(cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom)
2 porsi rib eye masing-masing seberat 1 pon
1 porsi dada kalkun seberat 1 pon (diiris tipis)
12 lembar daging babi asap
2 hamburger besar dengan mayo, bawang bombay, dan selada
2 porsi kentang bakar dengan mentega, krim asam, keju, dan kucai
4 lembar keju atau setengah pon keju cedar diparut
1 chef salad dengan minyak bumbu blue cheese
2 tongkol jagung rebus
1 pin es krim dengan taburan coklat mint 4 Coke vanila atau Mr. Pibb
—Santapan terakhir yang diminta Stanley Baker, Jr., 35 tahun, terpidana mati kasus pembunuhan, sebelum eksekusi pada 20 Mei 2002 di Austin, Texas, Amerika Serikat.
MAUT itu rahasia. Tapi, tidak selalu begitu. Beberapa orang tahu bagaimana dan kapan kematiannya akan tiba. Seorang ninja, misalnya, sangat paham bahwa ia hanya bisa mati oleh ninja lain jika tak ingin meninggal dunia karena sebab-sebab alami. Jika sudah bosan bernyawa, ia tinggal cari gara-gara dengan sesamanya yang lebih lihai.
Dalam eksekusi terpidana mati, kapan dan bagaimana kematian datang malah bisa diketahui beberapa orang sekaligus, para penjatuh hukuman dan si sial. Nasib para penderita penyakit terminal kurang lebih sama dengan derajat kepastian yang lebih longgar.
Sebelum cerita ini berlanjut, marilah pertama-tama bersepakat bahwa kau tak akan mengajakku berdebat dengan membawa-bawa paham eksistensialis. Jika, misalnya, aku bilang, “Orang itu mati karena serangan jantung,” tak perlulah kau menukas, “Bagaimana kau tahu serangan jantung yang menyebabkan kematiannya? Yang tepat adalah orang itu mati setelah terkena serangan jantung.”
Perdebatan semacam itu menarik dan layak ditulis tersendiri, tapi tidak kali ini. Sekarang, ini pertanyaannya: apa yang akan kau lakukan jika tahu bagaimana dan kapan kematianmu datang?
Stanley Baker, Jr, seperti catatan di atas, tak ingin mati dengan perut lapar. Aduhai betul, bukan? Orang mungkin bertanya-tanya, sekiranya menit-menit jelang eksekusi itu ia merasa mulas, apa yang lebih merisaukan Baker: belum sempat ke belakang atau sebentar lagi bakal mampus?
Clarence Ray Allen tidak bisa sesantai Baker Junior. Sebelum dikirim ke kamar eksekusi pada 17 Januari 2006 di California, Allen berkali-kali meminta pengampunan. Ia bilang dirinya terlalu tua dan terlalu sakit untuk dieksekusi. Ia tidak bohong. Saat itu ia sudah 76 tahun, buta, setengah tuli, dan lumpuh pula karena penyakit kencing manis. Agar permohonannya makin meyakinkan, pengacara Allen juga menyebut-nyebut bahwa perilaku kliennya lumayan terpuji dalam tahun-tahun terakhir.
Negara bagian California tak sudi melunak. Allen dijatuhi hukuman mati bukan karena dulunya ia seorang bedebah nomor wahid. Banyak orang yang seperti itu. Sebelum vonis hukuman mati jatuh, Allen sebetulnya sedang menjalani hukuman seumur hidup karena terbukti membunuh pacar anak lelakinya pada 1974. Alih-alih bertobat, selama di penjara ia malah mengatur tiga pembunuhan berencana lain. Rangkaian kejahatan inilah yang membuatnya dihukum mati.
Ketika permohonan ampunan terakhirnya ditolak, Allen merajuk. Ia bilang kamar eksekusi tak memiliki akses untuk kursi roda. Dengan ulahnya ini ia mau bilang bahwa tidak seharusnya ia dihukum mati oleh negara California karena eksekusi sangat mungkin membunuhnya. Sinting? Tunggu dulu. Beberapa bulan sebelum eksekusi, jantung Allen sempat berhenti tetapi ia selamat karena ditolong petugas medis penjara. Allen tak boleh mati oleh sebab alami. Bagaimana dan kapan ia harus mati sudah ditetapkan oleh para penghukumnya.
Aku tak berani bilang bahwa suntikan mati membuat Allen tak menderita. Tapi, setidaknya, ia ditidurkan dulu dengan suntikan pembius sebelum cairan beracun diinjeksikan ke tubuhnya. Bahkan, asal kautahu, dokter penjara juga mengusapkan alkohol ke lengan Allen sebelum menyuntik. Bukankah ini tanda kemurahan hati karena ia tak ingin Allen yang sebentar lagi mampus terkena infeksi? Bayangkan jika negara bagian California memberlakukan salah satu eksekusi terkejam yang pernah sangat digemari penguasa Tiongkok kuno: orang hukuman diikat di lapangan, ditelanjangi, kemudian buah zakarnya digigit sampai putus oleh orang kate. Sangat tidak aduhai, bukan?
AGUS Taswin, kakak iparku, merasa punya kedekatan khusus dengan para terpidana mati. Beberapa waktu yang lalu rongga atas perutnya terasa nyeri. Seminggu sesudahnya ia kena penyakit kuning. Awalnya ia tenang-tenang saja karena satu-satunya penyakit yang mengikuti nama warna primer ini tak sungguh-sungguh membuatnya kesakitan.
Namun, dokternya curiga, dan setelah pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap Agus Takwin, ia membawa vonis: adenocarcinomas. Sepintas mirip nama penulis naskah drama Yunani kuno, tapi ini nama salah satu kanker pankreas. Seperti kebanyakan penderita, Agus Taswin terlambat datang karena bibit kankernya ternyata sudah ada sejak lima tahun lalu. Vonis dokter, usia Agus Taswin tinggal enam atau tujuh bulan lagi.
“Yang pasti saja, Dok. Nanti setelah lewat enam bulan saya jadi tak tahu mesti senang atau cemas.”
“Maunya Pak Taswin?”
“Tujuh ya, Dok, angka bagus. Langit ketujuh, tujuh turunan, tujuh bidadari yang diintip Jaka Tarub, nomor punggung Robson, Cantona, Beckham, Ronaldo.”
“Saya ikut berdoa. Penggemar MU, ya? Saya lebih suka Arsenal.”
Agus Taswin tak tahu mengapa ia sempat-sempatnya bercanda. Tapi, itu reaksi spontannya karena ia belum membaca buku Bagaimana Semestinya Kau Bereaksi dalam Situasi Tak Terduga, Semisal Ketika Doktermu Menyebut Usiamu Tinggal Enam atau Tujuh Bulan Lagi.
SEPEKAN kemudian Agus Taswin datang ke kantorku. Seperti yang mungkin kau bayangkan, aku kaget dan melontarkan seruan “Apa?”. Klise memang, seperti adegan dalam sinetron. Tapi, dalam situasi seperti itu, percayalah, kau akan terbelit kekikukan yang sangat tak mengenakkan dan kefasihanmu hilang.
“Aku ingin kau nanti yang mengurus kematianku,” kata Agus Taswin.
“Aduh, jangan omong begitu, Mas Taswin, pamali,” kataku, “pasti ada jalan lain.”
“Harapanku juga begitu. Aku masih 49 tahun. Kalau dokter memintaku terapi kemo, radio, atau bahkan operasi, pasti kujalani. Aku juga mau cari pengobatan alternatif. Aku tidak menyerah kok. Tapi begini lho, aku tak mau merepotkan banyak orang. Jika mesti bikin susah, dengan berat hati, dan sangat berharap, aku ingin kau yang mengurusku.”
Aku mengangguk dan tanpa bisa kubendung mataku basah. “Anak-anak bagaimana, Mas?” “Pada saatnya aku akan bicara. Sekarang rahasiakan dulu.”
MAUT itu rahasia. Biasanya begitu. Tiga tahun yang lalu, Ratna Dyah Wulansari, istri Agus Taswin, kakakku satu-satunya, meninggal dunia tanpa sakit suatu apa terlebih dahulu. Sungguh, ia perempuan tersehat yang pernah kukenal.
Setiap pagi, Rani berbelanja sayur di pedagang langganan yang mangkal di perempatan jalan dekat rumahnya. Pagi itu akan menjadi seperti pagi-pagi yang lain sebelumnya jika saja tidak ada tukang ojek yang memacu motornya sedemikian kencang dan kemudian membanting stang ke kanan karena menghindari seekor kucing hitam yang melintas. Motor menghantam Ratna. Tukang ojek jatuh terguling sementara penumpang ojek terlempar dan Ratna terpental.
Ratna jatuh dengan kepala bagian belakang menghantam aspal. Ketika melayang di udara, dalam satu detik—mungkin juga satu setengah—Ratna sempat berteriak kaget, “E, tobil!”
Jika Ratna tahu bahwa sebentar lagi kesadarannya menghilang, bahkan nyawanya tanggal, mungkin ia tidak akan melontarkan seruan yang seremeh itu: nama anak kadal. Gara-gara seruan terakhir itulah beberapa tetangga bilang bahwa Ratna matinya kurang bagus. Si penumpang ojek yang ikut sial dijemput maut pagi itu dianggap orang lebih beruntung karena sempat mengucap nama Allah, bahkan lengkap membaca Al Fatihah sebelum napasnya putus.
Ada yang bicara karena kucing hitam yang kulitnya sudah terkelupas di sana-sini adalah ilapat buruk.
Agus Taswin terluka saat mendengarnya.
“Engkau percaya amal perbuatan manusia hanya ditimbang berdasarkan detik-detik terakhir hidupnya?” tanya Agus Taswin ketika itu.
“Tidak, kalau begitu tidak adil,” kataku.
“Masih ingat kisah orang yang terluka di peperangan dan jelang kematiannya ada yang menawarinya minum?”
“Ya, ya. Ia menerimanya walaupun menurut si pencerita orang yang menawarkan minum itu sebetulnya iblis dan kemudian seluruh amal baik orang yang terluka itu terhapus. Miriplah dengan panas setahun dihapus hujan sehari.”
“Itu pasti hujan yang luar biasa,” kata Agus Taswin.
“Mas, aku yakin Tuhan bukan akuntan yang pencemburu. Tidak ada yang salah dengan saat-saat terakhir Mbak Ratna. Ia orang baik, Mas, sangat baik. Mas tak perlu khawatir,” kataku.
PERCAKAPAN tiga tahun yang lalu itu hadir lagi di kantorku. Berbeda dengan Ratna Dyah Wulansari yang tak tahu kedatangan ajalnya, Agus Taswin kurang lebih tahu kapan dan bagaimana ia harus meninggal dunia.
“Apa aku sekarang harus lebih banyak mengaji atau semacamnya?” tanya Agus Taswin. “Tidak ada salahnya sih, Mas. Tapi kok seperti ngejar setoran?” ujarku, spontan. Aku lantas merasa sungkan sendiri dengan kata-kataku barusan. Kurang patut.
“Kawin lagi?”
“Masa sengaja mencetak janda?”
Melihat Agus Taswin tak kehilangan selera humornya, aku pun berani mengimbangi.
“Bagaimana kalau gila-gilaan?”
‘Terlalu Hollywood. Bukan gaya Mas.”
“Benar, benar,” kata Agus Taswin. Setelah itu ia terdiam lama dan kemudian pamit.
BERHARI-hari Agus Taswin tak menghubungiku. Telepon dariku pun tak dibalasnya. Aku cemas. Maka, sepekan setelah pertemuan di kantorku itu aku mendatangi rumah Agus Taswin.
Agus Taswin sedang duduk di teras belakang memegang buku ketika aku tiba di sana. Ada beberapa buku lain di meja. Yang sedang dibacanya adalah The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger.
“Maaf membuatmu cemas, telepon sengaja kumatikan,” kata Agus Taswin. “Aku benar-benar sedang ingin membaca. Buku-buku ini utang yang ingin kubayar sebelum mati. Aku dulu beli untuk membacanya, tidak menimbun.”
“Catcher kan sudah kaubaca berulang kali, Mas?” tanyaku.
“Betul, tapi tetap ciamik. Mungkin Mark David Chapman memang sinting, baca buku bagus gini malah nembak John Lennon. Tapi Chapman benar tentang satu hal saat menggemakan Holden Caulfield, menjadi palsu itu memuakkan.”
“Lantas?”
“Usiaku menurut dokter tinggal beberapa bulan lagi. Hal terakhir yang kuinginkan adalah menjadi orang palsu,” kata Agus Taswin.
“Oh,” kataku. Aku langsung bangkit dan memeluknya. “Sekali manusia asyik tetap asyik, Mas.”
“Tak terlalu buruk, bukan? Tapi, eh, kenapa kau sekarang jadi cengeng begini?”
MAUT itu rahasia. Dan biasanya memang begitu. Sembilan bulan setelah vonis kematian, Agus Taswin tampak sehat dan bungah. Inilah yang kulihat ketika aku mampir ke kantornya hari ini. Sepertinya, gabungan beberapa pengobatan dan pemanjatan doa yang dilakukannya cukup mustajab.
Tiga bulan yang lalu Agus Taswin tidak seceria ini. Ketika itu, dua anak kembarnya, Bambang Ekalaya dan Ratna Setiaboma—yang lebih muda tujuh menit, langsung pulang meninggalkan studi mereka di luar negeri begitu kukabari bahwa ayah mereka akan segera dioperasi. Ekalaya dari Swiss, sementara Ratna Setiaboma dari Amerika Serikat. Si kakak belajar menjadi chef profesional, adiknya mengejar gelar Ph.D biologi molekuler.
Agus Taswin sebetulnya tidak terlalu suka dengan kehebohan semacam itu. Katanya, selama dua puluh empat tahun usia anak-anaknya, ia tak pernah merasa punya masalah, tak ada ganjalan yang harus dibereskan sebelum dirinya meninggal dunia.
“Jangan terlalu keras, Mas, anak-anak memerlukan ini, Mas juga,” kataku saat itu.
Bambang Ekalaya dan Ratna Setiaboma menemani Agus Taswin sepanjang operasi. Mereka tinggal selama dua minggu sebelum pamit berangkat lagi.
“Titip Bapak, ya Om,” kata Ratna Setiaboma.
“Jangan khawatir, bapak kalian sekuat banteng. Jangan-jangan ia yang nanti mengurus Om,” kataku.
“Kok Om omongnya begitu?” tanya Ekalaya.
“Tidak, sudahlah, yang penting bapak kalian sudah pulih sekarang.”
BEGITULAH. Ketika aku singgah hari ini Agus Taswin terlihat sedang tertawa-tawa menghadap layar komputer di ruangan Tan Kok Siong, staf muda di kantornya. Penasaran, tanpa diundang aku ikut melongok.
Walah. Ternyata Agus Takwin dan Tan Kok Siong sedang membuka situs porno Jepang. Awalnya Tan Kok Siong yang membuka dan ia tak sempat menutupnya ketika Agus Taswin masuk tanpa permisi dan tahu-tahu sudah berada di sampingnya. Tan Kok Siong tak punya pilihan selain pamer sekalian.
“Cantik-cantik tapi mau main film ginian, edan,” kata Agus Takwin.
“Justru karena mereka cantik itu, Bos,” ujar Tan Kok Siong.
“Jadi, ndak ada itu ya yang namanya terlalu cantik untuk film porno?”
“Justru karena mereka cantik itu, Bos,” ujar Tan Kok Siong, mengulang.
“Bintang laki-lakinya, aduhai, itunya kecil banget,” kata Agus Taswin.
“Iya, untung betul mereka,” ujar Tan Kok Siong. Dari nada suaranya sepertinya ia gemas, mungkin juga geram atau malah dendam.
“Milih mana, barang kita segumprit, tapi lawan mainnya indah-indah kayak mereka atau barang kita sebesar perabot kuda tapi dapatnya cuma perempuan rongsokan?” tanyaku.
“Sialan, pertanyaan menarik itu,” kata Agus Taswin.
Kami bertiga tertawa berbarengan. Tapi, tak lama kemudian kami terdiam dan menelan ludah, juga berbarengan. Adegan di depan mata terlalu sayang untuk tidak dinikmati dengan saksama. Mungkin karena ingin memuaskan kami sebagai tamu tak diundangnya, mungkin juga urusan menghadap layar berjamaah ini cepat tuntas, Tan Kok Siong membuka berkas-berkas terbaik yang sudah diunduhnya. Ada Sora Aoi, Maria Ozawa, Nanami Takase, Takako Kitahara, Kirara Asuka, Riko Tachibana, Rio Hamasaki, dan beberapa nama lagi. Dengan malu-malu aku menghapalkan nama-nama itu dan mengancam bakal mengunduh sendiri begitu sempat.
“Siong, kamu mau nggak dikasih main tiga kali sama… katakanlah Sora Aoi, atau salah satu dari merekalah, terus dibikin mati?” tanya Agus Taswin. Tan Kok Siong garuk-garuk kepala, lalu menjawab, “Mainnya sih kebayang enaknya, Bos. Pengin sih ngrasain. Tapi ngapain juga, Bos, dapat yang biasa-biasa juga oke, asal tidak mati. Mati tidak enak, tidak bisa lihat yang bagus-bagus.”
“Dasar pandir! Kau kan bisa main dua kali saja, terus pulang,” kata Agus Taswin.
Kami bertiga tertawa lagi. Gara-gara omongan Agus Taswin itu, aku jadi sempat tentang Make a Wish, yayasan yang sering membantu orang mewujudkan impian. Biasanya, impian terakhir orang sebelum dijemput ajal keinginan anak-anak ketemu dengan bintang idolanya atau menonton film aksi yang belum diputar di bioskop. Jika saja yayasan ini membuka layanan kepada terpidana mati, bintang-bintang Jepang itu akan kewalahan karena mereka begitu elok, begitu surgawi, dan alangkah penurutnya—setidaknya di tayangan yang kulihat. Bohong besar jika aku bilang bahwa tidak ikut kepengin. Satu-satunya yang mungkin menghalangiku memutus sepenuhnya hasrat lama kepada Latina jelita seperti Paz Vega atau Monica Belluci adalah fakta bahwa wanita-wanita Sakura yang cantik itu selalu saja dirujak habis-habisan dengan alat-alat aneh oleh aktor-aktor yang ukuran penis, bentuk tubuh, serta rupa cecongor mereka menggelikan.
MAUT itu rahasia. Biasanya begitu. Dan aku seharusnya tahu itu. Setelah puas, capai tepatnya, memelototi layar komputer, kami bertiga turun untuk makan siang di restoran Padang di samping kantor mereka. Menu pilihan kami siang ini adalah rendang bebek, telur balado, dan terong panggang cabai hijau dan semuanya pedas dan sedap. Kami masih melanjutkan obrolan seputar kedahsyatan bintang-bintang Jepang itu dengan tawa di sana-sini ketika terdengar suara dentuman keras dari arah dapur. Sepertinya ada tabung gas yang meledak.
Tanpa peringatan, tiba-tiba jantungku terasa seperti diremas oleh sarung tangan berduri. Perih sekali.
Aku terbangun dengan perasaan ganjil. Lamat-lamat kudengar suara Agus Taswin.
“Saya kakaknya, Dok. Saya yang akan mengurus jenazahnya.”
* * *
Foto ilustrasi dicomot dari sini. Cerpen ini saya ketik ulang dari buku Rumah Kopi Singa Tertawa (Yusi Avianto Pareanom, Banana, 2011). Bagi saya ini angin segar bagi dunia cerpen Indonesia yang makin melempem beberapa tahun (dekade?) terakhir. Cara melucunya yang lempang mengingatkan pada cerpen-cerpen lama Misbach Yusa Biran dan Kuntowijoyo. Andai Budi Darma bisa lebih humoris, mungkin bakal seperti ini absurdnya. Gembira bukan kepalang saya bisa menanggap penulisnya di acara bincang buku di Kineruku.
Posting terkait, cerpen favorit lainnya:
Paduan Suara (Jujur Prananto)
Kalau Bung Seniman, Jangan Tinggal di Kampung (Misbach Yusa Biran)
Kandang Babi, Rendez-Vous (Eka Kurniawan)
Sahabat Saya Cordiaz (Asrul Sani)
Chief Sitting Bull (Umar Kayam)
Memento Mori (Jonathan Nolan)
Sentimentalisme Calon Mayat (Sony Karsono)
Denton’s Death (Martin Amis)
Kisah Kasih Oto dan Wiwik (Joni Ariadinata)