakkannja daun di dalam parit/ lanjut seperti perahu/ semakin djauh..” lalu masuklah narasi spoken words itu, astaga! Contoh-contoh singkat tadi menunjukkan betapa lagu-lagu anak sebenarnya bisa sangat syahdu tanpa kehilangan spirit bergembiranya. Tetap riang, meski tak terlampau riang, sekaligus menyampaikan sesuatu untuk direnungkan lebih lanjut, sesuatu yang makin hilang di lagu-lagu anak generasi setelahnya, yang cenderung lebay dan zonder makna.

[Budi Warsito]

* * *

LaguAnakLawas_still

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *