Konon salah satu lagu Blur paling populer ini dulunya hampir menjadi lagu ska, ketika para personelnya sudah hampir putus asa memikirkan harus bagaimana lagi mengaransemennya, hingga akhirnya Damon datang dengan ide intro berupa string section yang brilian itu. Meski Justine Frischmann sangat membenci lagu ini dengan menyebutnya “desperately bad on every level, personally”, harus diakui sihir “The Universal” justru terletak pada struktur lagunya, pada grafik emosinya, pada lapis-lapis sound-nya; dengan kata lain, ciamik justru pada setiap levelnya. Semua itu dibangun lewat pemilihan tempo lagu yang terukur naik turunnya (oh, dinamika!) dan dibungkus dengan aransemen jeli—bukti sahih sebuah lagu balada pun bisa jadi sedemikian anthemic. Dari detik keduabelas hingga akhir menit ketiga, permainan bass Alex merayap perlahan tapi pasti, menghampiri drum Dave yang berdentam-dentam seperti racun alamiah, bekerja lambat sekaligus mematikan. Aksi gitar Graham yang halus dan sensitif menunjukkan dia memang sanggup bermain di wilayah apa saja, setali tiga uang dengan Damon yang bisa-bisanya kepikiran menyelipkan brass section dan rombongan backing vocal yang menghantui. Soal lirik bisa saja Damon sebenarnya hanya ingin meracau soal taruhan lotre, sementara penggemar kelewat serius membacanya sebagai syair profetik atas masa mendatang yang tak terlalu benderang (“yes, the future has been sold”, juga “when the days they seem to fall through you”), dikipas-kipasi pula oleh videoklip beraroma dystopian a la A Clockwork Orange; seringai Damon di situ pas banget dengan karakter Alex DeLarge dan kawanan droogs. Lagu ini terasa makin bertenaga tiap kali dibawakan live, terutama karena pita suara Damon yang makin tua makin serak. Tentu saja lirik “tomorrow is your lucky day, well, here’s your lucky day” selalu dikutip orang-orang saat Blur akhirnya bersedia reuni di 2009 setelah lama vakum; lalu dikutip lagi dan lagi ketika mereka datang ke Indonesia empat tahun kemudian. Di akhir konser Senayan itu, bersama ribuan penonton lainnya saya ikut bernyanyi di lagu itu dengan suara sember dan mata terpejam, bukan karena menahan tangis—toh air mata sudah habis di belasan lagu sebelumnya—tapi lebih karena merinding: segala bunyi-bunyian syahdu dari brass section di atas panggung ditimpali gemuruh koor dan ribuan tangan yang mengacung ke udara mengamini kata-kata tentang pergi karaoke tiap malam di masa depan, “…how we like to sing along, although the words are wrong…” untuk akhirnya pecah di kalimat “YES IT REALLY REALLY REALLY COULD HAPPEN!!!” Duh Gusti, lagune intens tenan!
* * *
[kaset single Blur “The Universal” TCFOOD 69, Food/Parlophone, UK, 1996]
Blur – “The Universal” (official video):
Blur – “The Universal” (live at Glastonbury, 2009):
Blur – “The Universal” (live at Jakarta, 2013):
karaoke tiap malam itu monoton dan membosankan akhirnya Brur. Hehe.
mungkin masa depan memang semembosankan itu, brur. hehe.
mas Budi, kenapa ulasanmu bahkan lebih puitis ya?
dulu…g menyangka kalau akan terjebak di ‘universe’ yang disebut2 di lagu ini…
Winda, mengutip kata seseorang, “Music is the divine way to tell beautiful, poetic things to the heart.” 🙂
Gusti nu Ageng, akhirnya diulas juga sekelibat tentang konser blur di Jakarta yang sudah kunantikan sejak hampir setahun yang lalu *huhuhuhu* #nangisdipojokan #membayangkankejadiankoorUniversal. Semoga ada keajaiban bisa menonton mereka LIVE suatu waktu nanti. AMIN *berdoa khusyuk*
Amin, Chicaa, amiin! 🙂 Blur ke Indonesia kamu malah ke Amerika hihihi. Eh selama di sana udah nonton konser apa aja?