Sepuluh atau sebelas tahun lalu, untuk pertama kalinya saya mengenal nama Sparklehorse dan mendengar musiknya dari koleksi CD punya Rani. Vokalnya lirih menyayat, seperti ragu-ragu antara mau berbisik atau cuma bergumam, sementara musiknya mengalun syahdu bagai kerapuhan yang indah: indie rock lembut dengan sapuan alt-country, yang seandainya dimainkan dengan tempo lebih cepat pun bakal tetap terdengar ringkih. Grandaddy pernah melakukan hal serupa di album The Sophtware Slump, tapi Mark Linkous—otak di balik nama Sparklehorse—mendorong dirinya lebih jauh lagi sampai terasa berbeda. Bisa jadi Linkous menyanyikan hal-hal samar tentang dirinya sendiri, dari dan untuk dirinya sendiri, tapi gaungnya yang juga tersamar itu seperti menggiring kita untuk mendekat dan mendekat lagi, tak jarang dengan sangat perlahan, sampai akhirnya terhisap tanpa kita sadari. Lirik-liriknya yang muram tidak meminta simpati siapa pun, tapi ada satu pesona gelap yang puitis dan sukar dideskripsikan dari musik Sparklehorse, terutama tiga album pertamanya, yang memikat sekaligus mengkhawatirkan. Rani menyukai lagu kedua di album It’s A Wonderful Life, denting-denting optigan ditimpa dengung lo-fi di antara suara sengau Linkous yang sangat khas, “Good morning my child/ Stay with me a while…” Lagu tersebut, dan keseluruhan album itu, tinggal sangat lama di hati Rani atau bahkan selamanya, “Kalau aku harus memilih satu album saja dari seluruh musik di dunia ini, It’s A Wonderful Life.” Sementara saya selalu langsung tercenung sejak dari lagu pertama yang menjadi judul album itu, organ tua yang tenang dan menghanyutkan, ketukan drum simpel dikepung bunyi kemresek mirip sinyal radio luar angkasa yang canggih sekaligus purba, dan ekspresi Linkous sulit ditebak saat membisikkan teka-teki, “I’m the dog/ that ate your birthday cake.” Saya ingat betul, setelah saya geber habis-habisan album-album awal Sparklehorse nonstop selama berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan (saya telah terhisap!) di compo Sony di perpustakaan kami, keping-keping CD itu pun akhirnya menyerah, mulai ada goresan sana-sini di cakramnya dan putarannya pun jadi tersendat-sendat. Memasuki era YouTube, seseorang mengunggah ke internet videoklip “It’s A Wonderful Life” buatan Guy Maddin, sutradara Kanada yang terkenal dengan beberapa eksplorasinya atas film bisu hitam putih. Saya tercengang menyadari betapa menyatunya komposisi musik seperti ini dengan gaya visual seperti itu. Sempurna. Belakangan saya menemukan CD Distorted Ghost EP terselip di keranjang diskon sebuah toko musik yang hampir gulung tikar di selatan Jakarta. Di situ ada lagu “My Yoke is Heavy”, di mana Sparklehorse mendaur ulang lagu Daniel Johnston dengan dua lapis suara; falsetto tipis menirukan timbre penyanyi aslinya, ditimpa getir suara Linkous lainnya yang lebih rendah, “Somewhat disturbing is the sound of birds singing/ when you know you don’t deserve it”, sebelum distorsi gitar muncul di tiap ujung bait. Fenomena file-sharing sudah merebak saat itu, dan dari internet pun saya baru tahu bahwa Sparklehorse di tahun 1996 pernah membawakan lagu “London”, musikalisasi puisi atas sajak terkenal William Blake berdasarkan komposisi nada yang diciptakan pada tahun 1989 oleh Tuli Kupferberg, seorang penyair Beat dan pendiri band The Fugs. Puisi Blake dari abad ke-18 itu menangkap kesedihan dan penderitaan di setiap sudut kota London (“And mark in every face I meet/ Marks of weakness, marks of woe”), sementara Linkous lewat kacamata buram menggambarkan upayanya memandang dunia modern secara keseluruhan, yang murung dan bingung, lewat lagu-lagu Sparklehorse seperti “Sad & Beautiful World” dari debut albumnya, yang kemudian makin melimpah di album It’s A Wonderful World tadi. Menarik bagaimana Linkous menatap dunia dengan melekatkan padanya kata sifat “beautiful”, “wonderful”, tapi sekaligus “sad”. Jika di track yang riuh rendah seperti “Dog Door” seorang Tom Waits mau menyumbangkan kerongkongan seraknya di bahkan sepanjang lagu, rasanya memang ada yang memukau dari isi kepala seorang Linkous. Meskipun file-file MP3 diskografi Sparklehorse sudah tersimpan lengkap di laptop, saya tetap sedih mendapati beberapa CD itu rusak. Cinta pertama memang susah tergantikan. Tapi seperti sudah digariskan oleh sang penguasa waktu, tak lama sesudah itu, saya tak sengaja melihat di status Facebook seorang kawan, dia melepas beberapa CD bekas koleksinya untuk dijual, dan ada album It’s A Wonderful Life di situ! Tanpa banyak cingcong saya langsung membelinya, setidaknya untuk mengganti koleksi Rani yang rusak gara-gara saya. Lucunya, kejadian serupa malah terulang lagi; on heavy rotation, lalu scratch dan skip-skip lagi. Mulailah terpikir untuk mencari piringan hitamnya, yang tentu lebih awet dengan sound lebih tebal. Browsing sana browsing sini, ternyata harga vinyl cetakan pertamanya sangat mahal. Di sebuah toko musik di Tokyo saya melihat versi first pressing itu dibandrol di angka cukup tinggi, bahkan ketika rupiah belum selemah sekarang. Tangan saya gemetar memegang plat itu, salah satu musik terindah yang pernah diciptakan spesies manusia, pepat dalam dua belas inch. Tiba-tiba di bawah sana, di saku celana sayup terdengar dompet saya batuk-batuk kecil. Saya mengerti. Sambil menghela nafas saya taruh pelan-pelan plat itu kembali ke rak. Menyebut momen itu sebagai tiga puluh detik terberat dalam hidup saya rasanya terlalu berlebihan, tapi yang saya lakukan setelah itu memang betul-betul penghiburan diri, yakni mencari-cari versi yang lebih murah di situsweb Discogs. Bukannya terbantu, saya malah mendapati ada penjual memasang harga hampir empat kali lipat, untuk piringan hitam cetakan pertama yang dilengkapi tandatangan asli Mark Linkous. Dompet saya batuk lebih keras lagi. Belakangan, tepatnya beberapa hari lalu, ketika beres-beres gudang untuk memindahkan kaset-kaset lama saya ke ruang kerja yang lebih rapi, saya baru ngeh bahwa jauh sebelum saya menemukan CDnya di koleksi musik Rani, ternyata Sparklehorse sudah pernah “masuk Indonesia” lewat beberapa kaset kompilasi resmi berlisensi. Cuma dua lagu memang. Yang pertama, lagu “Sad & Beautiful World” tadi itu, muncul di kaset soundtrack Boys (1996), film yang disebut Roger Ebert sebagai versi kacangan dari Before Sunrise. Kaset lokal rilisan Polygram Indonesia itu dulu menarik perhatian saya sewaktu SMA di Solo hanya lantaran di sampul depannya ada wajah manis si ratu indie di era keemasannya, Winona Ryder. Ketika itu saya belum sadar ada Sparklehorse di situ. Yang kedua, muncul di double cassette kompilasi Come Again (1997) rilisan EMI Indonesia, lagu “Wish You Were Here”, nomor klasik Pink Floyd yang dibawakan Sparklehorse bersama Thom Yorke. Pentolan Radiohead itu menyanyikan bagiannya lewat sambungan telepon jarak jauh dari kamar hotelnya, untuk direkam di lagu ini. Interpretasi mereka menjadikan lagu itu terasa lebih sayup-sayup, dingin, lebih menegaskan adanya jarak tak terperi, dan karenanya terdengar lebih menggetarkan. Di antara semua cover version yang pernah ada, rasanya belum ada yang berhasil mencapai titik merinding sejauh mereka. Memang tidak semua katalog Sparklehorse bisa saya resapi. Ketika dia mulai bereksperimen lebih jauh dengan Danger Mouse, Fennesz, Steven Drozd, David Lynch, dsb., rasanya saya harus mengerti bahwa sebagai musisi barangkali dia lebih bahagia dengan perkembangan artistik semacam itu. Atau malah tidak. Apapun itu, tak ada waktu yang lebih tepat ketimbang hari ini untuk kembali memutar maraton album-album awal Sparklehorse. Andai lima tahun lalu Mark Linkous tidak menarik pelatuk senapan melubangi dadanya sendiri, hari ini dia bakal genap berusia 53. Setengah abad lebih, dan mungkin tetap murung. “Sometimes days go speeding past/ Sometimes this one seems like the last.” So, who ate your birthday cake, Mark? Selamat ulang tahun, damai di atas sana.
9 September 2015
#nowplaying: Sparklehorse – “Gold Day” (CD It’s A Wonderful Life, 2001, track 2)