Kaset Hari Ini, Day #19:
Octopus – From A To B
[Food Records, edisi lokal oleh PT Aquarius Musikindo, 1996]
Masih menjadi misteri bagi saya, bagaimana cara A&R bekerja di industri musik negeri ini pada era ’90s, terutama dalam memilih artist luar untuk dibikin kaset lokalnya di sini. Bahwa di era ’70an ’80an banyak versi lokal dari album-album ajaib dari luar negeri sebenarnya malah tidak mengherankan, karena waktu itu di Indonesia masih cuek merilis album luar tanpa izin (era kaset ‘bajakan’ Yess, Monalisa, dsb) alias main sikat aja seenak udel. Jadi sharing selera para “A&R”-nya bisa digas pol tanpa batas, nyleneh aja sekalian, toh tak harus minta izin. Saya justru salut ketika di era ’90an, artinya tak begitu lama setelah Bob Geldof marah-marah pada 1985, pihak A&R label lokal tetap mau merilis secara resmi album-album ‘sidestream’ luar negeri meski itu berarti harus mau repot mengurus izin ke sono-nya. Di tengah serbuan rilisan pop megahits macam Madonna, Michael Jackson, atau Bon Jovi, bagaimana bisa mereka kepikiran untuk memasukkan ke dalam daftar rilis lokal mereka, nama-nama ‘pinggiran’ seperti Wilco, The Flaming Lips, Mercury Rev, Dinosaur Jr, Julian Cope, dsb.? Dengan merilis Wilco album Being There (kaset lokal oleh Warner Music Indonesia, 1996) artinya mereka sudah bisa “mengendus” Wilco jauh sebelum keluar masterpiece Yankee Hotel Foxtrot! Bahkan band proyekan Jeff Tweedy lainnya, Golden Smog, juga pernah dirilis kaset lokalnya oleh Indo Semar Sakti, dengan judul album yang sungguh profetik: Down By The Old Mainstream (1995). Beberapa katalog Dinosaur Jr dan album solo J. Mascis juga pernah mampir ke kaset-kaset lokal—khusus untuk mereka, saya pikir format kaset memang cocok untuk nuansa lo-fi. Album The Flaming Lips yang pernah dirilis resmi kaset lokalnya adalah Clouds Taste Metallic (1995), sementara “kembaran” mereka, Mercury Rev, bahkan sempat ada 4 album! Salah satunya, favorit saya Deserter’s Songs (1998), oleh Indo Semar Sakti. Dan meskipun katalog album solo Julian Cope sangat panjang dan ekstensif, menemukan setidaknya dua saja albumnya dirilis lokal—Autogeddon (1994) dan 20 Mothers (1995) oleh Aquarius Musikindo—itu juga kabar gembira. Antusiasme dan rasa haus konsumen saat itu berbalas ketersediaan yang tak terduga dari produsen tersebut. Kebetulan saya sedang memutar kaset Octopus ini, ketika kemudian saya tergerak untuk menulis paragraf di atas, karena kasus kurang lebih serupa juga terjadi di scene Britpop, yang sempat melanda Indonesia juga di era ’90an (yang di sini lebih populer dengan sebutan ‘indies’. Ouch!). Tentu saja raksasa indies macam Blur, Oasis, Pulp, Suede dirilis lokalnya di sini (khusus Blur dan Oasis bahkan dirilis lengkap semua album penuhnya), tapi bagaimana ceritanya A&R lokal menemukan unit Britpop kecil macam Octopus ini? Terus terang saya dulu membeli album ini di tahun 1996 hanya gara-gara ada logo Food Records di kasetnya. Itu artinya mereka satu label dengan Blur! Atau jangan-jangan memang karena itu pihak A&R Aquarius Musikindo itu merilis kaset lokalnya? Saya belum terlalu akrab dengan internet ketika itu, meski sudah mencobanya, di warnet pertama di Solo circa 1996, tapi percayalah, searching (kalau tidak salah via Alta Vista, haha!) dengan keyword generik seperti “Octopus” hanya akan menghasilkan situs beta version berisi macam-macam flora fauna di luasnya samudera di seluruh dunia. Namun justru itulah indahnya era ’90s, ketika sumber referensi belum terlalu banyak, sehingga kepekaan kuping serta ketajaman feeling menjadi senjata satu-satunya dalam berburu musik. Sambil memantapkan hati dan baca bismillah, saya ambil kaset itu dari deretan rak abjad “O”, lalu bergegas menuju kasir. Sesampainya di rumah, saya sama sekali tak kecewa. Ini album bagus yang terlewat, definitely the ‘lost’ classic of Britpop psychedelia! Sebagai penggemar berat Blur, menyimak Octopus rasanya seperti sedang mendengarkan KW-Super dari oplosan Damon, dkk era Modern Life Is Rubbish dan Parklife. Track pembukanya, “Your Smile”, yang jika vokalnya diganti Damon, tempo drum lebih rancak, bass dipertebal, gitar diacak-acak, brass section lebih maju ke depan—dengan kata lain, dibikin lebih tebal di segala lini—saya pasti bakal percaya jika itu dibilang sebagai lagu Blur. Bahkan ada sekian detik spoken words ala Damon di lagu Blur “Ernold Same” pada lagu Octopus “If You Want To Give Me More”, sebelum kebut-kebutan instrumen tiup di penghujung durasi. Sementara lagu “Magazine” dan “Jealousy”, misalnya, berjiwa sama dengan ciri khas Blur lainnya: spirit pemain sirkus Eropa yang romantik dengan sedikit jiwa punk di tiap aksi akrobatiknya. Seru! Bertahun-tahun kemudian, via internet saya mendapati fakta menarik di sebuah ulasan kecil di harian The Mirror edisi 31 October 1996, bahwa ternyata Damon Albarn datang ke konser pertama Octopus ketika mereka belum punya album, dan menyempatkan diri pergi ke backstage untuk memuji penampilan mereka dan memberikan beberapa masukan berharga. Damon pula yang kemudian membuat Octopus mendapat kontrak rekaman di Food Records. Tapi apa balasannya? Ketika From A To B mulai beredar di pasaran, Marc Shearer pentolan Octopus malah berkata soal Damon seperti ini, “He’d better watch out, because we’re on the up. We’re not here to be this year’s darlings and then disappear.” Dasar tak tahu diuntung! Dan kenyataannya, setelah album satu-satunya itu, Octopus malah totally disappeared. Haha! Konon kabarnya Marc Shearer kini menjadi guru bahasa Inggris di sekolah dasar. Saya tidak tahu apa yang kira-kira ada di benaknya saat mendapati berita soal karier musik Damon Albarn yang kian melesat dimuat di mana-mana, di TV, di koran, di internet, dsb. Bahkan mungkin murid-muridnya di kelas juga bertanya polos ke dia, “Mr. Shearer, do you know Damon Albarn? He’s great!”
[BW]
#KasetHariIni
* * *