Tampak pada foto di bawah ini, R. Bambang Hendrasto, alias Bambang Tondo, frontman/mastermind kelompok musik Kharisma Alam, berpose dengan tiga perempuan blasteran yang menjadi backing vocal-nya: Babsye, Debbie, Patty. Di foto langka jepretan tahun 1978 ini mereka mengenakan kaos band (!) bertuliskan judul debut cemerlang mereka: Sketsa Seni Musik. Kenapa album yang direkam di Yoan Studio milik Enteng Tanamal itu dijuduli “Sketsa Seni Musik”, menurut pengakuan Bambang—yang juga adalah adik bungsu dari Tanty Josepha, istri dari Enteng—frase itu mengandung arti bahwa “…penggarapan musik dan lirik mereka sebenarnya masih merupakan sketsa saja, seperti oret-oretan dalam lukisan yang belum selesai, musik yang hanya memberanikan diri dengan sketsa seni musik saja, belum sebuah vocal group yang sempurna…” Entah apakah Bambang hanya sedang being polite, andhap asor alias berusaha merendah saja waktu itu, tapi segala ketaksempurnaan itu bikin album ini sempurna. Tipe songwriting Bambang yang quirky terdengar cocok dengan karakter vokal kikuknya yang ragu-ragu dan sedikit wagu, bersahut-sahutan dengan harmonisasi vokal falsetto dari para penyanyi latar, serta lirik-lirik nonsens yang tak kalah wagunya (“..peluh bercucuran/ bukit cinta ‘tlah kudaki/ peluh bercucuran/ seni musik kuhayati/ ahahay…“). Ugh! Dan yang masih menjadi misteri, setidaknya bagi saya yang sudah mencoba memutar platnya ratusan kali demi bisa menangkap algoritma estetiknya (duh saya sok iye), adalah bagaimana modus operandi mereka membuat semua kecanggungan indah itu bisa melebur asyik ke dalam sound progressive-folk yang sinematik dan anehnya bisa terdengar sangat ngepop sambil sesekali ‘mbosas’, yang disemburkan Bambang lewat nada-nada melintir dari keyboard dan synthesizer ’70an-nya. Menarik jika mengingat Bambang yang awalnya berguru piano pada Kusbini, si “buaya keroncong” legendaris dari Jogja, berubah jadi pencipta sound seminal yang berlapis-lapis dengan keseruan-keseruan modern-sekaligus-klasik yang cukup detail di tiap layernya, pepat ke dalam piringan duabelas inchi—puluhan tahun kemudian plat ini jadi primadona para selector disko-gaul ibukota terutama track “Jiwa”. Kualitas ini sulit disamai, bahkan oleh mereka sendiri: formula serupa gagal diulangi di album kedua, Episode Generasi Penerus yang dirilis dalam bentuk kaset dan juga plat dalam jumlah terbatas (tanpa cover dan judulnya pun rancu).
Pingback: Top 5 – Dimas Ario | Alunan Nusantara