Baru ngeh kalau hari ini umur Bob Dylan resmi menyentuh angka 75. Buset, udah tiga perempat abad aja lu sob. Langsung saya mau bahas soal ini ke Rani yang sepertinya malah nggak inget sama sekali, tapi ternyata dia sudah tidur. Jadilah saya ketik-ketik teks whatsapp untuk dikirim ke ponselnya, meski saya sedang berbaring di sebelahnya, supaya nanti pas dia bangun dia bisa langsung baca. Rani penggemar nomor satu Bob Dylan yang saya kenal. Mengoleksi album rekamannya, buku, poster, film, dan pernak-pernik lainnya tentu hal biasa, namanya juga fans, lagipula tinggal di sana bikin relatif gampang mengaksesnya, tapi sampai bela-belain nyetir sendirian berjam-jam demi bisa mendatangi konsernya di sebuah kota kecil, menurut saya itu luar biasa. Saya lupa persisnya itu di kota apa dan tahun berapa kejadiannya, besok pagi mau saya tanyakan lagi pas sarapan, tapi saya masih inget betul bagaimana komentar Rani dulu soal konser itu, “Boro-boro bisa ikutan sing along, bok.. Lagunya jadi beda semua!” Rupanya aransemen di atas panggung kerap sangat berlainan dari versi yang terekam di album, dan itu sah-sah saja jika kamu seorang Bob Dylan. Terus terang pernah ada masanya saya betul-betul sulit menikmati lagu-lagu Dylan, sekeras apapun saya mencoba, bahkan setelah memutar berulang-ulang hampir semua CD/plat/kaset koleksi Rani, baca-baca review, menonton beberapa dokumenter, melahap biografinya. Sia-sia. Hingga suatu hari, ada kawan baik yang lumayan nyentrik isi otak dan tingkah lakunya, iseng menyanyikan satu dua lagu hits awal-awal Dylan sambil genjrang-genjreng gitar jeleknya di ruangan saya, dan saya langsung terkesima. Mendadak saya seperti mengerti semuanya. Tiba-tiba saya merasa mulai bisa menangkap keindahan musik sekaligus kekuatan pesannya, bagaimana dia mempengaruhi banyak musisi setelahnya, ceilehh, dan semua itu justru harus lewat jalan memutar terlebih dahulu, melalui kerongkongan orang lain! Beberapa tahun kemudian saya berhasil memaksa kawan saya itu untuk menyanyikannya sekali lagi, setelah saya memohon-mohon sepenuh hati, khusus di hari gunting pita pembukaan sebuah acara yang saya dan Rani bikin. Kali ini dia berduet dengan seorang kawan baik kami juga, yang kepada para hadirin dan hadirat saya memperkenalkan duo kesayangan saya itu dengan nama: The Bo. Dilafalkan “the Bok”, seperti kami biasa saling menyapa ketika itu. Nama ini asal comot, mencelat begitu saja dari mulut saya, menggabungkan inisial mereka berdua. Sesimpel itu. Mereka bukan musisi profesional, belum punya lagu ciptaan sendiri, lebih sering cela-celaan di meja pingpong ketimbang ngulik lagu, dan hanya “manggung” kalau saya dan Rani minta, atau lebih tepatnya, paksa. Seringkali mereka baru latihan di hari-H, bahkan pernah seperti ini: mereka janjian ketemu di parkiran hanya beberapa menit menjelang tampil, si B akan datang dengan gitar jeleknya yang dibungkus plastik kresek jumbo alias kantong sampah (!) dan diikat pakai tali rafia ke vespanya, sementara si O yang lebih jago main gitar akan berusaha menambal bolong-bolong permainan gitar partnernya, dan kalau waktunya masih keburu, si O akan mencari-cari kord gitar yang pas untuk menggantikan part harmonika di lagu aslinya. Suara si B kadang fals, gitarnya apalagi, tapi saya rasa kekuatan lagu-lagu Bob Dylan memang jauh melampaui hal-hal teknis semacam itu. Bukankah Dylan sendiri lebih mirip menggerutu ketimbang menyanyi, vokalnya cempreng edun dan gitarannya luar biasa monoton, tapi keajaiban malah muncul dari situ? Bahkan saya berani bilang vokal si B ini jauh lebih merdu ketimbang Dylan! Gara-gara duo amatiran itu saya mulai berpikir, Lester Bangs boleh saja bilang “Modern music starts with the Velvet Underground”, tapi kok saya yakin bahwa tanpa Bob Dylan, takkan pernah ada yang namanya indie rock di dunia ini. Pernah pada kesempatan lain, si B, masih dengan gitar bututnya, kali ini sendirian tanpa si O, membawakan cover version beberapa nomor dari Neutral Milk Hotel dengan sangat indah. Tanpa penonton. Hanya ada saya. Dia sengaja menunggu jam tutup perpustakaan, baru datang ketika semua orang sudah pulang, dan satu lampu saya biarkan tetap menyala, sedikit temaram hanya supaya kertas print-out liriknya masih bisa dia baca. Sesi pendek dikepung buku-buku itu terlampau magis untuk diulang, dan dalam ketidaksempurnaan akustiknya saya malah ragu ada yang bisa mengungguli versi interpretasi si B tersebut, yang untungnya sempat saya rekam. Jeff Mangum oleh media pernah disebut-sebut sebagai “the J.D. Salinger of indie rock” di era 2000an, dan lucunya, pada tahun 1962, Bob Dylan usia 21 pernah hampir memerankan karakter Holden Caulfield untuk The Catcher in the Rye versi layar lebar. Semua seperti terhubung begitu saja di semesta kecil ini. Happy sweet 75, Pak Zimmy! Please jangan mati dulu.
>> Bob Dylan – “The Times They Are a-Changin'”(TV movie, 1964)